Maaf jika seringkali aku mengatakan dan memaksakan padamu untuk segera diberi kepastian mengenai hubungan kita, maafkanlah diriku jika seribu kata maaf atas perlakuan yang tak kau sukai hanya berakhir dihempas angin tanpa pembuktian yang pasti dari diriku. Aku tahu, aku terlalu egois mengenai hal yang selalu ku sebut dengan kita, padahal berbeda dengan kenyataan, bahwa yang selalu aku usahakan adalah aku, diriku sendiri untuk terus bisa kuat dan bertahan menjalin hubungan denganmu, tapi tidak dengan kamu. Kak, aku tidak pernah menganggapmu acuh kepada hubungan yang biasa disebut kita, tapi mengapa akhir-akhir ini aku seringkali melihatmu memandang remeh setiap perkataan yang kuucap, dan menganggap itu hanya gonggongan  anjing yang akan segera berakhir? Dan disini aku makin sadar, mengapa seak akan-akan disini yang paling benar adalah dirimu, yang harus selalu dianggap mutlak kebenarannya adalah dirimu dan segala sesuatu yang ada pada dirimu. Tapi bagaimana denganku? Memang benar adanya jika kau tak pernah menuntutku menjadi yang sempurna, karena kau selalu mengatakan bahwa kau lebih senang dengan aku yang apa adanya. Tapi berbeda dengan yang kurasakan, segala yang kau katakan seolah-olah mengharuskanku menjadi pribadi yang sempurna, pribadi yang bisa disandingkan dirimu nantinya, yang mana jika sesekali kupikirkan, aku kau anggap apa? Hingga kau selalu menuntutku menjadi sempurna, apakah aku seburuk itu sehingga tak pantas untuk sekedar ada dan bersanding dengan dirimu untuk saat ini?
Jika nanti pada saat kau membaca surat ini dariku, kau bertanya mengapa aku tak pernah menanyakan perihal itu, sadarlah. Haruskah aku menanyakannya untuk mendapatkan jawaban darimu? Jika kau paham dan mengerti kondisi serta keadaan hatiku yang sudah tak sehat selama ini, seharusnya kau menjelaskannya padaku tanpa harus kutanyakan tentang apapun itu kepadamu, dan jika kau bertanya mengapa aku tak pernah mengutarakannya padamu? Atau sekedar bercerita padamu? Sekarang jawabanmu membuatku semakin paham, sejatinya kau memang tak pernah menyayangiku dalam sisi apapun, yang ada kau hanya jadikanku pelampiasan atas sepinya hatimu. Kak, aku tak pernah memintamu memahamiku atau memperhatikanku, tapi bisakah kau baca semua sikapku selama ini?
Sekarang aku bertanya padamu, pernahkah kau buka satu saja cerita pendek yang kukirimkan padamu setiap minggunya selama ini? Sampai detik ini saja aku bisa pastikan kalau kamu tidak pernah sekali saja ada kemauan untuk membaca ceritaku, padahal jika kau tahu, semua yang menjadi masalah dan apa yang telah kuutarakan sejak tadi adalah isi dari semua cerita dalam surat yang kukirimkan padamu. Tapi apakah kamu pernah berfikir bahwa dalam suatu hubungan jika didorong dan diperjuangkan, dimengerti dan dipahamkan oleh satu pihak saja tidak akan pernah berakhir baik? Yang ada semuanya akan menjadi sebuah ketidaklayakan berhubungan, jadi dengan ini aku katakan padamu bahwa aku ingin mundur.
Kak, kata mundurku disini bisa dikatakan sebagai kata yang menyelaraskan sikapku untuk berhenti berjuang dan memperjuangkan apa yang sama sekali tidak memperjuangkanku, dan juga  segera berhenti menyakiti diri sendiri dalam perkara hati. Aku tidak marah ataupun kecewa denganmu, hanya saja aku kecewa dengan diriku sendiri. Tentang aku dan diriku yang selalu egois untuk berusaha agar aku bisa terus bersamamu, tentang aku yang tak bisa menyejajarkan kemampuan dan potensi agar bisa terus bersanding denganmu dan yang harus kau tahu, kekecewaan terbesar yang tidak akan pernah aku lupakan adalah tentang keterlambatanku dalam menyadari bahwa kehadiranku tidak diinginkan olehmu, keterlambatanku dalam menyadari bahwa aku telah menghabiskan waktuku untuk selalu terseok-seok diantara terjalnya jalan yang tak kunjung diaspal untuk meluluhkan hatimu, menghabiskan waktu untuk menunggu seseorang yang ternyata sama sekali tak pernah mengharap kehadiranku dalam hidupmu, menyedihkan bukan?
Setelah semua yang kita lewati bersama, aku rasa akan terasa sangat sulit untuk bisa melupakanmu, atau sekedar mencari tambatan hati yang baru untuk menggantikanmu. Aku bersyukur kita bertemu dan dipertemukan, pernah disatukan walau tak saling beradu. Karena menurutku pertemuanku denganmu adalah anugerah terindah yang pernah diberikanNya kepadaku. Aku yakin, bahwa tak akan ada kesia-siaan yang menjadi sampah dalam diri, karena semuanya telah kutelaah dan kusaring. Terima kasih ya, dengan adanya permasalah semacam ini membuatku semakin mengerti dan paham arti mengenai hakikat memahami, menghargai, berjuang, dan memperjuangkan dalam hal mencintai. Jika kau bertanya, apakah aku menangis saat aku menulis surat ini untuk mu? Aku akan jawab iya, aku menangis. Kau tahu? Rasanya teramat sangat sakit, entah mengapa walau ia tak terlihat, seakan ada belati menyayat perlahan setiap relung hati.
Kau tahu? disetiap tetes air matanya terdapat pertanyaan yang mengikat kuat urat nadi dalam hati, tentang mengapa berusaha melepaskan dan merelakanmu terasa lebih sakit dari sakit hati yang pernah aku rasakan sebelumnya? mengapa hal indah yang penuh memenuhi hatiku seakan sirna begitu saja? mengapa semangat yang dulu pernah ada, kini mulai pudar keberadaannya? mengapa segala sesuatunya terasa berbeda setelah benar-benar terjadi akan peristiwa ketiadaannya? apa mungkin semua yang kulakukan selama ini semata hanya berporos padanya? ataukah keberadaan akan perasaanku hanya dianggap suatu kesia-siaan olehnya?"
Salam Sayang, Farahdiba Reyhata jannah
 Â
      Tak kuasa kumenahan keperihan di hati, kuremas tanganku erat menyadari betapa tak berperasaannya diriku terhadap dia yang ku cinta. Kurenungkan diri, dan menyadari bahwa tidak semua yang kita rasakan sama dengan yang orang lain rasakan, jujur dan tidaknya, terbuka dan tidaknya kita dalam suatu hubungan menjadi kunci utama dalam menjalin hubungan itu sendiri. Dan setelah semuanya terjadi, penyesalan itu datang bertubi-tubi. Alih-alih mengingat Eyha yang memang selalu berusaha menyandingkan diri denganku, tapi aku tak acuh dengan hal itu, karena dia tak tahu sejatinya aku tak butuh ia jadi sempurna, aku sangat menyayang dengan dia yang sekarang, dia yang unik seperti ini, namun apa dapat dikata, aku terlalu pecundang untuk sekedar mengutarakan, dan pengecut untuk mengakui.
Biodata
Namaku Laksitannisa Harumi, lahir pada tanggal 9 Juli 2000 di kota pelosok Kulon Progo, Yogyakakarta. Aku seorang mahasiswi dengan program studi Hubungan Internasional di sebuah universitas swasta, Universitas Darussalam, aku memiliki hobi menulis, menyanyi, melukis serta  membuat karya tangan yang lainnya dan juga sering membagikan karya imajinasiku dalam tulisan di Blog milikku laksitannisaharumi.wordpress.com.