Mohon tunggu...
Ni Made Dwita
Ni Made Dwita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Psikologi 19

tkut tp ttp prcya diri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Prasangka Masyarakat terhadap Korban Pemerkosaan

13 Juli 2021   19:14 Diperbarui: 13 Juli 2021   19:21 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain itu, video tersebut juga menunjukkan seperti apa stigma prasangka dan stereotip label dari masyarakat kepada perempuan di Indonesia yang sering terjadi. Mulai dari perempuan harus memakai hijab atau kerudung untuk menghindari terjadinya pelecehan seksual, menutup lekuk tubuhnya dengan memakai pakaian longgar dan panjang agar tidak menjadi korban pelecehan seksual, hingga tuntutan kepada perempuan untuk memiliki tubuh langsing (Dhani, 2017). Tidak hanya tiga hal itu saja, masih banyak hal lain yang menjadi concern bagi perempuan Indonesia akan stigma prasangka dan stereotip label akan hal tersebut. Selain itu, video ini menunjukkan bahwa adanya ketidakadilan yang terjadi pada perempuan di Indonesia. Contohnya seperti pada saat kejadian pemerkosaan pada perempuan, banyak masyarakat Indonesia yang menyalahkan korban pemerkosaan, seperti hal-hal apa saja yang diperbuat dan pakaian apa yang digunakan hingga ia menjadi korban pemerkosaan. 

Secara tidak langsung, stigma prasangka dan stereotip label yang ada pada perempuan di Indonesia itu berdampak pada laki-laki. Hal ini memperlihatkan bahwa laki-laki di Indonesia memiliki dominansi dan memiliki kontrol terhadap perempuan. Ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Sherry B. Ortner dalam penelitiannya yang berjudul “Is Female to Male as Nature Is to Culture?” Di dalam penelitiannya tersebut, Ortner (1972) menjelaskan alasan mengapa posisi perempuan, terutama ibu rumah tangga yang lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah itu posisinya lebih rendah dibandingkan laki-laki yang berada di luar rumah untuk mencari nafkah dan bekerja. Ia menjelaskan bahwa masyarakat seringkali menilai dan melihat seseorang itu dari luarnya saja, seperti laki-laki yang mencari nafkah di luar itu memiliki nilai lebih di mata masyarakat dibandingkan ibu rumah tangga yang berada di rumah.

Stigma dan label yang diberikan masyarakat terhadap perempuan di Indonesia ini benar-benar sudah melewati batas, bahkan hingga masyarakat menganggap bahwa yang disalahkan saat terjadinya pemerkosaan adalah korban, terutama korban tersebut adalah perempuan. Pembahasan akan stigma masyarakat terhadap perempuan di Indonesia saat ada kasus pelecehan seksual ini pasti mengarah kepada cara berpakaian korban, terutama jika korban tersebut adalah perempuan. Maka hal yang disalahkan sudah pasti pakaian si korban dari pemerkosaan tersebut. Stigma di masyarakat yang menyatakan bahwa penyebab pelecehan seksual adalah penggunaan pakaian perempuan yang terlalu minim merupakan salah satu prejudice atau prasangka yang ada di dalam ranah Psikologi Sosial. 

Sebelum kita mengaitkannya dengan stigma masyarakat kepada perempuan Indonesia, kita membahas dulu apa itu prejudice. Apa itu prejudice? Prejudice atau prasangka yang dikemukakan oleh Ahmadi (dalam Adelina et al., 2017) adalah sikap negatif seseorang atau kelompok terhadap orang lain atau kelompok lain. Sikap negatif yang ditunjukan dalam permasalahan ini adalah tuduhan yang dilayangkan oleh masyarakat terhadap korban pelecehan seksual yang menjadi akar dalam terjadinya kasus pelecehan seksual melalui komentar-komentar, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan media sosial. Tulisan Cherry (2020) dalam artikel yang berjudul “How People's Prejudices Develop” menyatakan bahwa prejudice juga dapat memiliki pengaruh yang kuat pada bagaimana orang berperilaku dan berinteraksi dengan orang lain, terutama dengan mereka yang berbeda dari mereka, bahkan secara tidak sadar atau tanpa orang tersebut menyadari bahwa mereka berada di bawah pengaruh prasangka internal mereka.

Kemudian, apa saja sih ciri-ciri dari prejudice? Ciri-ciri umum dari prejudice atau prasangka ini adalah adanya emosi negatif, kepercayaan akan stereotip, serta kecenderungan untuk mendiskriminasi anggota kelompok. Di dalam masyarakat, kita sering melihat prasangka terhadap suatu kelompok berdasarkan ras, jenis kelamin, agama, budaya, dan lainnya. Sementara itu, menurut sosiolog, definisi dari prejudice sangat bervariasi, akan tetapi sebagian besar dari sosiolog tersebut setuju bahwa prejudice sering mengacu pada stereotip negatif tentang anggota kelompok. Ketika seseorang memiliki pemikiran negatif terhadap orang lain yang merupakan salah satu anggota dari suatu kelompok, maka ia akan cenderung memandang semua orang yang ada di dalam kelompok sebagai "semuanya sama". Jika saja masyarakat melihat setiap individu itu memiliki karakteristik dan khasnya sendiri yang berbeda dari standar sosial, berarti standar sosial itu tidak akan ada gunanya dan setiap individu itu memiliki keunikannya sendiri. Tetapi sepertinya hal ini tidak berlaku bagi masyarakat Indonesia yang masih tetap kekeh dan bersikeras akan berbagai macam prasangka akan perempuan Indonesia yang menjadi korban pemerkosaan tersebut (Cherry, 2020).

Diskriminasi dan intimidasi dapat terjadi secara beriringan dengan timbulnya prasangka. Dalam beberapa kasus, prejudice didasarkan pada sebuah stereotip. Apa itu stereotip? Stereotip adalah asumsi tentang kelompok yang didasari dari pengalaman dan keyakinan sebelumnya. Stereotip ini tidak hanya dapat menyebabkan prasangka dan diskriminasi, serta kepercayaan yang salah. Gordon Allport mengatakan bahwa bias dan prasangka sebagian disebabkan oleh pemikiran manusia normal. Banyak informasi yang kita terima, baik itu informasi yang baik atau buruk, penting untuk mengklasifikasikan informasi ke dalam kelompok mental agar tidak membuat stereotip yang salah. Di dalam buku “The Nature of Prejudice” ini Gordon Allport mengemukakan bahwa “The human mind must think with the aid of categories.” Artinya adalah “Pemikiran manusia harus berpikir dengan bantuan kategori-kategori” yang mana pada saat kategori-kategori ini terbentuk, secara tidak langsung kategori adalah dasar dari adanya prasangka. Setiap manusia tidak bisa menghindari proses ini dan pasti mengalaminya. Jadi kehidupan manusia bergantung kepada pemikiran kategori-kategori yang ada pada setiap individu (Cherry, 2020).

Contoh yang terlihat jelas dari prejudice ini adalah prasangka masyarakat kepada perempuan di Indonesia. Prasangka ini tidak hanya satu atau dua macam, melainkan kian hari jumlahnya sangat banyak dan membuat perempuan Indonesia semakin resah akan hal tersebut. Mulai dari prasangka akan perempuan yang memakai baju terbuka dan seksi di tempat umum itu adalah perempuan ‘penggoda’ yang mengundang para laki-laki melakukan pemerkosaan kepadanya. Kemudian ada prasangka masyarakat akan perempuan yang memakai make-up tajam dan berani itu memiliki stigma yang sama kepada perempuan memakai baju terbuka. Tidak hanya itu juga, masyarakat juga memiliki prasangka akan bentuk ‘perempuan sempurna’ seperti bertubuh langsing, berkulit putih, tinggi, wajah mulus tidak ada jerawat satupun, dan lain-lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa prasangka yang dimiliki masyarakat akan perempuan Indonesia dan secara tidak langsung ini juga membentuk standar sosial yang mana banyak perempuan harus berjuang agar bisa masuk sesuai dengan standar sosial seperti yang telah disebutkan sebelumnya. 

Terlihat dari penjelasan sebelumnya, ciri-ciri dari prejudice sendiri jika dikaitkan dengan tema artikel yang kita bahas ini banyak sekali macamnya. Dari adanya prasangka masyarakat kepada perempuan Indonesia terkait penampilan perempuan, terutama perempuan korban pemerkosaan itu benar-benar terbukti sudah banyak sekali prasangka ini. Masyarakat yang seperti ‘mengatur’ tentang perempuan harus ini, itu, dan lain-lain sebagainya secara tidak langsung menimbulkan mayoritas masyarakat Indonesia memiliki perasaan dan pikiran negatif akan perempuan di Indonesia. Bahkan ini tidak menutup kemungkinan juga bahwa semua hal yang dilakukan perempuan itu bisa menimbulkan perasaan dan pemikiran negatif yang ada pada masyarakat Indonesia. 

Tidak hanya perasaan dan pikiran negatif saja, masyarakat Indonesia juga memiliki kepercayaan stereotip-nya sendiri saat melihat perempuan Indonesia, seperti kasus pemerkosaan yang terjadi itu, mayoritas menyalahkan pakaian korban. Terutama jika korban tersebut adalah perempuan. Sudah tidak heran lagi di platform media manapun akan komentar pakaian korban pemerkosaan itu sungguh banyak sekali. Tidak sedikit juga yang menyalahkan pakaian korban perempuan yang terbuka dan seksi. Lalu, bagaimana dengan korban pemerkosaan perempuan yang memakai baju tertutup seperti menggunakan niqab dan masih menjadi korban pemerkosaan? Katanya pakaian terbuka dan seksi itu mengundang para pelaku untuk melakukan pemerkosaan? Tetapi jika memang benar seperti ini apakah pakaian masih tetap salah? Tidak, pakaian tidak ada hubungannya dengan kasus-kasus pemerkosaan yang masih marak terjadi di Indonesia.

Selain itu dari berbagai macam prejudice atau prasangka yang terjadi pada perempuan di Indonesia ini secara tidak langsung masyarakat mendiskriminasi perempuan di Indonesia. Ini terlihat dari masih adanya banyak masyarakat yang menganggap bahwa “Perempuan harus di rumah,” “Perempuan tidak boleh bekerja dan bolehnya mengurus anak saja,” “Jika keluar rumah, jangan berpakaian terbuka dan seksi, karena nanti akan mengundang orang-orang untuk melakukan suatu hal buruk,” dan masih banyak lagi lainnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan juga bahwa masih ada perusahaan tempat bekerja yang mendiskriminasi perempuan. Contohnya seperti perusahaan yang mengutamakan laki-laki untuk menjadi pemimpin, padahal jika dilihat dari track-record pekerjaan sebelumnya itu lebih bagus perempuan untuk memimpin perusahaan. Namun sayang sekali, karena adanya suatu stereotip itu, maka perempuan yang memiliki track-record bagus dan sudah cocok untuk memimpin itu akan terkalahkan pada status gender saja. 

Dengan kata lain, menurut buku “The Nature of Prejudice” itu bergantung pada kemampuan kita untuk mengkategorikan orang, ide, dan hal-hal ke dalam kategori yang berbeda untuk membuat dunia lebih sederhana dan lebih mudah dipahami. Hal ini dikarenakan kita semua dibanjiri dengan terlalu banyaknya informasi yang masuk dan kita harus memilah-milah semua informasi yang masuk dengan cara yang logis, sistematis, dan rasional. Dengan mengkategorikan informasi yang masuk dengan cepat, kita dapat berinteraksi dan merespons informasi tersebut dengan cepat. Akn tetapi ini tidak menutup kemungkinan juga bahwa diri kita dapat menyebabkan kesalahan. Prasangka dan stereotip merupakan contoh dari kesalahan persepsi yang timbul berdasarkan kecenderungan kita dalam menilai informasi di sekitar kita dengan cepat.(Cherry, 2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun