Hingga saat ini, setelah beratus-ratus tahun, Orang Suku Laut memang masih mencari ikan dengan cara yang persis sama seperti yang dilakukan nenek moyangnya - yakni menombak ikan dengan tombak yang disebut serampang. Pencarian ikan ini biasanya dilakukan pada malam hari dengan menggunakan cahaya lentera untuk menarik hewan-hewan laut mendekat ke sampannya. Mata tombak serampang sangat beragam tergantung ukuran hewan-hewan laut yang mendekat.
- Pertama, dengan adanya perubahan iklim dan makin rusaknya habitat laut karena tindakan kapal-kapal besar pencari ikan yang masif, Orang Suku Laut yang hanya menombaki satu per satu buruan lautnya, menjadi makin terdesak. Kini mereka makin sulit mencari ikan, bahkan sering terjadi, setelah berhari-hari melaut mereka hanya mendapatkan hasil tangkapan yang sedikit saja.
- Kedua, dengan alasan ikan-ikan tangkapan mereka rusak karena ditombak, Orang Suku Laut sering menjadi korban eksploitasi para tengkulak. Hasil tangkapan ikannya dihargai serendah-rendahnya, sementara kemudian dijual ke pihak ketiga dengan harga setinggi-tingginya. Selain itu, kebanyakan Orang Suku Laut tak bisa membaca timbangan dan terpaksa menurut saja pada apa yang diputuskan oleh tengkulak.
- Ketiga, dengan makin sempitnya peluang mereka mencari ikan di lautan, mereka makin terdesak. Ditambah dengan ketiadaan pendidikan dan ketrampilan, kelemahan ini sering dimanfaatkan oleh para pemburu laba untuk mengeksploitasi tenaga mereka. Maka mereka pun menurut saja saat disuruh memangkasi pepohonan di hutan pulau, atau membabati hutan-hutan bakau di tepi pantai, dengan imbalan upah yang sangat rendah. Kayu-kayu itu kemudian dibakar di dapur arang yang dimiliki para tengkulak, dan hasilnya biasanya diekspor ke Singapura. Pekerjaan membakar kayu di dapur arang ini hanya memperkaya tengkulak, dan sering menyebabkan penyakit tuberkulosis atau penyakit pernapasan lainnya pada tubuh mereka.
Sampai di sini, kelihatannya yang ada hanyalah kisah-kisah yang memprihatinkan saja, bukan? Apakah ada sedikit 'cahaya' di ujung lorong gelap yang panjang ini?
Ada. Sejak Yayasan Kajang berdiri di tahun 2018, banyak upaya telah dilakukan untuk mendampingi dan mendukung Orang Suku Laut agar mendapatkan hak-hak mereka sebagai warganegara yang patut dilindungi. Meski dengan sumber dan tenaga terbatas, para anggota Yayasan menyelenggarakan pelajaran baca-tulis, berusaha melestarikan kebudayaan dan kearifan lokal, serta memperjuangkan hak adat Orang Suku Laut agar mendapatkan dukungan resmi dari Pemerintah.
Pekerjaan rumah pertama, anak-anak sekolah Tereh ternyata membutuhkan perahu untuk berlayar ke sekolah. Camat Safaruddin berjanji akan segera menyediakan sebuah perahu bermesin yang memadai untuk anak-anak itu, agar bisa berlayar ke sekolah dengan lebih aman dan lancar.
Kedua, selama ini warga pulau ternyata harus membeli air bersih dari tengkulak sebagai pemilik sumur satu-satunya di pulau Tereh. "Ini masalah mudah," ujar Safaruddin. Untuk ini ia berjanji akan segera membuatkan sumur milik warga sendiri.
Dan ketiga, Camat Safaruddin pun berjanji untuk menyediakan sekadar honorarium pada misionari gereja sebagai penghargaan karena selama bertahun-tahun ini telah membantu Orang Suku Laut di Tereh, tanpa imbalan apa pun.
Bukankah ini pantas disebut 'seberkas cahaya'? Apa pun jalan yang dipilih Orang Suku Laut di kemudian hari, semoga mereka pun mampu menjaga dan memperbesar 'percikan cahaya' ini , di mana pun mereka berada.
***