Meski sudah ada pedoman postur, renstra, dan MEF, namun pengadaan alutsista pada dasarnya bergantung kepada kondisi lingkungan strategis yang terus berubah secara dinamis. Selain itu, pengadaan alutsista juga mempengaruhi dinamila diplomasi pertahanan dengan negara lain yang mempunyai nilai strategis bagi konstelasi politik global.Â
Pembelian kedua pesawat tempur ini juga dapat meningkatkan efek deterrence bagi Indonesia di kawasan. Sebelumnya, Indonesia berencana melakukan pengadaan pesawat tempur buatan Rusia yakni Sukhoi Su-35, namun rencana pembelian tersebut tidak diteruskan oleh Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI.Â
Rencana pembelian Dassault Rafale & F-15 Ex dinilai sebagai langkahyang lebih bijak di tengah penerapan The Countering America's Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) di Amerika Serikat pada saat itu. CAATSA merupakan aturan yang diterapkan untuk memberikan sanksi berupa embargo beserta sanksi ekonomi-politik lainnya terhadap negara-negara yang membeli senjata dari Rusia, Iran, dan Korea Utara.
Penambahan kekuatan tempur utama merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi Indonesia. Dari Indeks Global Firepower, terlihat bahwa kekuatan tempur udara RI Â masih tergolong kurang memadai. Membeli pesawat tempur yang lebih presisi adalah kata kuncinya. Dengan pembelian pesawat tempur Rafale, maka daya tempur TNI AU akan bertambah dari 461 unit menjadi 503 unit alutsista.
Â
ToT (Transfer of Technology)
Â
Transfer teknologi merupakan salah satu cara untuk mencegah penghambatan penguasaan teknologi. Kebijakan tersebut merupakan strategi dalam mengembangkan kapasitas SDM agar produktivitasnya semakin meningkat. Peningkatan produktivitas manusia akan menghasilkan produk yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Dalam kontrak pembelian 42 pesawat Rafale yang dibuat oleh Dassault juga dibuat nota kesepahaman (MoU) kerjasama Offset dan Program ToT antara Dassault dengan PT Dinrgantara Indonesia.Â
Perjanjian kontrak pengadaan pesawat Dassault Rafale menekankan pada proses transfer teknologi (ToT) dengan mengirimkan para tenaga ahli dan pekerja untuk belajar dan magang di industri pengembangan pesawat tempur. Selain HR offset, diperlukan juga skema offset produksi komponen pesawat terbang di Indonesia oleh industri nasional yaitu PT Dirgantara Indonesia (PT DI). Sebagai aset strategis nasional, PT DI memerlukan kesinambungan antara sumber daya manusia dan fasilitas bertaraf internasional.Â
Portofolio bisnis PT DI terdiri dari pesawat terbang, helikopter, jasa pesawat terbang (pemeliharaan atau maintenance, overhaul, perbaikan dan pengubahan, aerostruktur (bagian dan sub-rakitan, perakitan alat dan perlengkapan), jasa teknik (teknologi komunikasi, simulator, dan informasi) dan solusi harus fokus pada optimalisasi sistem penerbangan nasional sebagai penyedia pesawat komuter dan alutsista TNI.Â
Strategi pembangunan harus mengedepankan pentingnya kemandirian bangsa dan penguasaan teknologi oleh anak bangsa sendiri. Untuk itu, pemerintah perlu memasukkan unsur ilmu pengetahuan dan teknologi untuk pengembangan sumber daya manusia dalam perjanjian belanja alutsista itu sendiri.