Dahulu kala, tinggallah seorang manusia aneh di tengah hutan belantara di pulau Lombok. Kelahirannya membuat amak dan inaknnya meninggal. Amak dan inaknya meninggal begitu ia dilahirkan. Mereka kaget melihat anak yang dilahirkannya memiliki separuh bagian tubuh, mulai dari kepala separuh, mata separuh, hidung separuh, mulut separuh, tangan separuh, dan kaki separuh. Namun, berkat kebesaran Tuhan, ia hidup selayaknya manusia biasa.
Dengan asuhan seorang janda tua yang tak punya anak, ia tumbuh besar. Ia kerap kali dipanggil Amak Stowek. Panggilan ini berawal dari tubuhnya yang setowek atau separuh. Tapi, panggilan itu tak membuat ia membenci inak angkatnya. Ia malah senang mendapat panggilan seperti itu. Ia menyadari bahwa inilah pemberian Tuhan yang harus ia terima sebagai sebuah ujian kesabaran.
Lima belas tahun kemudian, inak angkatnya meninggal. Terpaksa ia hidup sendiri dan mencari makan sendiri. Kondisi ini membuat Amak Stowek sangat tertekan. Namun demikian, ia tetap berusaha untuk bertahan hidup. Upaya yang dilakukan untuk bertahan hidup adalah mencari ranting-ranting kayu di tengah hutan. Ranting--ranting dikumpulkan dan ditukarkan dengan beberapa kilo beras dan ubi-ubian. Ia masak sendiri dan tidur sendiri. Tak ada yang menemaninya. Perasaan pilu sering menggayut hatinya. Namun, ia tetap berusaha tegar. Ia juga berusaha menepis segalah duka yang dirasakannya.
Malam terus berlalu tanpa kompromi. Bintang muncul silih berganti dengan matahari. Tak terasa tiga tahun lamanya ia terus bersabar hidup seperti itu. Tak disangka, setan-setan datang menggodanya. Mereka membisikkan kata-kata yang mengganggu kesadarannya, "Hai, Amak Stowek. Coba kamu lihat dirimu. Tidak ada orang yang seperti dirimu. Tubuhmu hanya stowek," bisik setan. Bisikan itu datang terus-menerus dan menggangu pikiran Amak Stowek. Ia berusaha menenangkan diri namun bisikan itu selalu datang.
'"Oh, Tuhan...mengapa hidupku seperti ini. Aku sendiri yang punya badan stowek. Ini tidak adil Tuhan" ungkap Amak Stowek dalam hati. Lambat laun ketabahan dan kesabaran Amak Stowek mulai mengikis. Perlahan, ia menggeser tubuhnya mendekat ke pintu. Ia tidak menggunakan alat bantu tongkatnya untuk dijadikan petunjuk. "Trok...." bunyi kepala Amak Stowek membentur pintu. Ia meringis kesakitan, "Aduh...aduh sakit sekali, di mana dilah coplokku!" tanya Amak Stowek mencari dilahnya sebagai penerang. Perlahan, ia dapat meraih dilah coploknya. Sesaat kemudian ia nyalakan dilah coploknya sembari meraba-raba kepalanya, ternyata tidak ada darah di kepalanya. Hanya benjolan kecil saja. "Syukurlah," seru Amak Stowek menahan rasa sakit di kepalanya.
"Oh, Tuhan berat sekali rasanya hidupku ini!" keluh Amak Stowek sembari memandangi bintang-bintang di langit yang bertaburan. Tiba-tiba datang lagi bisikan dari setan-setan. "Hai Amak Stowek. Kenapa kamu tetap saja menerima keadaanmu?" Protes saja pada Tuhan!" bisik setan-setan itu. "Sialan bisikan ini, mana mungkin aku memprotes Tuhan sementara aku tidak tahu di mana Tuhan tinggal?" ungkap Amak Stowek dengan penuh kejengkelan. Setan-setan terus membisikkan kata-kata itu kepada Amak Stowek. "Amak Stowek, kamu harus protes pada Tuhan kenapa tubuhmu saja yang stowek!" bisik setan-setan. "Coba kamu pikir, makan saja dengan tangan stowek, jalan dengan kaki stowek, melihat dengan mata stowek, mendengar dengan telinga stowek. Uh, kasihan sekali kau Amak Stowek," ejek setan-setan kepada Amak Stowek. Bisikan itu membuat Amak Stowek semakin pusing dan pening kepalanya. Sambil menangis sedih Amak Stowek tak menyadari kalau kepalanya ia bentur-benturkan ke dinding pintu. Darah mengucur ke pipinya. Diraihnya tongkatnya yang tergeletak di samping pintu. Ia melangkah ke luar sambil sempoyongan. Tepat di bibir sungai yang berjarak 100 meter dari rumahnya, ia menghentikan langkahnya sambil menatap ke bawah. "Barangkali penderitaanku akan berakhir sekarang," kata Amak Stowek dengan rasa putus asa. Ia merasakan hidupnya sangatlah berat. Tanpa pikir panjang ia membuang dirinya di sungai besar dekat gubuknya. "Brug....," suara tubuh Amak Stowek jatuh. Namun, kaki dan tongkatnya tersangkut akar pohon di bibir sungai itu. Ia menggelantung dan berteriak-teriak minta tolong. "Tolong-tolong," teriak Amak Stowek. Namun, tak satu pun orang yang mendengar.
Derasnya aliran sungai, membuat rasa takut di benaknya. Dipandanginya bibir sungai yang agak juram sambil menggelantung di akar pohor besar itu. Tenggorokannya terasa sesak memanggil-manggil orang yang akan menolongnya. Tapi, tak satu pun yang muncul. Hingga akhirnya, ia mencoba menolong dirinya dengan tongkat yang tersangkut akar pohon di sampingnya. Diraihnya tongkat itu. Perlahan ia tancapkan tongkat di bibir sungai itu sambil mencoba mengangkat diri ke atas. Berkali-kali ia mencoba, namun belum berhasil.
Keringat dan air mata menetes deras di pipinya. Ia sangat menyesali perbuatan konyolnya. Kembali ia mencoba mengangkat tubuhnya dengan susah payah. Tapi gagal lagi. Sejenak ia istirahat, sejenak lagi ia mencoba berulang-ulang sampai akhirnya berhasil. "Berhasil," celetuk Amak Stowek kegirangan. Rasa gembira terbersit di hatinya. Ia merasa seperti keluar dari lubang kematian. Direbahkan tubuhnya di pinggir bibir sungai itu sambil menarik nafas lega. "Tuhan, terima kasih, Engkau telah menolongku dari perbuatan hina ini!" seru Amak Stowek sambil menengadahkan kepalanya ke atas. Dipandanginya bintang-bintang yang bertaburan. "Indah nian bintang-bintang itu, begitu cantik dengan cahyanya yang berkilau." ungkap Amak Stowek.
Puas memandangi bintang-bintang, Amak Stowek mengarahkan pandangannya ke arah bulan yang bersinar terang menyinari bumi. "Oh, Tuhan begitu sempurnaNya ciptaanMu. Malam Kau sinari bumi dengan bulan dan bintang, siang Kau sinari bumi dengan matahariMu. Alangkah sempurnaNya ciptaanMu Tuhan!" seru Amak Stowek mengagung-agungkan kebesaran Tuhan.
Tak lama kemudian, Amak Stowek mengamati tubuhnya. Seketika, perasaan kagum itu berubah menjadi kesedihan yang mendalam. Hatinya berdegup kencang merasakan duka yang dalam. Dalam hati ia bertanya, "Tuhan akankah penderitaan ini terus begini?" tanyanya. Tiba-tiba datang bisikan setan kepadanya, "Amak Stowek, Tuhan memang membenciMu. Kau lihat rumput, pohon, bintang, bulan dan semua yang ada di depanmu, semuanya diciptakan sempurna. Tetapi, kamu diciptakan tidak sempurna!" ejek setan-setan kepada Amak Stowek. Seketika, perasaan Amak Stowek terasa dibakar. Ia merasa seolah Tuhan memberikan ketidakadilan pada dirinya.
"Hiaaaaaat....," teriak Amak Stowek. Ia segera bangun dan mendekati kembali bibir sungai di hadapannya. Tapi, rasa bersalah itu kembali muncul. Akhirnya ia mengurungkan niatnya untuk membuang diri di sungai. Dilangkahkan kakinya ke rumah tempat tinggalnya. Direbahkan tubuhnya dan terlelap hingga pagi hari.