Di sini. Maksudnya tempat ini. Ujung jalan kampung menuju hutan dan sungai. Aku biasa duduk istirahat di sini sejenak sebelum memasuki perkampungan. Ada batu besar yang menjadi tempat untuk duduk melepas lelah.
Sumi pergi meninggalkan tanya di benakku. Lekuk-lekuk tubuhnya yang berbalut kain bahkan tak sempat aku perhatikan.
Nanti malam?
Tapi jam berapa?
***
Aku tidak tau pasti jam berapa, yang jelas selepas isya tadi aku sudah berada di sini. Menunggu Sumi. Apa gerangan yang akan ia lakukan. Sehingga butuh bantuanku?
Sekira jam delapan. Batang tubuh Sumi sudah terpampang di hadapanku dengan nafas tersengal-sengal. Karena ia jalan setengah berlari.
"Maaf, mas. Telat dikit"
Katanya. Aku tak terlalu mempermasalahkan. Di tangan kanannya ada obor dari batang bambu yang menyala terang. Sementara tangan kirinya membawa sebungkus plastik hitam. Entah apa isinya.
"Ikuti aku, mas"
Katanya.
Bagaikan kerbau dicocok hidungnya, aku mengikuti langkah Sumi dari belakang. Si janda kembang yang jadi incaran kaum hidung belang di kampung ini.
Sepanjang jalan kami tetap diam. Aku bahkan tak memperhatikan ke arah mana Sumi mengajakku. Aku terlalu sibuk memandang keindahan tubuhnya dari belakang. Aku memang ngeres. Terlalu sayang pahatan Tuhan yang seindah ini untuk aku lewatkan.
"Sudah sampai, mas" .
Bisiknya. Aku terkesiap.