“Hewan dan tanaman langka saja kita lestarikan, masak ada suku yang hampir punah, Suku Laut, kita biarkan begitu saja?”
Suara dr. Lie A. Dharmawan Ph.D, FICS, Sp.BTKV yang perlahan tapi penuh keyakinan itu menyelinap di antara para tamu yang senja itu mengerumuninya. Di atas Rumah Sakit Apung Nusa Waluya II yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta pada 3 Maret 2020 lalu, getaran pesan itu melayang perlahan lalu menghujam ke hatiku.
Saat itu aku berdiri di antara kerumunan para tamu yang sedang mensyukuri 10 tahun pengabdian DoctorSHARE, sebuah yayasan nirlaba yang didirikan dr. Lie untuk menyediakan pelayanan medis pada mereka yang membutuhkan, namun tak memiliki akses di daerah-daerah terpencil di negeri ini.
“Punah atau tidaknya segala sesuatu, itu kan tergantung pada survival of the fittest.” Tanpa sadar aku berbisik dalam hati – meski kemudian merasa jengah akan kecerobohan pikiranku sendiri.
Dan, betul saja. ‘Karma’ bekerja super cepat. Tak terbersit dalam benakku bahwa seminggu kemudian aku bakal dibalas setimpal – turun bersama rombongan sukarelawan DoctorSHARE ke Kepulauan Riau. Dan tugasku? Tentu saja, melaporkan tentang Orang Suku Laut!
Tuhan sungguh memiliki sense of humor yang tak terduga. Selama dua pekan ke depan, ternyata hatiku dibuat babak-belur, luluh-lantak dihajar apa yang kupercayai sebagai teori yang kedengarannya gampang saja - survival of the fittest. Padahal bagi Orang Suku Laut, ini adalah masalah hidup atau mati.
![Dokter Lie A. Dharmawan menyapa Orang Suku Laut di perahu kajangnya. Sumber gambar: dokumen pribadi.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/03/24/a5-5e78fbf3d541df76e53bbe82.jpg?t=o&v=770)
“Kami sudah tiga hari tiga malam melaut, Bunda, tanpa mendapatkan apa-apa,” ujar salah satu dari mereka. “Kalau tidak terpaksa sekali, kami tidak mengetuk rumah Bunda.”
Mendengar cerita yang dikisahkan oleh Lensi atau yang biasa dipanggil Bunda Densi itu, aku melongo. Orang Suku Laut tak lagi mendapatkan ikan dari laut?
Siapa sebenarnya Orang Suku Laut?
Orang Suku Laut adalah orang-orang dari Rumpun Melayu yang mendiami pesisir pulau-pulau dan hidup dalam sampan atau perahu kajang. Asal muasal mereka tidak banyak tercatat dalam sejarah, tetapi sudah sejak lama mereka hidup berpindah-pindah secara nomaden secara berkelompok di sampan-sampan di Selat Johor, Kepulauan Riau, di pesisir Sumatera, Bangka, dan Belitung.
Di abad 17 pada masa Kesultanan Riau Lingga-Johor-Pahang yang dipimpin oleh Sultan Mahmud, Orang Suku Laut merupakan kekuatan pendukung Sultan baik secara militer atau pun ekonomi. Mereka adalah ujung tombak keamanan di wilayah pesisir, penjaga wilayah samudera dari para bajak laut, dan masuk dalam pasukan perang Sultan.
Sebuah sumber catatan dari Inggris menyebutkan di awal abad 19 ada sekitar 42 ribu Orang Suku Laut menetap di Bintan dan Riau, serta 24 ribu yang tinggal di sekitar Lingga. Mereka sangat disegani karena dipercaya memiliki kekuatan mistis yang mumpuni, dan merupakan pelaut-pelaut ulung yang tak ada bandingnya.
Atas jasa-jasa mereka menjaga pesisir dan lautan, Kesultanan Riau Lingga -Johor-Pahang memberikan hak kuasa atas wilayah pada Orang Suku Laut yang tertuang dalam sebuah manuskrip kuno dan peta wilayah. Saat ini manuskrip itu masih ada dan dipegang oleh Tengku Fahmi dari Lembaga Adat Kesultanan Riau Lingga di Pulau Penyengat, Tanjung Pinang. Sedangkan peta wilayahnya disebut ‘Peta Wilayah Takluk Sultan Abdurrahman Muazzamsyah 1885’.
![Sumber gambar: Yayasan Kajang](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/03/24/fotosultan-5e78fc19d541df1dd32a8782.jpeg?t=o&v=770)
Terikat Janji Leluhur
“Sekarang mereka seperti tidak ada induknya dan secara fisik kocar-kacir, tetapi sesungguhnya mereka terikat janji leluhur,” ungkap Wawan, Sekretaris Yayasan Kajang yang juga bekerja di Dinas Sosial Kabupaten Lingga. Wawan yang merupakan seorang seniman ini kini giat mengumpulkan berbagai kearifan lokal, adat istiadat, catatan sejarah, dan berbagai serapah atau mantra-mantra Orang Suku Laut – untuk dilestarikan dan dibukukan.
![sumber gambar: dokumen pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/03/24/a6-jpg-5e793eb9097f364a965e6ae2.jpg?t=o&v=770)
Alkisah pada abad 16, datanglah seorang datuk (seorang yang kaya dan berpengaruh) dari Jambi bernama Datuk Megat Kuning ke Pulau Mepar, salah satu pulau kecil yang berhadapan dengan Pulau Daik di Kepulauan Riau. Pulau kecil itu kosong dan tak berpenghuni. Namun pada suatu pagi datuk heran karena terdengar suara riuh rendah di pesisir pantai. Ternyata sang datuk melihat rombongan sampan Orang Suku Laut berlayar berjejer mengantar ikan dan aneka persembahan pada ratu mereka.
![Orang Suku Laut dalam sampan kajangnya. Sumber gambar: dokumen pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/03/24/a2-5e793ef9097f36657b5f8cf2.jpg?t=o&v=770)
Kemudian Mak Oyah dan Datuk Megat Kuning pun bertanding. Karena pertandingan pada akhirnya dimenangkan oleh sang datuk, maka sejak saat itu seluruh Suku Laut beserta keturunannya berjanji setia pada Datuk Megat Kuning dan keturunannya. Bahkan setelah Datuk Megat Kuning meninggal dan dimakamkan di Gunung Tande, keturunan-keturunannya seperti Datuk Kaya Montel, pun masih sering memanggil dan mengumpulkan Orang Suku Laut untuk melakukan ritual bersama terutama pada saat bulan purnama. Orang Suku Laut yang datang ke Daik bahkan menghormati rumah datuk dan tak pernah berani melintas di pekarangan depannya.
![Rumah Datuk di Daik. Sumber gambar: dokumen pribadi.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/03/24/whatsapp-image-2020-03-24-at-00-37-46-5e78fc78d541df27430f3e42.jpeg?t=o&v=770)
![Rumah-rumah Orang Suku Laut dari Pemerintah. Sumber gambar: dokumen pribadi.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/03/24/a7-5e793f2c097f3662ce02da02.jpg?t=o&v=770)
***
Sumber: Yayasan Kajang dan berbagai sumber lainnya
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI