Sementara itu, ada juga seseorang yang beragama Kristen yang menaruh kecurigaan pada program-program pemerintah, atau berbagai program sosial dari pihak swasta, yang menurutnya sarat ditunggangi Islam.
Ah. Betapa ruwetnya. Sementara, hingga saat ini Orang Suku Laut megap-megap menghadapi berbagai gempuran sosial, budaya, dan ekonomi dalam hidupnya. Dengan peralatan melaut seadanya, mereka kalah di arena pertempuran mereka sendiri.Â
Dalam kehidupan bersosial, mereka gamang dan rendah diri karena tak memiliki pendidikan dan buta huruf. Dalam hal bertahan hidup? Mereka tercekik oleh utang-utang yang menumpuk di tengkulak-tengkulak di wilayahnya.
Lalu, di manakah bantuan dari pemerintah?
Itulah poinnya. Sejak tahun 2012, setelah program relokasi, Yayasan Kajang mendapatkan fakta bahwa Orang Suku Laut tidak lagi tercatat sebagai Komunitas Adat Terpencil yang patut mendapatkan bantuan dari pemerintah.Â
Data mereka hilang dari KAT. Dan karenanya kini Yayasan Kajang memperjuangkan agar mereka kembali diakui oleh pemerintah sebagai masyarakat suku asli yang masih sangat pantas mendapatkan perhatian. Sebab, fakta di lapangan sangat memprihatinkan.Â
Masih banyak Orang Suku Laut hidup di bawah garis kemiskinan dan belum banyak dari mereka yang tersentuh oleh program kesejahteraan.
Selain mulai mengumpulkan sejarah yang hilang berikut kearifan lokal yang hampir punah termasuk mantra-mantranya, Yayasan Kajang juga memperjuangkan pengakuan pemerintah terhadap hak adat, terhadap hak-hak sebagai Kelompok Adat Terpencil, meningkatkan keterampilan dan pendidikan Orang Suku Laut agar mampu bersaing di era global ini, dan juga menumbuhkan kebanggaan akan budaya mereka sendiri yang unik.
"Ini supaya mereka pun mendapat hak-haknya sebagai warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Setiap warga negara berhak hidup secara layak di Indonesia dan mengusahakan suatu usaha untuk mencapai tujuan tersebut," ujar Bunda Densy menyitir pasal 27 UUD 1945.