Catatan: Artikel ini adalah kelanjutan dari artikel bagian satu dari tulisan dengan judul yang sama
Â
MEF-IEF
Menurut Koordinator Staf Ahli (Koorsahli) KSAU Marsda TNI Dr. Umar Sugeng Hariyono, S.IP, SE, MM, dalam disertasi doktornya menjelaskan bahwa TNI AU masih memiliki jauh dari jumlah kebutuhan armada pesawat ideal dengan total sekitar 600 unit. Rencana pengembangan kekuatan menuju Ideal Essential Force (IEF) periode 2024-2039 membutuhkan sedikitnya penambahan 348 pesawat. Dengan asumsi proporsi pesawat tempur berada pada kisaran 30%-40%, berarti TNI AU masih membutuhkan lebih dari 100 unit pesawat tempur modern tingkat satu (sebanding dan di atas spesifikasi F-16) untuk mencapai IEF.Â
Dalam praktiknya, struktur persenjataan pertahanan udara masing-masing negara atau lembaga pertahanan tentu saja tidak atau tidak bisa sama persis dengan USAF, karena kendala finansial dan lain sebagainya. Namun, dasar acuan AS dalam menetapkan definisi tinggi-rendah adalah karena selama ini mereka aktif berperang di berbagai panggung perperangan di luar wilayahnya sendiri.Â
Tentu saja TNI AU tidak punya kewajiban untuk mengatur postur armada yang secara definitive 100% sama dengan USAF, walau pendekatannya sebenarnya tetap dapat diadopsi, sesuai dengan keunggulan masing-masing jenis pesawat yang diakuisisi. Jika kebijakan LN bebas-aktif RI saat ini cenderung berorientasi pada alutsista AS dan sekutu, maka pengelolaan pesawat tempurnya bisa memodifikasi high-low USAF, untuk kemudian menyamakan posisinya dengan Thailand dan bahkan mendekati atau sedikit melampaui Singapura.Â
Keseragaman armada pesawat tempur sangat penting, apalagi TNI saat ini sedang memperkuat sistem Network Centric Warfare. Kekuatan TNI AU tidak bisa didominasi oleh hanya salah satu dari pesawat tempur buatan AS maupun Rusia sebab, akan menimbulkan konflik sistem di lapanga Selain itu, ini juga dapat mengganggu kelancaran interoperabilitas tiga dimensi. Tidak hanya spesifikasi pesawat tempur, namun kehadiran kombinasi pesawat tempur yang pas di pangkalan udara terluar, serta daya jelajah (termasuk waktu respons) di sekitar titik nyala justru sama pentingnya.
Plan A adalah kombinasi pesawat F-15EX, Rafale, F16 lama, dan beberapa Sukhoi. Namun Indonesia juga harus punya rencana B. Misalnya Rafale sebagai pesawat "high" dan F-16 "low". Kemudian, 10 atau 20 tahun kemudian, F-16 digulingkan oleh Rafale, dan peran "high" dapat diisi oleh F-15EX atau F-35 dan lainnya.
Â
Pertimbangan Strategis
Antara tahun 2022 sampai 2024, Indonesia telah membeli sejumlah alutsista, guna memenuhi rencana strategis program Minimum Essential Force (MEF) TNI tahap III. Beberapa alutsista yang akan dibeli antara lain 8 unit pesawat tempur multirole F-15 EX (Amerika Serikat) dan 42 unit pesawat tempur Dassault Rafale (Prancis).Â
Meski sudah ada pedoman postur, renstra, dan MEF, namun pengadaan alutsista pada dasarnya bergantung kepada kondisi lingkungan strategis yang terus berubah secara dinamis. Selain itu, pengadaan alutsista juga mempengaruhi dinamila diplomasi pertahanan dengan negara lain yang mempunyai nilai strategis bagi konstelasi politik global.Â
Pembelian kedua pesawat tempur ini juga dapat meningkatkan efek deterrence bagi Indonesia di kawasan. Sebelumnya, Indonesia berencana melakukan pengadaan pesawat tempur buatan Rusia yakni Sukhoi Su-35, namun rencana pembelian tersebut tidak diteruskan oleh Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI.Â
Rencana pembelian Dassault Rafale & F-15 Ex dinilai sebagai langkahyang lebih bijak di tengah penerapan The Countering America's Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) di Amerika Serikat pada saat itu. CAATSA merupakan aturan yang diterapkan untuk memberikan sanksi berupa embargo beserta sanksi ekonomi-politik lainnya terhadap negara-negara yang membeli senjata dari Rusia, Iran, dan Korea Utara.
Penambahan kekuatan tempur utama merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi Indonesia. Dari Indeks Global Firepower, terlihat bahwa kekuatan tempur udara RI Â masih tergolong kurang memadai. Membeli pesawat tempur yang lebih presisi adalah kata kuncinya. Dengan pembelian pesawat tempur Rafale, maka daya tempur TNI AU akan bertambah dari 461 unit menjadi 503 unit alutsista.
Â
ToT (Transfer of Technology)
Â
Transfer teknologi merupakan salah satu cara untuk mencegah penghambatan penguasaan teknologi. Kebijakan tersebut merupakan strategi dalam mengembangkan kapasitas SDM agar produktivitasnya semakin meningkat. Peningkatan produktivitas manusia akan menghasilkan produk yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Dalam kontrak pembelian 42 pesawat Rafale yang dibuat oleh Dassault juga dibuat nota kesepahaman (MoU) kerjasama Offset dan Program ToT antara Dassault dengan PT Dinrgantara Indonesia.Â
Perjanjian kontrak pengadaan pesawat Dassault Rafale menekankan pada proses transfer teknologi (ToT) dengan mengirimkan para tenaga ahli dan pekerja untuk belajar dan magang di industri pengembangan pesawat tempur. Selain HR offset, diperlukan juga skema offset produksi komponen pesawat terbang di Indonesia oleh industri nasional yaitu PT Dirgantara Indonesia (PT DI). Sebagai aset strategis nasional, PT DI memerlukan kesinambungan antara sumber daya manusia dan fasilitas bertaraf internasional.Â
Portofolio bisnis PT DI terdiri dari pesawat terbang, helikopter, jasa pesawat terbang (pemeliharaan atau maintenance, overhaul, perbaikan dan pengubahan, aerostruktur (bagian dan sub-rakitan, perakitan alat dan perlengkapan), jasa teknik (teknologi komunikasi, simulator, dan informasi) dan solusi harus fokus pada optimalisasi sistem penerbangan nasional sebagai penyedia pesawat komuter dan alutsista TNI.Â
Strategi pembangunan harus mengedepankan pentingnya kemandirian bangsa dan penguasaan teknologi oleh anak bangsa sendiri. Untuk itu, pemerintah perlu memasukkan unsur ilmu pengetahuan dan teknologi untuk pengembangan sumber daya manusia dalam perjanjian belanja alutsista itu sendiri.
Harus diakui bahwa SDM yang kita miliki saat ini masih terbatas, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, padahal SDM merupakan komponen utama dalam menentukan keberhasilan kerja tim Research and Development. Terbatasnya kualitas dan kuantitas tenaga ahli teknologi hanya akan membelenggu fungsi R&D. Penelitian dan pengembangan merupakan jembatan yang menghubungkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kepentingan manusia.Â
Oleh karena itu, lembaga litbang harus didukung oleh tenaga ahli teknologi yang mumpuni dan dalam jumlah yang cukup. Segala upaya dan upaya harus dilakukan untuk meningkatkan jumlah alih teknologi yang bersifat umum maupun militer sesuai dengan tuntutan disiplin ilmu yang dibutuhkan.Â
Perkembangan industri teknologi pertahanan memang memerlukan komitmen yang kuat dari pemerintah. Komitmen tersebut tentunya berkaitan dengan pengembangan industri pertahanan, termasuk kebijakan offset di dalamnya, sebagai upaya menuju kemandirian pertahanan Indonesia.
Pemerintah memegang kendali inti dalam pengembangan dan implementasi kebijakan offset karena dukungan dana, sumber daya manusia, dan kemauan politik adalah tiga pilar penting dalam hal ini. jika kebijakan ini dijalankan secara maksimal, maka kita akan melihat Indonesia merdeka dan banyak berpengaruh di kancah internasional.Â
Selain itu, peran akademisi dapat membantu memaksimalkan penyerapan dan penyebaran teori-teori yang dapat membantu kelancaran transfer ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk mendukung transfer teknologi. Selain itu, faktor yang berpengaruh dalam transfer teknologi antara lain fasilitas produksi, kemampuan manajerial sumber daya manusia, dan komitmen pemerintah dalam proyek transfer teknologi ini.Â
Dalam proses alih teknologi, diperlukan investasi yang besar untuk menyiapkan fasilitas pendukung produksi yang dibutuhkan. Kesuksesan pengelolaan teknologi suatu negara bergantung pada komitmen politik pemerintah untuk dapat meningkatkan penguasaan teknologi tertentu, seperti membuat regulasi dan legislasi yang mendukung tercapainya penguasaan teknologi, serta dukungan lain seperti sponsor finansial untuk mencapai anajemen yang baik dalam rangka penguasaan teknologi tertentu.
Kesimpulan
Â
Pembelian pesawat tempur Dassault Rafale yang telah dilakukan oleh Kementerian Pertahanan bisa jadi efektif dalam merumuskan postur pertahanan jika mana pendekatan USAF (United States Air Force) dengan kombinasi "high-low"nya dapat diadopsi sesuai kebutuhan.Â
Dalam pemenuhan alutsista, Indonesia juga harus realistis dalam menyikapi perimbangan kekuatan regional di ASEAN. RI juga harus beradaptasi atas ealisasi MEF menuju IEF, misalnya dengan kekuatan angkatan udara tiga negara tetangga yang kuat seperti Vietnam, Thailand, dan Singapura. Dengan demikian, kedaulatan wilayah udara Indonesia tidak mudah terancam dan dilanggar oleh pihak asing serta terlindungi dari serangan musuh jika sewaktu-waktu terjadi perang yang melibatkan negara kita.
Perjanjian kontrak pengadaan pesawat Dassault Rafale hendaknya menekankan pada transfer teknologi (ToT) dengan mengirimkan sumber daya manusia untuk belajar dan magang di industri pengembangan. Selain HR offset, diperlukan juga skema offset produksi komponen pesawat terbang di Indonesia oleh industri nasional, yang mana kebijakan ini memang membutuhkan komitmen kuat dari pemerintah. Jika kebijakan ini dijalankan secara maksimal, maka penulis yakin kita akan melihat Indonesia menjadi negara yang lebih lebih mandiri dalam mempertahankan kedaulatannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H