Di abad 17 pada masa Kesultanan Riau Lingga-Johor-Pahang yang dipimpin oleh Sultan Mahmud, Orang Suku Laut merupakan kekuatan pendukung Sultan baik secara militer atau pun ekonomi. Mereka adalah ujung tombak keamanan di wilayah pesisir, penjaga wilayah samudera dari para bajak laut, dan masuk dalam pasukan perang Sultan.
Sebuah sumber catatan dari Inggris menyebutkan di awal abad 19 ada sekitar 42 ribu Orang Suku Laut menetap di Bintan dan Riau, serta 24 ribu yang tinggal di sekitar Lingga. Mereka sangat disegani karena dipercaya memiliki kekuatan mistis yang mumpuni, dan merupakan pelaut-pelaut ulung yang tak ada bandingnya.
Atas jasa-jasa mereka menjaga pesisir dan lautan, Kesultanan Riau Lingga -Johor-Pahang memberikan hak kuasa atas wilayah pada Orang Suku Laut yang tertuang dalam sebuah manuskrip kuno dan peta wilayah. Saat ini manuskrip itu masih ada dan dipegang oleh Tengku Fahmi dari Lembaga Adat Kesultanan Riau Lingga di Pulau Penyengat, Tanjung Pinang. Sedangkan peta wilayahnya disebut ‘Peta Wilayah Takluk Sultan Abdurrahman Muazzamsyah 1885’.
Terikat Janji Leluhur
“Sekarang mereka seperti tidak ada induknya dan secara fisik kocar-kacir, tetapi sesungguhnya mereka terikat janji leluhur,” ungkap Wawan, Sekretaris Yayasan Kajang yang juga bekerja di Dinas Sosial Kabupaten Lingga. Wawan yang merupakan seorang seniman ini kini giat mengumpulkan berbagai kearifan lokal, adat istiadat, catatan sejarah, dan berbagai serapah atau mantra-mantra Orang Suku Laut – untuk dilestarikan dan dibukukan.
Alkisah pada abad 16, datanglah seorang datuk (seorang yang kaya dan berpengaruh) dari Jambi bernama Datuk Megat Kuning ke Pulau Mepar, salah satu pulau kecil yang berhadapan dengan Pulau Daik di Kepulauan Riau. Pulau kecil itu kosong dan tak berpenghuni. Namun pada suatu pagi datuk heran karena terdengar suara riuh rendah di pesisir pantai. Ternyata sang datuk melihat rombongan sampan Orang Suku Laut berlayar berjejer mengantar ikan dan aneka persembahan pada ratu mereka.
Kemudian Mak Oyah dan Datuk Megat Kuning pun bertanding. Karena pertandingan pada akhirnya dimenangkan oleh sang datuk, maka sejak saat itu seluruh Suku Laut beserta keturunannya berjanji setia pada Datuk Megat Kuning dan keturunannya. Bahkan setelah Datuk Megat Kuning meninggal dan dimakamkan di Gunung Tande, keturunan-keturunannya seperti Datuk Kaya Montel, pun masih sering memanggil dan mengumpulkan Orang Suku Laut untuk melakukan ritual bersama terutama pada saat bulan purnama. Orang Suku Laut yang datang ke Daik bahkan menghormati rumah datuk dan tak pernah berani melintas di pekarangan depannya.