Di bawah sengatan terik matahari, kulihat seorang perempuan tua berjalan tertatih di sepanjang pelatar kayu. Setelah dekat, tiba-tiba ia ndeprok, bersimpuh di tepi jalan tanah yang berpasir di dekatku. Siang itu pada 18 Maret 2020, kebetulan aku sedang memotret perkampungan Orang Suku Laut di Pulau Tereh, Kabupaten Lingga, di Kepulauan Riau.
Aku berada di sana bersama rombongan Camat Katang Bidare, Safaruddin, dan relawan DoctorSHARE yang sedang melakukan pelayanan medis pada masyarakat Orang Suku Laut di pulau tersebut. DoctorSHARE adalah lembaga nirlaba yang didirikan oleh dokter Lie A. Dharmawan untuk memberikan layanan kesehatan gratis pada masyarakat yang tak memiliki akses kesehatan di wilayah-wilayah terpencil di negeri ini.
Sedangkan Orang Suku Laut adalah masyarakat asli rumpun Melayu yang sebagian masih hidup serta tinggal di sampan-sampan secara berpindah-pindah, dan mengandalkan hidup dari lautan. Baca juga "Suku Laut, Janji Leluhur, dan Pewaris yang Hampir Punah".
"Ibu ingin minta kacamata, Nak." Ia memandang penuh harap padaku. "Mata Ibu sudah tak awas lagi."
Nenek itu pasti mendengar kabar bahwa beberapa hari lalu rombongan kami membagi-bagikan kacamata baca gratis pada masyarakat di Pulau Senayang, Kabupaten Lingga. Pembagian kacamata itu disambut antusias oleh warga, sampai-sampai antriannya terus memanjang.
"Saya tanyakan dulu pada kordinator ya, Bu," jawabku. Seingatku dari berboks-boks kacamata pemberian donatur yang menggunung, hanya tinggal beberapa puluh buah saja yang tersisa. Siapa tahu ada yang cocok untuknya?
Maka aku berlari ke gereja kayu di mana rombongan dokter sedang melakukan layanan medis. Pada sang kordinator, dokter Ivan Reynaldo Lubis, aku bertanya, "Dokter Rey, ada seorang nenek yang membutuhkan kacamata. Apakah kita masih punya persediaan?"
"Kita gak bawa kacamata ke pulau ini," jawab Dokter Rey. "Kebanyakan Orang Suku Laut kan gak bisa baca? Itu kacamata baca, Mbak."
"Maaf Ibu, persediaan kacamatanya tak ada," ujarku pada nenek yang duduk di tepi jalan. "Apakah ibu ingin berobat? Atau ada yang tak enak badan? Mari saya antar ke dokter."
Ia menggeleng. Kelihatannya nenek itu begitu kecewa hingga ia terdiam lama. Kutemani ia duduk beberapa saat, sampai akhirnya aku berkata, "Apalagi yang bisa saya bantu, Bu? Jika Ibu perlu sesuatu, saya ada di sekitar sini."
Hingga kami kembali ke Rumah Sakit Apung dr. Lie A. Dharmawan yang bersandar di Pulau Benan senja itu, aku tak melihat wajah perempuan tua itu lagi. Tapi kekecewaan yang menggurati wajahnya masih terpateri di benakku.
Sebenarnya yang lebih mengiris hati adalah kesadaran bahwa di abad 21 ini - di tengah lalu-lintas perairan Kepulauan Riau yang ramai dilintasi berbagai kapal besar dan feri, di tengah kuatnya medan internet 4G yang menara-menara pancarnya tegak menjulang di berbagai pulau di sana - mengapa Orang Suku Laut masih saja buta huruf? Mengapa mereka masih tertinggal jauh, masih tergagap dilindas peradaban modern, dan masih tak bersuara? Silakan baca "Kelana Laut yang Gamang, Akankah Kalian Bertahan?".
Pada Lensi Fluzianti atau Bunda Densy, Ketua Yayasan Kajang, lembaga sosial yang berdiri pada tahun 2018 untuk mendampingi dan memperjuangkan hak-hak Orang Suku Laut, aku mananyakan satu hal yang selama ini membuatku penasaran, "Meski buta huruf, atau gagap aksara, mereka sudah mengenal ponsel ya?"
Bunda Densy tertawa. Dengan nada setengah miris setengah jenaka, ia menjelaskan, "Ya, kebanyakan dari mereka sudah pakai hand-phone. Tetapi lucunya, karena mereka tak bisa baca-tulis, list kontak mereka tak ada nama-namanya. Hebatnya mereka hapal nomer-nomer siapa saja teman mereka."
Kabupaten Lingga yang terdiri dari 603 pulau yang terpencar di sana-sini, memang menyebabkan jangkauan ke seluruh warga tak mudah, apalagi menjangkau ke sekitar 4.000-an Orang Suku Laut yang dikenal suka mengucilkan diri. Namun fakta yang disampaikan Yayasan Kajang bahwa Orang Suku Laut hampir tak tersentuh oleh program-program Pemerintah setelah relokasi perumahan di akhir 1990-an, membuatku tak habis pikir.
"Jangankan diikutkan pada program-program provinsi, bahkan di program-program desa pun mereka tertinggal," ujar Bunda Densy. "Meski sudah dirumahkan, apakah ada program air bersih yang memadai untuk mereka? Apakah mereka diajari ketrampilan untuk bertahan hidup? Bagaimana mereka bisa bertahan, sedangkan hal dasar seperti membaca pun mereka tak bisa?"
Aku tertegun. Siapa yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu?
"Kearifan lokal memang perlu dilestarikan, namun Pemerintah punya kewajiban juga untuk melindungi warganya," jelas Camat Katang Bidare, Safaruddin. "Agar bisa melindungi warganya, Pemerintah perlu mendata mereka. Karena itu, mereka dibuatkan rumah, KTP, dan disediakan pendidikan gratis."
Tetapi, sebentar. Jika semua transformasi telah dilakukan atas nama perlindungan, perbaikan kesejahteraan, dan dengan membayar harga kearifan lokal, mengapa hingga kini pun hampir semua orang dewasanya masih tetap buta huruf dan tertinggal?
Terhadap pertanyaan yang satu ini, aku berusaha mencari jawaban dengan sepenuh hati. Hello, sekarang ini abad 21. Rasanya sulit sekali mencerna ada masyarakat yang tinggal di perairan laut yang ramai, bahkan dekat dengan Batam dan Singapura - tetapi masih terkucil dan buta aksara.
Dari wawancaraku dengan beberapa aparat Pemerintah di Pulau Benan, aku medapatkan jawaban-jawaban seperti:
"Tak mudah dekat dengan Orang Suku Laut, Bu."
"Mereka memang suka mengasingkan diri."
"Mereka hanya loyal kepada kepala sukunya."
"Kami susah mengatur mereka, karena mereka jarang bergaul."
Hah? Air mata duyung? Apa pula itu? Pertanyaanku tentang ini pada Bunda Densy ternyata mengundang kisah menarik yang dapat menjadi cerita tersendiri. Namun singkatnya, kearifan lokal Orang Suku Laut - apakah itu berupa serapah atau jampi-jampi, berupa ramu-ramuan ampuh, atau adat istiadat kuno - ternyata masih disegani, atau tepatnya masih ditakuti, oleh kalangan luar.
Menurut Sari, tetua Orang Suku Laut di Tereh, "Perubahan jelas ada, tetapi kami masih tetap mempertahankan adat dan tradisi leluhur."
Hingga saat ini, setelah beratus-ratus tahun, Orang Suku Laut memang masih mencari ikan dengan cara yang persis sama seperti yang dilakukan nenek moyangnya - yakni menombak ikan dengan tombak yang disebut serampang. Pencarian ikan ini biasanya dilakukan pada malam hari dengan menggunakan cahaya lentera untuk menarik hewan-hewan laut mendekat ke sampannya. Mata tombak serampang sangat beragam tergantung ukuran hewan-hewan laut yang mendekat.
- Pertama, dengan adanya perubahan iklim dan makin rusaknya habitat laut karena tindakan kapal-kapal besar pencari ikan yang masif, Orang Suku Laut yang hanya menombaki satu per satu buruan lautnya, menjadi makin terdesak. Kini mereka makin sulit mencari ikan, bahkan sering terjadi, setelah berhari-hari melaut mereka hanya mendapatkan hasil tangkapan yang sedikit saja.
- Kedua, dengan alasan ikan-ikan tangkapan mereka rusak karena ditombak, Orang Suku Laut sering menjadi korban eksploitasi para tengkulak. Hasil tangkapan ikannya dihargai serendah-rendahnya, sementara kemudian dijual ke pihak ketiga dengan harga setinggi-tingginya. Selain itu, kebanyakan Orang Suku Laut tak bisa membaca timbangan dan terpaksa menurut saja pada apa yang diputuskan oleh tengkulak.
- Ketiga, dengan makin sempitnya peluang mereka mencari ikan di lautan, mereka makin terdesak. Ditambah dengan ketiadaan pendidikan dan ketrampilan, kelemahan ini sering dimanfaatkan oleh para pemburu laba untuk mengeksploitasi tenaga mereka. Maka mereka pun menurut saja saat disuruh memangkasi pepohonan di hutan pulau, atau membabati hutan-hutan bakau di tepi pantai, dengan imbalan upah yang sangat rendah. Kayu-kayu itu kemudian dibakar di dapur arang yang dimiliki para tengkulak, dan hasilnya biasanya diekspor ke Singapura. Pekerjaan membakar kayu di dapur arang ini hanya memperkaya tengkulak, dan sering menyebabkan penyakit tuberkulosis atau penyakit pernapasan lainnya pada tubuh mereka.
Sampai di sini, kelihatannya yang ada hanyalah kisah-kisah yang memprihatinkan saja, bukan? Apakah ada sedikit 'cahaya' di ujung lorong gelap yang panjang ini?
Ada. Sejak Yayasan Kajang berdiri di tahun 2018, banyak upaya telah dilakukan untuk mendampingi dan mendukung Orang Suku Laut agar mendapatkan hak-hak mereka sebagai warganegara yang patut dilindungi. Meski dengan sumber dan tenaga terbatas, para anggota Yayasan menyelenggarakan pelajaran baca-tulis, berusaha melestarikan kebudayaan dan kearifan lokal, serta memperjuangkan hak adat Orang Suku Laut agar mendapatkan dukungan resmi dari Pemerintah.
Pekerjaan rumah pertama, anak-anak sekolah Tereh ternyata membutuhkan perahu untuk berlayar ke sekolah. Camat Safaruddin berjanji akan segera menyediakan sebuah perahu bermesin yang memadai untuk anak-anak itu, agar bisa berlayar ke sekolah dengan lebih aman dan lancar.
Kedua, selama ini warga pulau ternyata harus membeli air bersih dari tengkulak sebagai pemilik sumur satu-satunya di pulau Tereh. "Ini masalah mudah," ujar Safaruddin. Untuk ini ia berjanji akan segera membuatkan sumur milik warga sendiri.
Dan ketiga, Camat Safaruddin pun berjanji untuk menyediakan sekadar honorarium pada misionari gereja sebagai penghargaan karena selama bertahun-tahun ini telah membantu Orang Suku Laut di Tereh, tanpa imbalan apa pun.
Bukankah ini pantas disebut 'seberkas cahaya'? Apa pun jalan yang dipilih Orang Suku Laut di kemudian hari, semoga mereka pun mampu menjaga dan memperbesar 'percikan cahaya' ini , di mana pun mereka berada.
***
Sumber dari Yayasan Kajang dan dari berbagai sumber lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H