Mohon tunggu...
Laksmi Haryanto
Laksmi Haryanto Mohon Tunggu... Freelancer - A creator of joy, a blissful traveler who stands by the universal love, consciousness, and humanity.

As a former journalist at Harian Kompas, a former banker at Standard Chartered Bank and HSBC, and a seasoned world traveler - I have enjoyed a broad range of interesting experience and magnificent journey. However, I have just realized that the journey within my true SELF is the greatest journey of all. I currently enjoy facilitating Access Bars and Access Energetic Facelift sessions of Access Consciousness - some extraordinary energetic tools of cultivating the power within us as an infinite being.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dijuluki 'Dokter Gila': Apa yang Kau Cari, Lie?

16 April 2020   09:10 Diperbarui: 16 April 2020   09:16 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bertemu Orang Suku Laut. Sumber gambar: dokumen pribadi.

Saat pertama kali berjumpa dengannya, aku hampir-hampir tak bisa melihat wujudnya. Dokter Lie A. Dharmawan yang oleh berbagai kalangan dijuluki 'dokter gila' itu, tenggelam di balik kerumunan tamu di atas Rumah Sakit Apung Nusa Waluya II yang sedang menancapkan jangkar di perairan Teluk Jakarta, awal Maret 2020 lalu.

Saat itu Yayasan Dokter Peduli - yang dikenal dengan DoctorSHARE - yang dipimpinnya sedang menyelenggarakan acara syukuran sepuluh tahun pengabdiannya pada masyarakat yang terpinggirkan di berbagai wilayah terpencil di negeri ini. Banyak tamu berkumpul untuk melakukan tour di rumah sakit apung itu, termasuk diriku yang beruntung mendapat undangan dari salah seorang panitia. Aku memanjang-manjangkan leher agar bisa melihatnya dengan jelas dari balik kerumunan orang.

"Hewan dan tanaman langka saja kita lestarikan, masak ada suku yang hampir punah, Suku Laut, kita biarkan begitu saja?"

Itu kalimat pertama yang kudengar dari sang 'dokter gila' setelah berhasil memandangnya dari balik punggung seseorang. Suaranya halus, tapi ada semangat membara di dalamnya. Dengan celana hitam dan kemeja abu-abu polos, dengan tas hitam kecil terselempang di pundaknya, Lie kelihatan begitu bersahaja. Semua orang tampak menyimak dengan hormat. Saat itu Lie sedang mengungkap keprihatinannya akan sekelompok masyarakat yang terpinggirkan, Orang Suku Laut, yang tinggal di pesisir-pesisir pantai Kepulauan Riau.

Baca juga 'Suku Laut, Janji Leluhur, dan Pewaris yang Hampir Punah'.

Bertemu Orang Suku Laut. Sumber gambar: dokumen pribadi.
Bertemu Orang Suku Laut. Sumber gambar: dokumen pribadi.
Sebagai mantan jurnalis aku sudah sering bertemu dengan orang-orang ternama. Tetapi selama ini jarang ada dorongan dalam diriku untuk berfoto bersama mereka. Entah mengapa malam itu tiba-tiba aku ingin menerobos kerumunan untuk bisa berfoto bersamanya, meski akhirnya aku harus puas dengan hanya mendapatkan foto bareng seabrek orang.

Maka saat aku menerima pesan WhatsApp dari DoctorSHARE yang menanyakan kesediaanku untuk menjadi relawan penulis di pelayanan medis yang akan datang di Kepulauan Riau, aku melongo.

"Apakah sang 'dokter gila' akan ikut dalam pelayanan medis di Kepulauan Riau? Apakah aku ditugaskan menulis tentang Orang Suku Laut?" Begitu tahu jawabannya adalah 'ya' untuk kedua pertanyaan itu, aku melompat riang. Aku senang bukan karena akan mendapatkan kesempatan berfoto lagi, tetapi pertama, aku sungguh-sungguh ingin tahu mengapa Lie mendapatkan gelar istimewa 'dokter gila' itu? Kedua, kesempatan untuk menulis tentang Orang Suku Laut pun bakal jadi pengalaman berharga tersendiri.

Iman dan Nasionalisme

Kegilaan pertama Lie yang ingin kutanyakan adalah, mengapa setelah mencapai tingkat kehidupan dan karir gemilang di Jerman, ia memutuskan pulang ke Indonesia? Mengapa ia sudi kembali ke negeri yang jelas-jelas sudah mendiskriminasinya karena etnis Tionghoanya? Mengapa - setelah berhasil meraih gelar PhD yakni gelar tertinggi di dunia akademis, kemudian berhasil menggaet empat spesialisasi di bidang bedah jantung, bedah toraks, bedah pembuluh darah, dan bedah umum, serta berhasil memiliki kedudukan sebagai dokter terpandang di Jerman - ia bersedia meninggalkan semua itu? Mengapa?

Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu sebenarnya sudah banyak kubaca dalam berbagai wawancaranya di media masa, juga tertuang dalam buku biografinya 'Dokter di Jalan Kemanusiaan' yang ditulis oleh Sylvie Tanaga dan Basillius Triharyanto. Lie selalu menekankan akan iman pada Tuhan dan karenanya juga pada kemanusiaan, serta nasionalisme pada tanah tumpah darahnya, Indonesia. Tetapi aku tak bisa menerima jawaban-jawaban yang terdengar klise begitu saja. Aku ingin menatap matanya pada saat menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu, dan merasakan energinya.

Tentu saja, kesempatan itu segera datang. Dalam perjalanan ke Kepulauan Riau bulan lalu, aku mendapatkan jawaban langsung darinya: "Di sana, saya dokter. Di sana, saya punya kedudukan yang baik. Di sana, saya melayani kemanusiaan juga. Namun ada yang kurang..." ujar Lie. "Mereka itu bukan saudara sebangsa setanah air. Itu yang membedakan."

Ah, jawabannya terdengar terlalu politically correct. Kalau saja aku tak menangkap ketulusan dalam suaranya, kuanggap pernyataannya mirip dengan jawaban para politikus. Tetapi...

"Itu jawaban politik," tiba-tiba Lie tertawa. Kemudian ia menyambung dengan perlahan dan sungguh-sungguh, "Sebelum menghembuskan napas terakhir, saya ingin melihat sila kelima dari Pancasila terwujud di negeri ini."

Jawaban yang terakhir ini terdengar begitu khidmat, sehingga getarannya mengalir seperti sebuah doa. Dan, ketika kutanya apakah panggilan terhadap pelayanan kemanusiaan sudah dirasakannya sejak kecil, Lie mengangguk.

Menjelang kelulusannya di SMP Pius di Padang, Lie kecil yang saat itu sudah yatim dan keluarganya hidup serba pas-pasan, dipanggil oleh kepala sekolah. Sang kepala sekolah ingin memasukkan Lie ke Sekolah Guru Atas (SGA) agar keluarganya tak terbebani biaya. Lie akan diberi beasiswa dan setelah lulus bisa langsung mengajar di Sekolah Dasar (SD). Tetapi, apa jawaban Lie kecil? Seperti tertulis di buku biografinya, Lie menjawab:

"Enggak mau, Menir. Saya nggak mau masuk SGA. Saya mau masuk SMA."

"Siapa bayar uang sekolahmu?"

"Nggak tahu, Menir. Pokoknya saya mau masuk SMA."

Bersama Anak-anak Suku Laut. Sumber gambar: dokumen pribadi.
Bersama Anak-anak Suku Laut. Sumber gambar: dokumen pribadi.
Bertekad Menjadi Dokter

Lie memilih masuk SMA karena sejak kecil, sekitar umur tujuh tahun, ia sudah bertekad menjadi dokter. Kematian adik bayinya karena diare di pengungsian di masa krisis perang kemerdekaan, menjadi salah satu pendorongnya. Diare bukan penyakit mematikan. Tetapi tanpa obat-obatan dan tenaga kesehatan - penyakit sederhana pun dapat merenggut nyawa. Setelah ayahnya meninggal dunia, tekadnya menjadi dokter tak tergoyahkan lagi. Meski menerima banyak cibiran dan tertawaan, serta menghadapi berbagai rintangan berat, Lie pantang menyerah.

Selanjutnya, kehidupan Lie memang pantas dibukukan sebagai biografi yang sangat inspiratif. Mengapa? Karena semua jalan hidupnya sangat sulit dan nyaris tak mungkin dijalani kecuali ada keajaiban. Semua jalan seperti selalu buntu, hingga pada saat yang tepat tiba-tiba ada saja celah yang terbuka. 

Itulah iman.

Di tahun 1964, Lie ke Jakarta dan mengirimkan lamaran ke kampus-kampus kedokteran di berbagai kota di Jawa. Dan hasilnya? Lie tak berhasil masuk ke sekolah kedokteran mana pun. Meski dinyatakan lulus dalam tes seleksi angka, namun ia gagal dalam tes psikologi. "Anda tak berbakat menjadi dokter," begitu Lie mengenang hasil tes psikologinya. Kegagalan itu membuatnya sedih luar biasa, tapi tak sampai menggoyahkan tekadnya.

Di tahun berikutnya Lie mencoba lagi. Kali ini ia berhasil diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Res Publica (Ureca) - cikal bakal Universitas Trisakti sekarang. Lie lega dan senang karena akhirnya bisa kuliah kedokteran.

Tetapi, apa yang terjadi? Baru beberapa hari ia mengikuti masa orientasi mahasiswa baru, pecahlah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Partai Komunis Indonesia (PKI) dituding sebagai dalangnya. Keributan meledak di seluruh negeri. Paramilisi yang didukung tentara memburu dan membunuh anggota-anggota PKI beserta siapa pun yang diduga terlibat. Ureca pun terkena imbas. Massa mengamuk, menghancurkan, serta membakar gedung-gedung perkuliahannya. Lie pun tak bisa melanjutkan kuliah.

Tapi, ia tetap tak menyerah. Setelah dua tahun bekerja membantu kakaknya dan mengumpulkan uang secukupnya, Lie mulai mendaftar ke sekolah-sekolah kedokteran di Jerman, dan akhirnya diterima di Free University di Berlin Barat. Dengan berbekal one way ticket dan uang tak seberapa, ia memulai pengembaraan yang penuh perjuangan di sebuah negeri nun jauh yang sama sekali belum pernah diinjaknya.

Namun sebelum berangkat ke Jerman, Lie mendapatkan pesan penting dari ibunda tercinta yang kelak akan sangat menentukan hidupnya: "Kalau kamu menjadi seorang dokter, jangan mengambil duit yang banyak, jangan mengambil duit orang miskin. Mereka akan membayar, tapi di rumah menangis karena tidak ada uang untuk membeli beras."

Orang Suku Laut Kepulauan Riau. Sumber gambar: dokumen pribadi.
Orang Suku Laut Kepulauan Riau. Sumber gambar: dokumen pribadi.
Panggilan Jiwa

Merangkak dari nol di Jerman, berjuang keras, bekerja, belajar, sambil menyekolahkan tiga adiknya di negeri asing itu, sampai kemudian mencapai karir gemilang dan dalam dua dekade bahkan bisa membina keluarga kecil yang bahagia - sungguh merupakan kisah luar biasa. Karir yang gemilang pun menjanjikan masa depan yang cerah untuknya.

Tapi, toh akhirnya Lie memilih pulang kembali ke tanah air. Mengapa? Ia ingin memenuhi janji pada ibundanya. Di bawah sadarnya, ternyata Lie selalu menyimpan kerinduan untuk membaktikan ilmunya bagi kemanusiaan. Ia ingin menghapus air mata orang-orang kecil yang menderita sakit tetapi tak punya kemampuan untuk berobat. Lie menyadari ketrampilannya sebagai dokter spesialis akan jauh lebih dibutuhkan untuk menolong rakyat kecil di Indonesia dari pada di Jerman.

Setelah dianugerahi berkat berlimpah dalam hidupnya, Lie merasa bertanggung jawabnya untuk meneruskan berkat pada orang lain yang membutuhkan. "Ada saatnya menerima, dan ada saatnya memberi," ujar Lie. "Berbuat baiklah terus. Meski perbuatan kita tidak diapresiasi atau ada yang menipu kita, berbuat baiklah terus."

Di RSA dr. Lie Dharmawan. Sumber gambar: dokumen pribadi.
Di RSA dr. Lie Dharmawan. Sumber gambar: dokumen pribadi.
Perjalanan awal karirnya di Indonesia pun ternyata penuh onak dan duri. Langkah-langkahnya dipersulit karena masih ada diskriminasi etnisitas yang nyata. Tetapi meski tak mudah, Lie menghadapi rintangan di depannya satu per satu. Pada tahun 1988 Lie diterima sebagai dokter bedah di Rumah Sakit Husada, Jakarta, dan hingga kini masih berpraktik di sana.

Melihat kesengsaraan rakyat dengan mata kepala sendiri, di tahun 1993 Lie mengorganisir bedah jantung terbuka secara gratis bagi pasien-pasien tak mampu. Ia mendapatkan dukungan dari para dokter bedah di Jerman yang dulu adalah guru-gurunya. Setelah itu Lie bekerja sama dengan Yayasan Jantung Harapan Kita dan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta.

Dalam biografi Lie 'Dokter di Jalan Kemanusiaan' terungkap bahwa almarhum Leo Soekoto (Uskup Agung saat itu) sempat bertanya untuk memastikan bahwa segala bakti sosial Lie tidak mengganggu keharmonisan keluarganya. Terhadap pertanyaan itu Lie menjawab: "Istri saya malah bertanya apakah uang kami cukup untuk membantu para pasien itu? Kalau kurang masih ada dan jumlahnya bisa ditingkatkan." Leo Soekoto terbahak-bahak. "Kamu orang gila. Tapi rupanya ada satu lagi orang gila!" ujarnya merujuk pada Listijani Gunawan, istri Lie.

Dokter Gila

Program bedah jantung terbuka bagi para pasien tak mampu ternyata membuka jalan bagi serangkaian 'kegilaan' lainnya. Tak hanya ikut dalam barisan mahasiswa yang berdemonstrasi memperjuangkan demokrasi di tahun 1998, Lie juga berdiri sebagai pendamping para korban perkosaan di saat pecah kerusuhan dan amuk masa di bulan Mei 1998. Keterlibatannya dalam berbagai aksi sosial di saat penanggulangan korban bencana alam antara lain di Aceh, Pangandaran, Yogyakarta, Padang, dan Nusa Tenggara Timur - membuka matanya bahwa ruang geraknya terlalu terbatas untuk bisa meraih begitu banyak rakyat kecil yang perlu dibantu.

Karena itu pada tahun 2009 Lie mendirikan Yayasan Dokter Peduli atau yang dikenal dengan DoctorSHARE. Visinya adalah untuk menolong rakyat kecil yang tak berdaya, yang membutuhkan fasilitas kesehatan di daerah-daerah terpencil. Kemudian ide gila mendirikan Rumah Sakit Apung (RSA) terlontar di sela pelayanan medis pada para korban bencana letusan Gunung Merapi di Yogyakarta di tahun 2010. Pada saat itu beberapa rekannya menganggap Lie benar-benar sudah mulai gila!

RSA dr. Lie Dharmawan. Sumber gambar: dokumen pribadi.
RSA dr. Lie Dharmawan. Sumber gambar: dokumen pribadi.
Ide RSA itu sebenarnya muncul setelah di Pulau Kei Kecil, Maluku, Lie bertemu dengan seorang ibu yang bersama anaknya, Susanti, berlayar selama tiga hari dua malam untuk mendapatkan pertolongan medis. Susanti menderita usus terjepit dan secara medis harus dioperasi selambatnya delapan jam setelah kejadian. Jika usus pecah, ia bisa meninggal dunia. Saat itu Susanti memang berhasil diselamatkan oleh Lie, namun bayangan 'Susanti-Susanti' lainnya tak bisa enyah dari benaknya. Mereka harus ditolong!

Maka, yang terjadi selanjutnya adalah pengukiran sejarah. Meski ditentang banyak orang dan dihadang berbagai rintangan, Lie menerabas semuanya. RSA telah berlayar ke berbagai wilayah terpencil di Indonesia dan telah menolong atau menyelamatkan lebih dari 100 ribu jiwa. Tak hanya membuat Rumah Sakit Apung, untuk mencapai masyarakat terpencil yang tinggal di hutan-hutan dan pegunungan seperti di Papua atau Kalimantan, Lie juga menciptakan program 'Dokter Terbang'. Dalam 'program 'Dokter Terbang' pelayanan medis dilakukan oleh dokter-dokter yang diterbangkan oleh pesawat-pesawat kecil. 'Dokter gila' ini mendapatkan beberapa penghargaan termasuk Heroes Award 2014 di acara TV populer 'Kick Andy'. Namun yang menjadi fokusnya selalu adalah bagaimana menolong rakyat kecil.

Bersama Para Dokter Relawan. Sumber gambar: dokumen pribadi.
Bersama Para Dokter Relawan. Sumber gambar: dokumen pribadi.
Malam itu, di atas dek RSA Lie Dharmawan yang berlabuh di dermaga Pulau Senayang, Kepulauan Riau, aku memandang sang 'dokter gila' itu duduk di hadapan dokter-dokter muda relawan yang berpartisipasi dalam pelayanan medis. Ditimpa cahaya bulan purnama yang bersinar terang di langit, wajahnya tampak rileks dan bahagia. Mungkin saat-saat seperti itulah, saat berada di tengah relawan-relawan muda DoctorSHARE, adalah saat-saat yang dinikmatinya. 

"Kalau kalian punya ide, jangan dengarkan orang lain," tuturnya, di antara berbagai wejangan lainnya. "Jangan pernah menyerah. Jangan pernah takut."

Apa yang kau cari, Lie? Pertanyaan itu melintas di benakku. Kemudian angin laut yang menerpa wajahku seakan membawa jawabannya: "Ia tidak mencari apa-apa. Ia sedang menyemai benih-benih kebaikan. Ia tak akan berhenti hingga ladangnya tumbuh subur. Ia tak akan berhenti sampai akhir hayatnya."

***

Sumber 'Dokter di Jalan Kemanusiaan - Biografi Lie A. Dharmawan' oleh Sylvie Tanaga dan Basillius Triharyanto, dan dari berbagai sumber lainnya.

Artikel sebelumnya:

Mengurai Benang Kusut Dilema Orang Suku Laut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun