Mohon tunggu...
Ni Made Dwita
Ni Made Dwita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Psikologi 19

tkut tp ttp prcya diri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Prasangka Masyarakat terhadap Korban Pemerkosaan

13 Juli 2021   19:14 Diperbarui: 13 Juli 2021   19:21 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENDAHULUAN

Pelecehan seksual merupakan istilah yang tidak asing lagi ditelinga masyarakat kita. Pelecehan seksual adalah bentuk perilaku yang tidak diinginkan. Arti dari kalimat ‘perilaku yang tidak diinginkan’ sendiri berbeda dengan arti kalimat ‘tidak disengaja,' karena pada dasarnya seorang korban bisa saja menyetujui atau mengizinkan perilaku tertentu dan secara aktif berpartisipasi di dalamnya, meskipun tindakan itu menyinggung dan tidak menyenangkan. Dengan kata lain, apabila seseorang mengalami perilaku seksual yang tidak diinginkan, maka orang tersebut telah mengalami pelecehan seksual. Hal ini dapat dilihat dari apakah orang tersebut benar-benar menyambut permintaan untuk berkencan, komentar yang berhubungan dengan orientasi seksual, lelucon bersama teman, dan lain sebagainya. Dengan begitu, situasi tersebut disesuaikan kembali dengan keadaan masing-masing pihak yang mengalaminya (BNA Communications, Inc., 2014). 

Pelecehan seksual sendiri mencakup banyak hal, seperti pemerkosaan atau penyerangan yang berhubungan dengan perilaku seksual, komentar yang tidak diinginkan yang memuat konten seksualitas, bersiul pada seseorang, serta bertanya tentang kehidupan pribadi seksual seseorang. Tidak hanya itu, menyebarkan desas-desus akan kehidupan pribadi seksual seseorang dan membuat gerakan seksual juga dapat digolongkan termasuk ke dalam pelecehan seksual. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan salah satu pihak tidak menyukai dan tidak menginginkan akan terjadinya perilaku seksual tersebut (BNA Communications, Inc., 2014). 

Pada dasarnya, semua orang berpeluang menjadi korban maupun pelaku pelecehan seksual. Korban dan pelaku pelecehan seksual tidak memandang gender, ras, suku, usia, dan lain sebagainya. Pelecehan seksual bisa dilakukan antar lawan jenis (pria ke perempuan atau sebaliknya), bahkan sesama jenis (perempuan ke perempuan atau pria ke pria). Namun, pada banyak kasus pelecehan seksual yang marak terjadi di lingkungan kita, perempuan lebih sering dijadikan sasaran korban perilaku asusila tersebut. Sebaliknya, laki-laki lah yang paling banyak ditemui sebagai pelaku dari berbagai kasus pelecehan seksual yang terjadi di masyarakat.   

Kasus pelecehan seksual dapat terjadi dimana saja. Banyak kasus pelecehan seksual yang ditemui di sekolah dan universitas. Padahal, sekolah dan universitas merupakan tempat yang aman bagi siswa serta mahasiswa untuk belajar dan menimba ilmu guna masa depan mereka. Namun pada kenyataannya, tempat tersebut juga dapat dijadikan sebagai tempat terjadinya pelecehan seksual. Pihak-pihak yang terlibat pada kasus tersebut tentunya merupakan pihak yang ada di dalam lingkungan itu sendiri. Berbagai media online meliput kasus pelecehan seksual yang terjadi di sekolah, baik antar sesama siswa maupun antar guru dan siswa. 

Berdasarkan pemberitaan Tribunnews.com (02/06/2021), terjadi pelecehan seksual yang dilakukan oleh pemilik sekolah kepada lebih dari 25 orang siswa. Perilaku tersebut diduga dilakukan berulang kali hingga siswa tersebut lulus. Pelaku melakukan perilaku asusila tersebut dengan berkedok akan memberikan pendidikan gratis bagi korban. Hal itu tentu saja menarik perhatian korban sehingga memudahkan pelaku melancarkan aksinya.  

Selain di lokasi sekolah, pelecehan seksual juga kerap kali terjadi di tempat kerja dan fasilitas umum, seperti di transportasi umum kereta, bus, angkot, dan bisa juga terjadi di trotoar yang menjadi tempat pejalan kaki berlalu-lalang. Dilansir dari Republika.co.id (27/11/19), kasus pelecehan di transportasi umum yang dilaporkan terjadi di dalam bus sebesar 35,8%, di dalam angkot 29,49%, KRL 18,14%, ojek online 4,79%, dan ojek konvensional 4,27%. 

Pelecehan seksual juga bisa terjadi di media online, yakni di media sosial. Pelecehan di media sosial sering kali dijumpai dalam bentuk komentar berbau seksual dan foto atau video tidak senonoh yang berbau seksualitas. Berdasarkan pemberitaan JawaPos.com (12/12/20), salah satu korban menceritakan bahwa dirinya pernah mengalami kasus pelecehan dari seseorang yang tidak ia kenal. Seseorang tersebut meminta korban untuk mengirimkan foto bagian tubuhnya dan akan diberi imbalan sebesar 700 juta rupiah. Hal tersebut tentu saja mengagetkan korban. Korban yang memilih tidak merespon pesan tersebut lantas mendapatkan gambar yang tidak senonoh dari pelaku.

Kasus pelecehan seksual lain yang kerap terjadi di masyarakat adalah dalam kekerasan seksual. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Catahu Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual sebesar 962 kasus yang terdiri dari kekerasan seksual lainnya dengan 371 kasus. Kemudian diikuti kasus pemerkosaan sebanyak 299 kasus, 166 kasus pencabulan, 181 kasus pelecehan seksual, 5 kasus persetubuhan, serta 10 kasus percobaan pemerkosaan (Riana, 2021). Pada banyak kasus pelecehan seksual, perempuan adalah pihak yang seringkali menjadi korban. 

Perempuan sebagai korban pelecehan seksual membuat munculnya stigma di kalangan masyarakat bahwa kasus pelecehan yang terjadi merupakan kesalahan dari korban sendiri. Stigma ini dibuktikan dengan data dari Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang dilakukan oleh IJRS dan INFID (2020) menyatakan bahwa masyarakat memiliki anggapan mengenai kekerasan seksual yang terjadi akibat kesalahan dari pihak korban. Dari laporan tersebut masyarakat kebanyakan beranggapan bahwa kekerasan seksual salah satunya disebabkan karena korban bersikap genit, centil atau suka menggoda, menggunakan pakaian terbuka, dan sebagainya. 

Selain itu, laporan tersebut memberikan data sebanyak 75,8% masyarakat menyebut kekerasan seksual terjadi dikarenakan tidak ada keamanan pada tempat kejadian. Kemudian sebanyak 71,5% menyatakan bahwa korban bersikap genit, centil, atau suka menggoda; 69,2% berpakaian terbuka; 53,7% suka berfoto menggunakan pakaian seksi atau terbuka; 51,2% tidak bisa menjaga diri dan suka pergi atau keluar di malam hari; 32,2% kurangnya informasi; 25,7% tidak adanya aturan dari pemerintah; dan sebanyak 20,7% tidak menggunakan kerudung atau berhijab (IJRS, 2021).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun