Mohon tunggu...
LM Yakdatamare Yakub
LM Yakdatamare Yakub Mohon Tunggu... Dokter - Studure in sempiternum

Hiduplah dengan strategimu sendiri dan jadilah mahluk yang bermanfaat !

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

RUU "Omnibus Law" Kesehatan dengan Segenap Kontroversinya

1 Mei 2023   04:25 Diperbarui: 2 Mei 2023   09:21 854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

De Ratione Legalis Certitudinis, Utilitatis Et Justitiae

Oleh: dr. L.M. Yakdatamare Yakub

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Lex niminem cogit ad impossibilia
Si vis pacem para bellum

"Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik." [QS. Al-An'am: 57].

Selayang Pandang

Terkait dengan rencana penyusunan omnibus law kesehatan yang akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan, bertujuan untuk memberikan penguatan terhadap regulasi kesehatan yang saat ini masih terbagi dalam beberapa undang-undang yang berbeda.

Pro dan kontra terkait wacana ini terus bergulir, terutama penolakan dari kalangan profesi kesehatan. Prinsip dasar dalam kesehatan adalah harmonisasi regulasi di bidang kesehatan.

Penyederhanaan regulasi sangat penting untuk dilakukan. Upaya pemerintah untuk mengadopsi omnibus law kesehatan sebagai kebijakan hukum nasional dengan harapan dapat mencapai tujuan untuk meningkatkan hirarki kesehatan masyarakat di Indonesia merupakan tantangan dan peluang kedepannya.

Konsep omnibus law merupakan hal yang umum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Omnibus berasal dari bahasa Latin "omnis" yang berarti semua.

Konsep ini banyak menginspirasi para pembentuk undang-undang di negara-negara Anglo Saxon. Bahkan beberapa negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental juga telah menggunakan metode ini.

Di Indonesia, wacana penggunaan metode omnibus law disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Joko Widodo pada tahun 2019 dalam pidato kenegaraan saat pelantikan sebagai Presiden di hadapan sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tanggal 20 Oktober 2019.

Omnibus law menjadi fokus presiden untuk dapat menyelesaikan masalah regulasi dan birokrasi yang tumpang tindih. Diharapkan dengan adanya omnibus law ini dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat dan menarik minat investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Awal mula dari skema omnibus law di Indonesia adalah penyesuaian terhadap laju investasi yang berujung pada tercapainya tujuan untuk mempermudah pintu masuk bagi para investor asing untuk melakukan kegiatan di Indonesia.

Lantas apakah kita sudah siap atau negara kita telah mempersiapkan konflik yang dapat tiba-tiba terjadi di kemudian hari?

Investasi besar besaran boleh saja, tapi jangan sampai investasi besar-besaran ini justru menjadi deal-deal politik yang mengakibatkan anak bangsa dirugikan bahkan menjadi kacung atau budak di negara sendiri.

Dahulu para penjajah apabila ingin menguasai suatu negara, mereka harus mengerahkan pasukan militer yang banyak, sekarang dengan sistem demokrasi, mereka mengendalikan para politisi pribumi untuk memproduksi beberapa undang-undang dan kebijakan yang melindungi bisnis mereka, dan mirisnya strategi ini menuai sukses besar. Hari ini mereka mengangkut gunung emas kita dengan mengetuk pintu undang-undang.

Sekarang melalui RUU Kesehatan mereka mencoba menjajah tenaga dan fasilitas kesehatan dengan berkedokan perbaikkan dan investasi.

Lucunya para pemangku kebijakan hanya mengekor dan menuruti skema yang coba dipolakan oleh penjajah berkedok ini. Dahulu kita menyebutnya penjajahan, sekarang mereka menyebut ini bisnis dan rezim menyebutnya sebagai investasi asing.

RUU Kesehatan Omnibus Law terkesan terburu-buru entah apa yang dikejarnya, terbukti dengan banyaknya pasal kontroversial dan multitafsir yang menyebabkan polemik diantara masyarakat, apalagi dalam penyusunanya tidak melibatkan organisasi profesi dibidang Kesehatan.

Padahal organisasi profesi merupakan representasi dari tenaga-tenaga kesehatan yang ada di Indonesia, organisasi-organisasi profesi inilah yang terlibat secara langsung untuk menangani permasalahan kesehatan yang ada di Indonesia.

Seharusnya dalam proses pembuatan kebijakan kesehatan yang inklusif, terdapat tripartit yang harus dilibatkan, yaitu pemerintah, penyedia layanan kesehatan (dalam hal ini tenaga kesehatan dan rumah sakit), serta masyarakat sebagai pengguna layanan kesehatan.

Oleh karena itu, sudah seharusnya representasi tenaga kesehatan dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan, agar undang-undang yang dilahirkan memiliki kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.

Pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law sangat tidak transparan dan tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu, tidak ada naskah akademik yang dibicarakan bersama pemangku kepentingan dan masyarakat untuk melihat dasar filosofi, sosiologis, dan yuridis yang bertujuan untuk kebaikan bangsa, sehingga dianggap sarat kepentingan oligarki dan kapitalis.

RUU Kesehatan Omnibus Law merupakan sarat kepentingan atas liberalisasi dan kapitalisasi kesehatan yang akan mengorbankan hak kesehatan rakyat selaku konsumen kesehatan. Patut diduga adanya gerakan pelemahan terhadap peran profesi kesehatan karena tidak diatur dengan undang-undang tersendiri.

Terdapat juga upaya-upaya untuk menghilangkan peran-peran organisasi profesi yang selama ini telah berbakti bagi negara dalam menjaga mutu dan profesionalisme anggota profesi yang semata-mata demi keselamatan dan kepentingan pasien.

Kemudian, terdapat pula upaya-upaya mengabaikan hal-hal yang telah mendapatkan putusan dari Mahkamah Konstitusi seperti Putusan Nomor 14/PPU-XII/2014, Putusan Nomor 82/PPU-XII/2015, dan Putusan Nomor 10/PPU-XV/2017 dan Nomor 80/PPU-XVI/2018.

Beberapa Poin Kontroversial Dalam RUU Kesehatan Omnibus Law

Pertama, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 RUU Kesehatan.

Hilangnya definisi Kekarantinaan Kesehatan/Karantina Kesehatan. Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 terdapat penjelasan tentang istilah Badan Karantina Kesehatan Nasional, Dokumen Karantina Kesehatan, Petugas Karantina Kesehatan. Namun tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan Karantina Kesehatan / Kekarantinaan Kesehatan.

Definisi harus jelas agar urusan kekarantinaan kesehatan yang akan menjadi tanggung jawab Badan Karantina Kesehatan Nasional jelas dan tidak multitafsir. Definisi yang sebelumnya sudah ada dalam UU Kekarantinaan Kesehatan tidak bisa dipakai karena UU tersebut termasuk UU yang dicabut.

Kedua, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 RUU Kesehatan

Hilangnya definisi dari Kompetensi, Uji kompetensi, Sertifikat kompetensi, sertifikat profesi, standar profesi, standar pelayanan profesi, dan standar prosedur operasional, sehingga mengakibatkan pengaturan hal-hal tersebut menjadi tidak jelas.

Ketiadaan definisi membuat pengaturan yang dibuat menjadi tidak bisa dipakai karena menjadikan pelaksanaan aturan tidak memiliki batasan yang jelas tentang apa yang dimaksud dalam pengaturan tersebut.

Selain itu, hilangnya definisi ini juga menunjukkan betapa pembuatan RUU Kesehatan ini dibuat dengan sangat buru-buru dan sembrono. Sebelumnya definisi kata-kata di atas diatur dalam UU Tenaga Kesehatan yang termasuk UU yang dicabut oleh RUU Kesehatan.

Ketiga, pasal 235 draf RUU Omnibus Law Kesehatan, disebutkan bahwa tenaga kesehatan tidak lagi memerlukan rekomendasi organisasi profesi untuk mendapatkan Surat Izin Praktik (SIP). Tenaga kesehatan hanya memerlukan bukti pemenuhan kompetensi dan kecukupan satuan kredit profesi yang akan dikelola oleh Menteri.

Hal ini sangat aneh karena yang paling paham mengenai kompetensi tenaga kesehatan tentunya adalah tenaga kesehatan tersebut sendiri, dalam hal ini direpresentasikan oleh organisasi profesi tenaga kesehatan.

Sementara itu, dalam praktik kesehatan, yang perlu diperhatikan bukan hanya kompetensi, melainkan juga aspek etik dan moral.

Pada umumnya, aspek yang dinilai oleh organisasi profesi sebelum menerbitkan surat rekomendasi adalah aspek kompetensi, etika, disiplin, dan hukum kedokteran.

Dengan dihilangkannya surat rekomendasi dari syarat pembuatan SIP dan tidak disebutkannya aspek etika, disiplin, dan hukum kedokteran sebagai syarat mendapatkan SIP, dapat berpotensi mencederai hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari tenaga kesehatan yang memiliki etik dan moral yang baik.

Keempat, Pasal 239 yang menyebutkan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) berkedudukan di bawah Menteri.

Hal ini menjadi masalah karena dalam praktiknya, pengambilan keputusan di KKI dapat diintervensi oleh Pemerintah

 Seharusnya, KKI merupakan organisasi yang berdiri independen dan diisi dengan orang yang paham di bidang kesehatan sehingga tercipta mekanisme check and balances yang baik.

Kelima, muatan Ketentuan Peralihan UU Kebidanan (Pasal 71-77) memerlukan pengaturan tersendiri yang berbeda dengan pengaturan tenaga kesehatan secara umum.

Bidan secara historis memiliki perkembangan syarat tingkat kompetensi. Mulai dari awalnya bisa praktik dengan pendidikan diploma satu, lalu ditingkatkan menjadi diploma tiga, dan terakhir menjadi program profesi.

Ketentuan Peralihan tersebut mengatur tentang peralihan jenjang pendidikan bidan dan konsekuensi yang menyertainya. Konsekuensi yang dimaksud memuat aturan tentang registrasi, perizinan, hingga batasan praktik.

Hilangnya pengaturan tersebut membuat upaya untuk segera meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kebidanan melalui peningkatan kompetensi bidan menjadi kehilangan legitimasinya.

Salah satunya bisa dilihat pada Pasal 76 ayat (1): "Bidan lulusan pendidikan diploma tiga dan Bidan lulusan pendidikan diploma empat yang telah melaksanakan Praktik Kebidanan secara mandiri di Tempat Praktik Mandiri Bidan sebelum Undang-Undang ini diundangkan, dapat melaksanakan Praktik Kebidanan secara mandiri di Tempat praktik Mandiri Bidan untuk jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan".

Pengaturan ini masih sangat relevan karena UU Kebidanan tersebut diundangkan pada tahun 2019 sementara pembatasan yang diberikan adalah paling lama 7 (tujuh) tahun atau tahun 2026.

Keenam, hilangnya pengaturan tentang asisten tenaga kesehatan, yang sebelumnya diatur dalam UU Tenaga Kesehatan Pasal 8.

Dalam pengaturan tersebut asisten tenaga kesehatan memiliki kualifikasi minimun pendidikan menengah di bidang kesehatan.

Ketiadaan pengaturan ini membuat banyak lulusan SMK Kesehatan di seluruh Indonesia tidak memiliki legitimasi dalam bekerja dibidang kesehatan.

Ketujuh, tidak adanya pengaturan tentang asas dan tujuan pendirian rumah sakit. Asas dan tujuan merupakan dasar filosofis penyelenggaraan RS.

Asas ini yang membedakan RS dengan Institusi lainnya. Ketiadaan asas dan tujuan menjadikan arah penyelenggaraan rumah sakit cenderung berpihak kepada pemilik modal yang akan menghilangkan pelayanan negara kepada rakyatnya. Asas dan Tujuan sebelumnya tercantum dalam UU Rumah Sakit pasal 2 dan 3.

Kedelapan, hilangnya pengaturan Pengaturan terkait Tanggung Jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menjamin pembiayaan rumah sakit bagi fakir miskin atau orang tidak mampu.

Klausul ini sangat diperlukan karena dalam kenyataannya masih cukup banyak masyarakat yang belum memiliki penjamin apapun, atau kelompok rentan miskin yang tidak lagi mampu membiayai BPJS secara mandiri akibat pengobatan panjang, sementara mereka tidak bisa masuk kategori PBI.

Sebelumnya pengaturan tentang hal ini terdapat dalam UU Rumah Sakit pasal (6) huruf b, yang berbunyi "Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk: b. menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bagi fakir miskin, atau orang tidak mampu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kesembilan, hilangnya pengaturan tentang penetapan tarif khusus kelas III rumah sakit. Ketiadaan pengaturan ini akan menimbulkan penetapan tarif yang cenderung mengikuti harga keekonomian sehingga sangat mungkin tidak terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah.

Terlebih jika mereka belum memiliki penjamin apapun, atau kelompok rentan miskin yang tidak lagi mampu membiayai BPJS secara mandiri akibat pengobatan panjang sementara mereka tidak bisa masuk kategori PBI. Klausul ini sebelumnya terdapat dalam UU Rumah sakit pasal 50.

Kesepuluh, ketentuan umum RUU Kesehatan disebutkan bahwa "Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan, memiliki sikap profesional, pengetahuan, dan keterampilan melalui pendidikan tinggi, dan untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan".

Definisi ini berbeda dengan yang terdapat dalam UU Tenaga Kesehatan, yang berbunyi "Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/ atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan". 

Penting untuk memasukkan definisi memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan, karena jika tidak maka semua profesi bisa dianggap sebagai nakes.

Hal ini akan menimbulkan kesulitan dalam menentukan standar atau uji kompetensi yang menjadi kelayakan atau persyaratan bagi nakes untuk melakukan praktik kesehatan. Ujungnya akan berpengaruh terhadap standar kualifikasi nakes.

Seharusnya yang tenaga bukan dari pendidikan kesehatan dimasukkan dalam Sumber Daya Manusia Kesehatan (SMDK), yaitu seseorang yang bekerja secara aktif di bidang kesehatan, baik yang memiliki pendidikan formal kesehatan maupun tidak yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya Kesehatan 

Kesebelas, ada kerawanan dalam draft RUU Kesehatan pasal 236 mengenai tenaga medis dan tenaga Kesehatan warga negara asing dapat melakukan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia dalam rangka investasi atau noninvestasi.

Kerawanan ini terkait dengan:

1. Tenaga medis dan tenaga kesehatan Indonesia yang sangat mungkin tersingkirkan atas nama investasi. Sangat dimungkinkan dengan dalih investasi, investor asing kemudian membawa serta tenaga medis dan tenaga kesehatan yang berasal dari negaranya untuk bekerja pada rumah sakit atau laboratorium yang mereka dirikan.

2. Selain itu terdapat kerawanan dalam pemakaian kata investasi itu sendiri karena artinya ada orientasi bisnis berupa investasi dari luar negeri dalam bidang kesehatan. Terlebih jika menyangkut teknologi canggih terbaru, yang sangat mungkin menenggelamkan rumah sakit lokal terutama yang dibangun tanpa memiliki modal besar. Akan semakin terasa orientasi bisnis tersebut jika dibandingkan dengan pengaturan pada UU Tenaga Kesehatan Pasal 53.

3. Kerawanan lain dalam pasal ini terdapat dalam kata "permintaan dari pengguna". Menjadi rawan karena tidak ada batasan siapa pengguna yang dimaksud. Pengguna bisa bermakna siapapun, baik perorangan maupun institusi, yang dapat mendatangkan tenaga asing. Juga tidak terdapat klausul persyaratan dan batasan bagi pengguna bisa meminta tenaga kerja asing.

Keduabelas, di semua negara pengaturan tentang profesi kesehatan diatur dalam UU tersendiri.

Oleh karena itu, seharusnya draft RUU Kesehatan ini tidak menghapus materi pengaturan profesi-profesi tenaga medis dan tenaga kesehatan sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan.

Ketigabelas, RUU Kesehatan berpotensi mengarahkan pengelolaan kesehatan rakyat Indonesia kepada mekanisme pasar yang cenderung menguntungkan pemilik modal. Dengan alasan:

1. Pengaturan tentang rumah sakit pendidikan yang membuka peluang besar (pasal 183) bagi rumah sakit untuk menghasilkan tenaga medis dan tenaga kesehatan sendiri pada akhirnya akan memperkuat industrialisasi dalam bidang kesehatan.

Bagi rumah sakit besar, tidaklah sulit untuk memenuhi beberapa persyaratan yang diberikan, sehingga akan sangat dimungkinkan terjadi produksi tenaga medis dan tenaga kesehatan secara besar-besaran untuk mendukung ekspansi dan investasi mereka.

2. Data dan informasi kesehatan rakyat Indonesia bisa diproses, dikelola, disimpan, (pasal 350 ayat (8) dan (9)) dan ditransfer ke luar negeri (pasal 353 ayat (6)) meskipun dengan syarat tertentu.

Hal ini tentu sangat riskan jika dilihat dari sisi keamanan negara mengingat bioteknologi berkembang dengan sangat cepat. Selain itu data dan informasi tersebut juga berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan produsen obat-obatan dan alat kesehatan.

Sebenarnya masih sangat banyak pasal kontroversial yang mungkin tidak dapat disampaikan semua.

RUU Kesehatan Omnibus Law jelas masih memiliki berbagai masalah baik secara formal dari proses pembuatannya maupun secara material dari segi substansi dan dampak yang ditimbulkan.

RUU Kesehatan Omnibus Law terkesan menguntungkan kepentingan individu maupun kelompok tertentu, sehingga lahirnya undang-undang ini hanya akan menimbulkan bencana sosial kedepannya

Sudah seharusnya RUU Kesehatan Omnibus Law dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2023 ini.

Entah, apakah segala polemik yang terjadi adalah suatu keharusan universal?

Semoga Allah SWT melindungi negeri tercinta Indonesia. Aamiin

Anas bin Malik berkata, "Rasulullah SAW bersabda: Di antara tanda-tanda terjadinya hari kiamat yaitu diangkatnya ilmu, kebodohan merajalela,..." (HR Muslim).

Wallahu a'lam bishawab

Wabillahi Taufik wal Hidayah Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

dokpri
dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun