Judul tulisan ini bukan berisi pesimisme atau doktrin Marxis bahwa Tuhan sebagai candu dan bukan pula tentang landasan epistemologis-eksistensial tentang dzat maha agung (ultimate concern)-kehadiran Tuhan yang telah lama diperbincangkan atau ingin membenturkan keyakinan (beliefs) antara kaum beragama dengan kebebasan rasional ala Rennaisans (upaya terbebas dari ikatan Gereja) dalam arti tradisional, melainkan judul di atas adalah materi kuliah dari salah satu ilmuan terbesar abad-21 Stephen  Hawking yang berusaha menjelaskan alam semesta (universe) dan negasi ketuhanan.
Memang hasilnya, kontroversial, Hawking melalui "The Grand Design" mengakui dirinya anti-Tuhan (ateis), tapi meski demikian justru aspek inilah yang menarik. Tulisan ini akan menghubungkan logika Hawking tentang nihilisme dan kehadiran Tuhan di luar ruang dan waktu sekaligus melakukan harmonisasi antara ilmu pengetahuain saintifik dengan spiritualitas yang selama ini menemui jalan buntu. Â
Benar, Stephen Hawking fisikawan teoritis Inggris dengan karya monumentalnya "A Brief History of Time" telah melanggengkan namanya sebagai ilmuan imajinatif paling berpengaruh di zaman modern, disejajarkan dengan Paul Dirac, Richard Feynman, Erwin Schrdinger dan tentu saja Albert Einstein.Â
Bagaimana mungkin, Hawking yang menderita penyakit Neuron Amyotrophic Leteral yang membuatnya hampir tidak dapat bergerak dan bicara mampu melahirkan landasan teoritis ilmiah luar biasa yang diakui ilmuan dunia, yang jelas dibalik keterbatasan itu Tuhan memberikan "anugrah" yang membuat ia dikenal sepanjang masa sebagai ilmuan terbesar dalam sejarah umat manusia.Â
Namun, sayang anugrah itu membuatnya alergi dengan kata Tuhan, seandainya Hawking lahir di Indonesia, mungkin ia telah menjadi ulama dan sekaligus ilmuan. Tentu, namanya bukan Hawking, mungkin saja, Sujono atau Tejo. Entahlah!!
Mmembincang Ruang dan WaktuÂ
Dalam buku berjudul "Stephen Hawking and The Mind of God" Peter Coles mengutarakan eksistensi singularitas (partikel terkecil di alam semesta) atau disebut dengan partikel Tuhan. Dalam hipotesisnya berupaya mempertanyakan konsep  mengenai ruang dan waktu.Â
Semua orang familiar dengan waktu, karena waktu menggambarkan suatu peristiwa yang selalu diselingi dengan peristiwa lain dan terikat dengan rantai sebab-akibat. Pertanyaan sederhana tentang ruang dan waktu misalnya apakah semua waktu bisa diukur dengan pengukur waktu? Pertanyaan ini nampaknya sederhana, namun membutuhkan jawaban ontologis kuat.
Konsep ruang dan waktu yang absolut telah menjadi diskursus dikalangan para ahli, terlebih fisikawan. Albert Einestein melalui teori relativitasnya memberi permisalan sederhana bahwa sebenarnya ruang dan waktu itu berbeda.Â
Misalkan saja kita  melakukan perjalanan ke bagian utara atau selatan, timur dan barat, tapi kita hanya bergerak maju dan tidak bisa memutar waktu ke belakang atau apa yang kita lakukan saat ini menyebabkan akibat setelahnya, namun kita tidak mempertimbangkan dua tempat berbeda pada saat yang sama mempengaruhi satu sama lain.
Stephen Hawking meletakkan asas brilian tentang waktu dan ruang serta bagaimana cara kerja alam semesta. Hal paling spektakuler yang dilakukan Hawking mengkerucut pada batas akhir pemikiran itu sendiri yaitu tentang alam semesta dan Tuhan dan menyebut gagasannya tentang "theory of everything".Â
Hasilnya adalah bahwa Hawking menggali beragam persoalan saintifik yang belum terpecahkan sebelumnya, namun kaitannya dengan Tuhan ia menegaskan tidak percaya apa pun tentang Tuhan.
Pengetahuan Saintifik dan AgamaÂ
Diskursus pengetahuan dan keyakinan, pengetahuan dan agama telah lama menjadi perdebatan panjang bukan hanya di kalangan akademisi, melainkan fisikawan sekalipun. Ada tiga haluan narasi relasional antara pengetahuan dan agama yang selama ini berkembang.
Argumentas pertama, mereka yang meyakini bahwa agama dan pengetahuan adalah dua hal yang berbeda. Jika agama terkait masalah spiritualitas, dan hukum masyarakat yang relatif, maka ilmu pengetahuan alam berlandaskan ukuran pasti, yaitu sistematis dan terukur.Â
Saya memandang bahwa, argumentasi ini lahir dari pertikaian antara kelompok agama yang memiliki otoritas absolut dengan ilmuan yang menerapkan dasar pengetahuan alam sebagai tolak ukur. Hal ini bisa kita lihat dari latar munculnya zaman Rennaisance (pencerahan) yaitu sebuah usaha terbebas dari agama karena agama sebatas tahayul nenek moyang.
Argumentasi kedua, mereka yang menganggap dirinya adalah tradisionalis-tekstual. Mereka meyakini agama itu sempurna tapi itu hanya sebatas keyakinan tanpa disertai dengan penelitian impiris. Mereka meletakkan teks di atas segalanya, menjadikan teks sebagai klaim tunggal sekaligus sebagai kebenaran absolut.
Argumentasi ketiga, mereka yang meyakini ilmu pengetahuan dan agama memiliki pertalian kuat dan melengkapi satu sama lain. Ilmu pengetahuan dan agama seperti dua mata uang yang berbeda tapi melengkapi. Saya menemukan, agama Islam menjadi satu-satunya norma dogmatik yang mengajarkan tentang hal ini.Â
Terbukti misalnya ketika Islam menjadi pusat pengembangan pengetahuan alam; astronomi, fisika dan kimia dan ilmu lain, bersumber pada berita-berita nash al-Qur'an. Ilmuan Muslim, menjadikan teks al-Qur'an sebagai spirit dasar dalam upaya menggali informasi saintifik yang termuat di dalamnya itulah mengapa ungkapan "al-Qur'an fleksibel di setiap zaman dan tempat" bukan saja berarti fleksibilitas hukumnya, melainkan fleksibilitas informasi saintifik yang dapat menjadi rujukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H