"Orang Suku Laut? Anda akan menulis tentang Orang Suku Laut?!" Seorang ibu yang duduk di sampingku di kapal feri yang berlayar dari Tanjung Pinang ke Pulau Senayang di Kepulauan Riau itu tampak kaget ketika mengetahui maksud perjalananku di siang hari, 8 Maret 2020 lalu.Â
"Bicara dengan Orang Suku Laut itu harus hati-hati ya. Mereka masih kental mejiknya."
Aku melongo. Kudeteksi nada kekhawatiran dalam suaranya mengingatkanku untuk berhati-hati. Siang itu kebetulan aku berada dalam rombongan dokter relawan DoctorSHARE yang akan melakukan pelayanan medis untuk masyarakat terpencil di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau.Â
Wilayah itu adalah episentrum masyarakat Suku Laut yang dulunya merupakan pelaut-pelaut nomaden yang disegani.
Di Pulau Senayang telah bersandar rumah sakit apung dr. Lie A. Dharmawan -- sebuah kapal phinisi yang diubah fungsinya sebagai rumah sakit. Di situlah para dokter akan melakukan pengobatan dan berbagai operasi mayor dan minor pada masyarakat kepulauan secara gratis.Â
Targetnya terutama adalah Orang Suku Laut. DoctorSHARE adalah sebuah lembaga nirlaba yang didirikan oleh dr. Lie A. Dharmawan yang mengemban misi menyediakan layanan medis ke pelosok-pelosok daerah di tanah air yang selama ini tak terjangkau.
"Lihat, itu perkampungan Orang Suku Laut!" Tiba-tiba ibu di sebelahku itu menunjuk ke luar jendela kapal. "Rumah-rumah mereka berkelompok di tepi pantai. Baru beberapa tahun ini saja mereka dibuatkan rumah oleh pemerintah. Sebelumnya mereka hidup di atas sampan secara berkelompok, berkelana ke sana-sini sesuai musim laut."
Ditopang oleh pilar-pilar penyangga yang terbuat dari bambu atau kayu dengan atap segitiga, rumah-rumah panggung itu menjulang di atas laut, menyatu dengan laut, berpintu ke laut.Â
Di antara rumah-rumah terdapat pelatar atau jalan kayu yang menghubungkan satu dengan lainnya. Rumah-rumah itu terlihat kosong dan sepi. Tepatnya, tampak merana.
"Meski sudah punya rumah, mereka tetap sering melaut dalam sampan-sampannya," ujar ibu tadi. "Kecuali pada musim gelombang besar angin utara, barulah mereka tinggal di rumah."
Tetapi Mengapa Mereka Mau Menepi?
Penelusuranku selama dua pekan di Kabupaten Lingga yang merupakan pusat masyarakat Orang Suku Laut, telah membuka mataku pada sebuah dilema kultural yang kompleks.Â
Singkatnya, suku asli yang juga merupakan pewaris sah negeri ini, yang sesungguhnya memiliki kekayaan budaya khas dan kearifan lokal tersendiri -- perlahan namun pasti sedang kehilangan sejarahnya, kehilangan identitasnya, dan kehilangan jati dirinya.
"Dalam lima tahun ke depan, tak akan ada lagi yang namanya Orang Suku Laut. Mereka akan musnah," ujar seorang rekan relawan yang tinggal di Batam. Jleb.Â
Pernyataannya memang terlalu ekstrem, namun sempat menghujam hatiku. Ia tinggal di sekitar masyarakat Suku Laut dan ikut menjadi saksi bagaimana masyarakat asli yang tadinya memiliki bahasa tersendiri, kearifan lokal tersendiri, dan adat istiadat tersendiri itu mulai meninggalkan jati diri mereka, sirna perlahan-lahan.
Sejarah mereka kabur, atau bahkan malah tak ada. Sampai saat ini tak pernah ditemukan dokumen yang komprehensif mengenai eksistensi dan sejarah Orang Suku Laut. Mereka seperti ada tapi tiada, seperti tiada tapi ada.Â
Baru pada tahun 2009, Cynthia Chou, seorang peneliti antropologi, berhasil mengumpulkan data dan menyatakan bahwa Orang Suku Laut sudah hidup berpindah-pindah mengarungi lautan sejak abad ke-16. Mereka adalah masyarakat asli rumpun Melayu yang memiliki kebudayaan dan bahasa tersendiri.
Ariando dan Limjirakan dari Chulalongkorn University, Thailand, yang melakukan penelitian pada tahun 2019, menemukan bahwa di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, Orang Suku Laut terdiri dari 30 kelompok.Â
Kelompok-kelompok ini pun terdiri dari mereka yang masih hidup seperti leluhurnya dulu -- yakni yang masih hidup berpindah-pindah di laut, kemudian ada yang semi menetap, dan ada pula yang sudah menetap semenjak pemerintah mulai melakukan program relokasi di akhir 1990-an.Â
Ariando dan Limjirakan mencatat bahwa akibat program pembangunan yang kurang terintegrasi dan salah sasaran, menyebabkan Orang Suku Laut mulai tersingkir, dan tak hanya itu, kearifan lokal dan kebudayaan mereka yang unik pun mulai menghilang.
Lho, jadi kambing hitamnya adalah program pembangunan pemerintah yang nota-bene ingin mengentaskan mereka?
Sebentar. Mari kita telusuri perkaranya. Land Reform -- Reformasi Agraria - adalah bagian tak terpisahkan dari program pembangunan Indonesia setelah merdeka di tahun 1945.Â
Eksekusi dari program pembangunan - khususnya menyangkut hak wilayah atau teritori masyarakat adat atau suku asli - di sana-sini banyak menyulut perdebatan dan pertentangan sengit.
Namun seiring dengan berlalunya waktu, pemerintah pun mengakui dan menghormati adanya wilayah-wilayah tertentu yang secara turun temurun ternyata merupakan wilayah adat serta memiliki hukum dan hak adat yang dikelola oleh masyarakat adat yang diakui pemerintah.Â
Masyarakat adat yang diakui pemerintah saat ini tersebar di seantero Nusantara. Contohnya adalah masyarakat adat Kanekes, masyarakat adat Dayak, Papua, Toraja, dan lain sebagainya.
Untuk mengentaskan masyarakat-masyarakat adat, terutama yang diakui sebagai Kelompok Adat Terpencil (KAT), pemerintah pun tak hanya menganggarkan dan menyalurkan dana tertentu, tetapi juga membuat program-program pengembangan lainnya.
Pada tahun 1885, atas jasa-jasa mereka menjaga pesisir dan lautan, Kesultanan Riau Lingga -Johor-Pahang memberikan hak kuasa atas wilayah pada Orang Suku Laut yang tertuang dalam sebuah manuskrip kuno dan peta wilayah yang disebut 'Peta Wilayah Takluk Sultan Abdurrahman Muazzamsyah'.Â
Dokumen tersebut konon sekarang masih ada dan dipegang oleh Tengku Fahmi dari Lembaga Adat Kesultanan Riau Lingga di Pulau Penyengat, Tanjung Pinang.
Hak Adat itulah yang digunakan oleh Orang Suku Laut untuk berjaya di wilayah lautan selama berpuluh tahun hingga runtuhnya Kesultanan yang diakibatkan oleh politik adu-domba Belanda.Â
Pada tahun 1913 terjadilah eksodus keluarga Sultan ke Singapura dan kesultanan pun ditutup untuk selamanya. Setelah itu, secara perlahan-lahan Orang Suku Laut pun bercerai-berai seperti anak ayam kehilangan induknya.
Pertanyaan berikutnya: pada saat pemerintah Indonesia melakukan Land Reform, atau dalam hal ini bisa diartikan Sea Reform, apakah seperti masyarakat adat lainnya Orang Suku Laut ikut menyulut perdebatan, apalagi melakukan pertentangan sengit?
Jawabannya: tidak. Bagi mereka, apa itu Land Reform? Kelana-kelana laut tersebut tak mengerti hal-hal seperti itu. Mereka buta huruf dan tak pernah mengenyam pendidikan formal sepanjang hidupnya.Â
Mereka menganggap lautan adalah hak milik semuanya, dan sibuk berlayar kian-kemari menangkap ikan di samudera luas. Mereka selalu menangkap ikan secukupnya saja -- tak pernah berlebihan - dengan menggunakan serampang atau tombak ikan sederhana dengan cara seperti yang diturunkan oleh nenek moyangnya.
Hingga tibalah masa, di mana mereka menyadari kehidupan mereka berubah. Tiba-tiba saja mereka terjepit oleh kekuatan-kekuatan yang mengancam di wilayah mereka sendiri, di rumah mereka sendiri. Inilah kekuatan pasar global yang tak bisa dihindari.Â
Investasi trans-nasional mengalir dalam bentuk teknologi dan sumber daya yang tak lagi menyebabkan hasil laut hanya diambil secukupnya -- namun dieksploitasi sebanyak-banyaknya.Â
Kemudian kebutuhan akan tanah dan lautan juga menciptakan banjir migrasi pemukim baru ke wilayah-wilayah yang selama ini mereka anggap rumah mereka sendiri.
Selama ini mereka adalah 'the voiceless people' -- orang-orang yang tak mampu bersuara. Orang-orang yang seperti ada, tapi tiada. Buta huruf, tak berpendidikan, gamang menghadapi perubahan hidup, tak punya lembaga adat, dan tak punya lembaga pendamping -- kecuali baru-baru ini saja ada Yayasan Kajang, sebuah lembaga nirlaba yang didirikan pada tahun 2018 dengan tujuan mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak Orang Suku Laut.
Sekitar 800-an kepala keluarga yang terdiri dari 4000-an jiwa yang tersebar di Kabupaten Lingga inilah yang sekarang menjadi sasaran empuk bagi para tengkulak-tengkulak dagang yang ingin mencari untung, bagi para politisi yang memerlukan suara dalam Pilkada, maupun bagi para para misionari dan penyebar agama.
Saking semangatnya para penyebar agama berlomba mengonversi Orang Suku Laut, ini pun menciptakan kisah-kisah unik tersendiri. Seringkali dalam satu keluarga, kepala keluarga, isteri, atau pun anak-anak memiliki agama yang berbeda-beda -- tetapi mereka tetap bisa hidup rukun dan damai.Â
Ada juga yang berpindah-pindah dari satu agama ke agama lainnya demi mengharmoniskan diri dengan seluruh keluarga. "Saya tadinya memeluk Islam, tapi karena tiba-tiba anak dan istri saya memeluk Kristen, maka saya pun pindah ke Kristen," ujar Pak Sari, salah seorang tetua Orang Suku Laut di Tereh.
Sementara itu, ada juga seseorang yang beragama Kristen yang menaruh kecurigaan pada program-program pemerintah, atau berbagai program sosial dari pihak swasta, yang menurutnya sarat ditunggangi Islam.
Ah. Betapa ruwetnya. Sementara, hingga saat ini Orang Suku Laut megap-megap menghadapi berbagai gempuran sosial, budaya, dan ekonomi dalam hidupnya. Dengan peralatan melaut seadanya, mereka kalah di arena pertempuran mereka sendiri.Â
Dalam kehidupan bersosial, mereka gamang dan rendah diri karena tak memiliki pendidikan dan buta huruf. Dalam hal bertahan hidup? Mereka tercekik oleh utang-utang yang menumpuk di tengkulak-tengkulak di wilayahnya.
Lalu, di manakah bantuan dari pemerintah?
Itulah poinnya. Sejak tahun 2012, setelah program relokasi, Yayasan Kajang mendapatkan fakta bahwa Orang Suku Laut tidak lagi tercatat sebagai Komunitas Adat Terpencil yang patut mendapatkan bantuan dari pemerintah.Â
Data mereka hilang dari KAT. Dan karenanya kini Yayasan Kajang memperjuangkan agar mereka kembali diakui oleh pemerintah sebagai masyarakat suku asli yang masih sangat pantas mendapatkan perhatian. Sebab, fakta di lapangan sangat memprihatinkan.Â
Masih banyak Orang Suku Laut hidup di bawah garis kemiskinan dan belum banyak dari mereka yang tersentuh oleh program kesejahteraan.
Selain mulai mengumpulkan sejarah yang hilang berikut kearifan lokal yang hampir punah termasuk mantra-mantranya, Yayasan Kajang juga memperjuangkan pengakuan pemerintah terhadap hak adat, terhadap hak-hak sebagai Kelompok Adat Terpencil, meningkatkan keterampilan dan pendidikan Orang Suku Laut agar mampu bersaing di era global ini, dan juga menumbuhkan kebanggaan akan budaya mereka sendiri yang unik.
"Ini supaya mereka pun mendapat hak-haknya sebagai warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Setiap warga negara berhak hidup secara layak di Indonesia dan mengusahakan suatu usaha untuk mencapai tujuan tersebut," ujar Bunda Densy menyitir pasal 27 UUD 1945.
Kemudian di suatu saat nanti, setelah semua upaya dan perjuangan dilakukan sebaik-baiknya, barangkali keputusan terakhir memang ada di tangan Orang Suku Laut sendiri: "Wahai kelana laut yang gamang, akankah kalian bertahan?"
***
Sumber dari Yayasan Kajang dan dari berbagai sumber lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H