Mohon tunggu...
Lalang PradistiaUtama
Lalang PradistiaUtama Mohon Tunggu... Penulis - Ayah satu anak

Bekerja di Dinas Kominfo dan S2 Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mitos Sisifus KPK

11 Mei 2021   07:34 Diperbarui: 11 Mei 2021   07:37 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Lalang Pradistia Utama

Pascasarjana Ilmu Komunikasi Unsoed Purwokerto

Humas Pemuda Muhammadiyah Purbalingga

Sisifus dikutuk untuk mendorong batu besar ke atas puncak bukit. Setelah batu besar sampai di puncak, batu digelindingkan kembali ke bawah dan hal tersebut berulang-ulang secara terus menerus. Itu adalah cerita mitos Sisifus dari Yunani yang dirangkum oleh Albert Camus untuk menggambarkan ke-absurd-an.

Cerita mitos tentang Sisifus dapat diinterpretasikan berbagai macam dan yang jelas itu adalah penggambaran bagaimana seseorang atau sistem yang dirancang dengan rapi untuk menuju kejayaan, dijatuhkan kembali menuju titik nadir. Dalam mitos itu juga terdapat unsur kesengajaan yang dilakukan seseorang agar apa yang dicapai dikembalikan lagi kepada titik terendah.

Dongeng atau mitos Sisifus tersebut semoga hanya mitos dan dongeng belaka karena hal itu sangat tidak masuk akal. Dimana cita-cita seseorang dan sistem untuk mengantarkan suatu yang luhur kepada puncak tertinggi justru digelindingkan kembali kepada yang paling nista dan tidak berharga. Itu tentu saja sebuah ketidakmasukakalan yang mengarahkan pada pengulangan sejarah yang tidak baik.

Tapi agaknya, dongeng sisifus begitu presisi untuk beberapa kasus termasuk dalam penegakan hukum. Di Indonesia, penegakan hukum yang paling mendapat sorotan adalah soal bagaimana sikap penegak hukum kepada para pelaku tindak pidana korupsi. Korupsi di Indonesia menjadi penyakit kronis yang menurun bahkan sejak reformasi dicetuskan. Di masa reformasi bahkan ada idiom yang menyatakan 'kalau dulu korupsi berlangsung di balik meja dan sekarang korupsi berlangsung di atas meja'. Sebuah kalimat yang menggambarkan pesimisme masyarakat terhadap praktek korupsi yang semakin menggurita.

Indeks persepsi korupsi di Indonesia tidak pernah beranjak kepada posisi yang baik dikarenakan mental para birokrat yang berorientasi untung untuk setiap pelayanan atau kegiatan. Kong kalikong persekongkolan untuk memuluskan niat jahat memperkaya diri sendiri para abdi negara dengan sesame abdi negara atau pihak ketiga 'lazim' dilakukan.

Harapan mulai muncul tatkala UU Nomor 30 tentang KPK tahun 2002 dan dipraktekan secara baik oleh Presiden Megawati Soekarno Putri. Di tahun-tahun kala Megawati berkuasa, terapi kejut lewat KPK berjalan cukup efektif setidaknya untuk mencitrakan kepada masyarakat bahwa pemerintah mempunyai itikad baik dalam hal pemberantasan korupsi. Keramatnya pos jabatan seperti Menteri terendus dan terjaring oleh penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK. Tercatat ada empat Menteri yang tersangkut kasus korupsi di masa Megawati yaitu Rokhmin Dahuri yang kala itu menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Achmad Sujudi yang menjabat sebagai Menteri Kesehatan, Hari Sabarno yang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri dan Bachtiar Chamsyah yang menjadi Menteri Sosial.

Yang menarik dari Menteri-Menteri Megawati tersebut adalah mereka ditetapkan sebagai tersangka setelah mereka sudah tidak lagi menjabat Menteri atau ditetapkan tersangka saat tampuk pimpinan dipegang oleh Presiden SBY. Ini tentu saja menimbulkan pertanyaan apakah di masa pemerintahan sebelum SBY memiliki political will untuk melakukan pemberantasan korupsi. Karena dalam melakukan pemberantasan korupsi juga diperlukan niatan politik dari penguasa (Setiadi: 2000).

Bandingkan dengan SBY yang 'membiarkan' Menterinya dicokok KPK bahkan dua Menteri yaitu Andi Mallarangeng dan Jero Wacik adalah dua orang Menteri SBY yang merupakan dari partai yang sama dengan pemrintah yaitu Demokrat. Tentu saja itu tidak bisa menjadi indikator keseriusan pemberantasan korupsi dua mantan Presiden tersebut. Akan tetapi, pemberian ruang yang luas kepada penegak hukum khususnya KPK menjadi bukti supremasi hukum menjadi hal yang sakral di masa Presiden SBY.

Dinamika yang muncul atas mitos Sisifus yang terjadi di KPK ada saat gonjang ganjing di akhir masa jabatan Abraham Samad Cs. Akhir masa Abraham Samad yang kemudian didemisionerkan pada masa Jokowi memunculkan nama pimpinan pelaksana tugas yang pernah menjadi pimpinan di masa Megawati. Apakah ini suatu kebetulan antara Jokowi dan Megawati yang satu partai?

Aura pemberantasan korupsi yang menurun kemudian diejawantahkan lewat IPK (Indeks Persepsi Korupsi) Indonesia di masa Jokowi. Teranyar, IPK Indonesia berada di posisi 102 dari 180 negara yang sebelumnya menduduki peringkat ke-85. Hal tersebut menjadi bukti betapa struggling pemerintahan sekarang memberantas korupsi bahkan di masa yang serba terbuka ini.

Memang tidak ada yang sempurna termasuk pada sistem penguatan pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, banyak yang sepakat kalau system pemebarantasan korupsi sekarang seperti mitos sisifus yang menggelindingkan prestasi dari puncak menuju ke dasar. Mulai dari aksi demonstrasi sebelum pengesahan UU KPK yang baru hingga yang terbaru adalah assessment pegawai KPK yang tidak lolos menjadi ASN karena tes wawasan kebangsaan yang seolah memframing memang ada faksi radikal di lembaga yang pernah dikeramatkan itu.

Aksi Gejayan memanggil misalnya, adalah sebuah aksi yang tadinya dianggap sebagai kebangkitan critical thinking para mahasiswa akan bangsanya. Tapi nyatanya para mahasiswa kembali tertidur dengan bersikap apatis terhadap perkembangan bangsa yang ada. Critical thinking bukan berarti mereka harus bersikap keras menjurus kasar namun hampir tidak terdengar oposan abadi dari pari intelektual muda itu.

Kembali pada pesimisme pemberantasan korupsi. Dengungan pembubaran lembaga anti garong uang rakyat sekarang mengemuka di tengah masyarakat. Tak main-main, lembaga sekelas Pukat UGM pun ikut menyuarakan pembubaran itu. Tak ayal rasa pemisis juga menghinggapi masyarakat umum yang memandang KPK sudah tidak punya taji.

OTT Nyawa KPK?

Tarik ulur status 75 pegawai KPK yang terancam dipecat bukanlah satu-satunya hal yang menarik perhatian public. Pengkebirian KPK lewat revisi UU KPK juga menjadi perhatian masyarakat tapi dalam arti negative yaitu pesimisme. "Hiburan" masyarakat berupa tontonan pejabat public yang digelandang menggunakan rompi oranye adalah hal yang akan dirindukan.

Ya, walaupun dua Menteri Jokowi juga digelandang lewat OTT (Operasi Tangkap Tangan), itu belum cukup memuaskan dahaga masyarakat akan garangnya KPK di medan laga pemberantasan korupsi. Bahkan menurut Zainal Arifin Mochtar, apa yang dilakukan KPK terhadap dua Menteri Jokowi adalah aksi segelintir pegawai KPK yang masih mempunyai idealism. Apakah mereka termasuk 75 pegawai yang yang tidak lolos itu?

OTT juga menjadi keterlenaan KPK dalam hal pemberantasan korupsi. Potong kompas yang dilakukan KPK sebelum revisi UU menjadi preseden buruk untuk mereka sendiri. OTT seperti menjadi pedang bermata dua bagi KPK. Di satu sisi mereka bisa menghentikan hegemoni pemerintahan yang korup 'tanpa' harus bersusah payah mengungkap rumitnya kepintaran koruptor. Di sisi lain mereka menghadapi celah yang suatu hari (sekarang) bisa dibredel yaitu mekanisme OTT yang melalui penyadapan.

Zona nyaman KPK berupa OTT pada masa itu bisa kita sebut sebagai reduksi kelincahan KPK dalam mengungkap kasus-kasus besar. Dan ketika UU KPK direvisi, KPK seolah benar-benar kehilangan tajinya. Padahal, OTT menurut Febri Diansyah (mantan Jubir KPK) adalah nyawa KPK saat melakukan penindakan kepada dua menteri di saat KPK diterpa isu penggembosan. Febri bahkan menyebut OTT adalah jalan penyelamatan muka KPK.

Penggeledahan yang bocor baru-baru ini adalah hanya salah satu contoh betapa sulitnya mengaplikasikan UU KPK yang baru hasil revisi dan itu dimungkinkan juga pada proses OTT mengingat prosesnya sekarang yang agak Panjang.

'Serangan balik' terhadap rangkaian OTT melalui UU KPK adalah sikap terhadap agresivitas KPK yang melulu tentang OTT. OTT juga rawan digunakan untuk kepentingan politik tertentu dengan memanfaatkan KPK. Banyak pejabat publik yang akhirnya 'terjebak" OTT karena kesalahan 'kecil' yang bersifat administrative yang akhirnya mereka harus berkelindan dengan berbagai oknum untuk membersihkan perkara mereka.

Tentang hal di atas, Presiden Jokowi ternyata jeli. Pada masa awal periode pertama, Jokowi mengumpulkak para Kajati yang memberikan pesan bahwa kesalahan yang bersifat administratif jangan dulu ditindak. Jokowi dengan pengalamannya sebagai kepala daerah agaknya tahu penegak hokum sering bermanuver saat kesalahan bersifat administratif menerpa.

Main mata antara pejabat publik dengan penegak hokum inilah yang memunculkan berbagai spekulasi. Terlebih ketika Walikota Tanjung Balai ketahuan berkonspirasi dengan penyidik KPK. KPK sebagai lembaga super body yang sangat ditakuti itu dijamah-jamah oleh oknum pejabat public, lalu bagaimana dengan penegak hokum yang tidak diberi kewenangan seluas KPK?

Kong kalikong antara penegak hokum dengan pihak yang berpekara paling legendaris yang kemudian diungkap KPK adalah jaksa Urip dengan Artalita Suryani atau Ayin. Inilah pintu masuk OTT KPK yang disebabkan persekongkolan antara penegak hokum dengan pihak berperkara.

KPK Tinggal Legenda?

Apatisme masyarakat terhadap KPK sebetulnya dimulai saat dimulainya seleksi pimpinan KPK di masa yang sekarang. Kasus penyobekan yang dikenal dengan buku merah KPK sehingga sang pegawai dihatuhi hukuman etik dan kemudian menjadi salah satu pimpinan merupakan distorsi atas reputasi dan citra yang telah dibangun selama ini.

Di tengah sorotan masyarakat yang belum selesai, pimpinan KPK kembali diterpa berita helikopter yang menghebohkan. Di Indonesia yang sedang gandrung dengan kesederhanaan, helikopter adalah anti-tesis dari apa yang digandrungi masyarakat.

KPK melegenda karena berhasil menyeret nama-nama besar baik OTT maupun bukan ke meja pesakitan. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terjadi dan legenda itu dibentuk dari personal KPK yang mempunyai idealism. Idealisme itulah yang kemudian membuat mereka baik pimpinan maupun penyidik terpental. Sebut saja Antasari Azhar yang sedang garang-garangnya harus terhenti oleh kasus yang kemudian hari oleh public dicurigai sebagai sesuatu yang tidak seperti digambarkan.

Lalu, kemudian ada Novel Baswedan dan 74 pegawai lainnya yang harus menghadapi nasib tak jelas setelah gagal melalui tes wawasan kebangsaan. Tidak main-main, TWK ini melibatkan lembaga telik sandi yang pastinya latar belakang mereka telah diteliti dengan seksama.

Kita semua sepakat jika hasil TWK bersifat obyektif maka ke-75 pegawai itu memang harus dievaluasi karena itu bersinggungan dengan ideology negara yang tidak bisa ditawar. Akan tetapi, jika TWK itu dipakai sebagai legalitas untuk menyingkirkan personel yang tidak good boy, maka ini akan menjadi boomerang bagi eksistensi lembaga keramat itu. Jangan sampai ketidak heranan para akademisi bulak sumur atas gagalnya Novel dkk terbukti. Diperlukan ketransparanan dari KPK akan hal tersebut agar citra mereka tidak makin merosot dan kepahlawanan mereka hanya tinggal legenda.

KPK harus segera merestorasi citra mereka dengan bergerak cepat dalam hal pemberantasan korupsi. Restorasi citra ini hanya bisa dilakukan jika sebuah lembaga mampu menunjukan kinerja baik sesuai dengan bidangnya (Kriyantono: 2014). Sehingga batu besar yang dibawa Sisifus dalam KPK yang sekarang di bawah bisa kembali ke atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun