Karena jalan tampak buntu, akhirnya Bunda Densy mengajukan opsi terakhir, "Baiklah, kalau kalian tidak ingin menerima anak-anak Suku Laut itu bersekolah di sini, saya pun tak akan mengajar di PAUD ini lagi."
Rupanya itulah jalan yang ditunjukkan Sang Semesta. Karena warga desa masih membutuhkan Bunda Densy untuk mengajar di PAUD mereka, maka demi mempertahankan sang guru, untuk pertama kalinya anak-anak Orang Suku Laut pun diperkenankan bersekolah bersama anak-anak mereka. Dan, ternyata anak-anak kecil itu pun bisa bersekolah dan bergaul dengan akrab.
Pekerjaan rumah pertama bisa diselesaikan dengan baik. Lalu, apa pekerjaan rumah kedua?
"Anak-anaknya saja tidak sekolah, maka sudah pasti para orangtuanya juga buta huruf. Saya amati pada saat menjual ikan pada tauke, Orang Suku Laut itu ikut memelototi timbangan. Tapi apakah mereka mengerti bagaimana membaca jarum dan angkanya? Ketika saya tanyakan, mereka menggelengkan kepala. Mereka tak bisa baca timbangan. Ikan-ikan mereka dihargai murah sekali dan diklaim rusak karena tombak. Tetapi saat dijual ke pihak ketiga oleh tauke, harganya bisa berlipat tinggi," kisah Bunda Densy lebih lanjut. "Waktu itu saya hanya mengajar di pagi hari, sehingga punya waktu luang di siang hari. Saya katakan pada Pak Kades bahwa saya ingin mengajar orang-orang tua Suku Laut dalam program pemberantasan buta aksara."
Lagi-lagi, Pak Kades terkejut. "Siapa yang akan mengajar?" tanyanya.
"Saya," jawab Bunda Densy. "Saya sendiri yang akan mengajar. Tentu saja dengan syarat saya dijemput dan diantar dengan perahu menuju perkampungan mereka."
Sejak saat itulah keterlibatan Bunda Densy makin mendalam dengan Orang Suku Laut. Program pemberantasan buta aksara tak semudah bayangannya. "Bayangkan betapa kakunya tangan mereka! Seumur hidup hanya memegang serampang (tombak penangkap ikan), kini mereka harus belajar menulis. Tangan mereka itu sudah sekeras kaki meja," cerita Bunda Densy. "Saya harus memeluk dari belakang untuk bisa memegang tangannya dan melemaskan jari-jarinya, serta mencontohkan bagaimana caranya menulis di kertas HVS. Untuk bisa lancar mencoret-coret di atas kertas saja mereka memerlukan waktu sebulan!"
Jiwa gerilyanya pun langsung bergolak. Ia berusaha menikahkan secara resmi pasangan-pasangan itu sesuai dengan agama yang mereka anut, agar mereka beserta anak-anaknya diakui negara. Tetapi, apa yang terjadi?
"Ya ampun, saya dipingpong ke sana-sini selama satu tahun! Saya disuruh ke sana ke sini tanpa hasil. Semua proses dipersulit sampai-sampai akhirnya dengan terpaksa saya menghadang seorang pejabat di tengah jalan," ungkapnya. "Saya tanyakan pada pejabat itu: kalau Bapak tidak mau meresmikan pasangan-pasangan itu sesuai agama, maukah Bapak menanggung dosanya?"