Di Indonesia, wacana penggunaan metode omnibus law disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Joko Widodo pada tahun 2019 dalam pidato kenegaraan saat pelantikan sebagai Presiden di hadapan sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tanggal 20 Oktober 2019.
Omnibus law menjadi fokus presiden untuk dapat menyelesaikan masalah regulasi dan birokrasi yang tumpang tindih. Diharapkan dengan adanya omnibus law ini dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat dan menarik minat investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Awal mula dari skema omnibus law di Indonesia adalah penyesuaian terhadap laju investasi yang berujung pada tercapainya tujuan untuk mempermudah pintu masuk bagi para investor asing untuk melakukan kegiatan di Indonesia.
Lantas apakah kita sudah siap atau negara kita telah mempersiapkan konflik yang dapat tiba-tiba terjadi di kemudian hari?
Investasi besar besaran boleh saja, tapi jangan sampai investasi besar-besaran ini justru menjadi deal-deal politik yang mengakibatkan anak bangsa dirugikan bahkan menjadi kacung atau budak di negara sendiri.
Dahulu para penjajah apabila ingin menguasai suatu negara, mereka harus mengerahkan pasukan militer yang banyak, sekarang dengan sistem demokrasi, mereka mengendalikan para politisi pribumi untuk memproduksi beberapa undang-undang dan kebijakan yang melindungi bisnis mereka, dan mirisnya strategi ini menuai sukses besar. Hari ini mereka mengangkut gunung emas kita dengan mengetuk pintu undang-undang.
Sekarang melalui RUU Kesehatan mereka mencoba menjajah tenaga dan fasilitas kesehatan dengan berkedokan perbaikkan dan investasi.
Lucunya para pemangku kebijakan hanya mengekor dan menuruti skema yang coba dipolakan oleh penjajah berkedok ini. Dahulu kita menyebutnya penjajahan, sekarang mereka menyebut ini bisnis dan rezim menyebutnya sebagai investasi asing.
RUU Kesehatan Omnibus Law terkesan terburu-buru entah apa yang dikejarnya, terbukti dengan banyaknya pasal kontroversial dan multitafsir yang menyebabkan polemik diantara masyarakat, apalagi dalam penyusunanya tidak melibatkan organisasi profesi dibidang Kesehatan.
Padahal organisasi profesi merupakan representasi dari tenaga-tenaga kesehatan yang ada di Indonesia, organisasi-organisasi profesi inilah yang terlibat secara langsung untuk menangani permasalahan kesehatan yang ada di Indonesia.
Seharusnya dalam proses pembuatan kebijakan kesehatan yang inklusif, terdapat tripartit yang harus dilibatkan, yaitu pemerintah, penyedia layanan kesehatan (dalam hal ini tenaga kesehatan dan rumah sakit), serta masyarakat sebagai pengguna layanan kesehatan.