*Laily Punya
Instrumental yang dikaruniakan Allah secara cuma-cuma kepada hamba-Nya yang paling mulia di bumi adalah akal pikiran, inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya. Maka hendaknya digunakan dan diberdayakan sebagaimana fungsi dan perannya secara baik dan optimal.
Islam sangat menekan pemeluknya agar menggunakan akal pikiran (rasio). Meskipun akal pikiran bukanlah penentu, tetapi akal pikiran merupakan alat atau media penting dalam memahami segala sesuatu. Tiada agama yang tidak menggunakan akal pikiran (لا دين لمن لا عقل له).
Islam juga menolak tegas terhadap sesuatu yang tidak didukung oleh bukti-bukti yang valid. Termasuk diantaranya, sikap taklid yang sifatnya membabi buta, pengecaman terhadap asumsi dan keinginan yang semata-mata karena hawa nafsu, sihir, ramalan, dan bentuk kebatilan yang lain. Oleh karena itu, islam sangat menghormati ilmu pengetahuan dan mengangkat derajat para ulama. Bahkan ahli ilmu lebih mulia dari ahli ibadah. Islam merespon dengan antusias terhadap ilmu pengetahuan apapun. Baik ilmu agama maupun ilmu umum yang dinilai bisa menyumbang manfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Keseimbangan antara berbagai macam ilmu akan mendorong manusia untuk berpikir dan bertindak secara ilmiah, sehingga dalam mengamalkannya di kehidupan sehari-hari akan terbingkai oleh kesempurnaan ilmu dan keimanan. Itu sebabnya, ta’ (ة) dalam redaksi hadits nabi yang berbunyi "فريضة" bukanlah ta’ tanda isim mu’annats, tetapi bermakna mubalaghoh superlative (penyangatan).
Pada dasarnya, Allah Swt juga menganugerahkan kepada manusia dengan talenta yang berbeda-beda sebagai modal untuk berkreasi di bidang apapun. Hanya saja pengelolaannya tergantung pada manusianya itu sendiri. Sejauh mana mereka dapat menggunakan potensi-potensi yang dimilikinya?... Dengan kuasa-Nya dan atas kehendak-Nya, Allah menciptakan segala sesuatu di alam semesta raya ini tidak semata-mata hanya diciptakan. Akan tetapi ada maksud dan tujuan yang terselubung di dalamnya. Dan Allah tidak menciptakan semuanya dengan sia-sia.
Dari segala bentuk penciptaan Allah, kita juga dapat mengenal hukum klausalitas (sebab-akibat). Di sinilah manusia dituntut untuk berpikir bagaimana untuk memahami makna apa yang tersembunyi di balik semua penciptaan-Nya. Dari pemikiran-pemikiran itu, muncullah ilmu-ilmu baru dan cabang-cabangnya yang berkembang. Ini merupakan satu bentuk prestasi dalam mengembangkan potensi akal dan ilmu pengetahuan.
قال الله تعالى : ألم تر أنّ الله أنزل من السّماء ماءً فأخرجنا به ثمراتٍ مختلفا ألوانها ومن الجبال جد دٌ بيضٌ و حمرٌ مختلفٌ ألوانها وغرابيب سود (27) ومن الناس والدواب والأنعام مختلفٌ ألوانه كذلك إنّما يخش الله من عباد ه العلماء إنّ الله عزيزٌ غفور (28)
“Tidaklah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi Maha pengampun” (QS. Al-Faathir:27-28)
Pada ayat ini, Allah swt menguraikan beberapa hal yang menunjukan kesempurnaan dan kekuasaan-Nya. Jika kita mau berpikir, banyak sekali yang bisa kita baca dan pelajari dari hukum alam. Mengingat hal ini, penulis terpendar pada cerita para aulia zaman dahulu yang terkenal dan tidak asing lagi di kalangan kita para pelajar muslim. Ialah Imam Hajar Al-Haitami yang pada saat itu sudah mendapat banyak kecaman bahwa beliau adalah orang yang paling bodoh. Akan tetapi, suatu waktu ternyata beliau mampu berfikir tentang “Filsafat batu”. Berawal dari pemikiran itulah akhirnya beliau menjadi ulama besar yang karya tulisnya menjadi rujukan dunia muslim. Siapa yang tidak kenal beliau?... itulah, ganjaran atas kemauan untuk berpikir dan belajar dari manapun. Maka ilmupun akan terbuka.
Mengingat pula sejarah pada masa daulah Umayyah (Spanyol) dan Abbasiyah (Baghdad), Produktivitas dan kreativitas cendekiawan muslim dalam masalah ilmu pengetahuan dan sains lebih berkembang pesat jika dibandingkan dengan orang barat. Orang barat maju sebab mengadopsi ilmu yang dimiliki umat islam. Waktu itu, banyak generasi-generasi barat yang dikirim untuk belajar pada cendekiawan muslim. Marekalah para cendekiawan yang tinggi semangatnya dalam berkreasi dan berinovasi dengan ide baru. Sehingga sukses dalam menciptakan produk yang berkualitas berupa karya ilmu pengetahuan sebagai sinar penerang umat manusia.
Dari pembicaraan di atas, kita juga dapat mengambil pelajaran bahwa kreativitas input ilmu pengetahuan dan pengelolaan akal tidak mungkin bisa lepas dari kebutuhan hidup manusia. Kejelian dalam mengembangkannya seiring dengan berputarnya zaman adalah hal penting bagi kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu, produktivitas output juga tidak kalah penting. Output ilmu berupa pengamalan bertujuan agar ilmu yang sudah ada tidak mengalami stagnasi apalagi sampai lenyap di muka bumi. Sama halnya dengan makhluk hidup, mereka membutuhkan air untuk diminum, akan tetapi mereka juga butuh berekskresi agar seimbang antara satu hal dengan hal yang lain.
Kreativitas Output dapat diimplementasikan dengan berbagai macam cara. Termasuk di antaranya adalah menulis. Dr. Said Ramadhan Al Buthy (Argumentator sunni) berkata :
“Saya bertanya pada diri saya sendiri. Apa yang membuat saya tetap menulis dan menulis???... Jika untuk kemasyhuran, saya telah mendapatkan lebih dari pada yang saya harapkan. Kalau untuk kesejahteraan dan kekayaan, Allah telah menganugerahi saya lebih dari yang saya butuhkan. Dan kalau ingin dihormati orang, saya sudah memperoleh dari yang layak saya terima. Pada akhirnya, saya menyadari bahwa keinginan yang telah saya sebut tadi akan sia-sia dan hambar. Kecuali seuntai doa yang dihadiahkan kepada saya dari seorang muslim yang tidak saya kenal, karena tulisan saya…”
Jika kita tahu apa ganjaran dengan esensi sebenarnya yang akan kita peroleh nanti dengan menulis, mindset kita tidak akan kemana-mana lagi selain hanya karena satu tujuan utamanya itu. Anjuran untuk menulis bahkan terkandung dalam surat Al-Alaq yang pertama turun, yaitu perintah untuk membaca dan menulis. Dulu, para sahabat yang hidup di masa Rasulullah SAW juga menulis. Meskipun terbilang kuat hafalannya, dengan alat seadanya seperti pelapah kurma, mereka menuliskan wahyu dan terpencar-pencar di tangan mereka masing-masing. Kemudian pada masa khalifah Usman bin Affan, tulisan ini dikumpulkan dan disempurnakan sehingga terbentuklah mushaf usmani yang dikepalai oleh Zaid bin Tsabit. Dan pada masa kholifah Umar bin Abdul Aziz (Dinasti Umayyah), karya tulis juga berjalan dan berkembang. Terbukti dengan rekomendasi beliau kepada Imam Az Zuhri untuk menulis dan membukukan hadits nabawi karena kekhawatiran beliau akan hilangnya hadits nabi bersamaan dengan wafatnya para periwayat hadits.
Bercermin pada masa golden history of Islamic di zaman kejayaan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, kita dapat menggugah diri dan bangkit dalam menumbuhkan semangat untuk menulis. Karena zaman keemasan tersebut sebagian besar juga dipengaruhi oleh besarnya perhatian mereka terhadap perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan serta kecintaan terhadap budaya membaca dan menulis. Sehingga, lahirlah para pemikir-pemikir besar yang berpengaruh terhadap terangnya cahaya zaman malalui penuangan ilmu dalam sebuah karya tulisnya. Seperti Ibnu Sina (Ahli kedokteran), Ibnu Nafs (Ahli Biologi), Imam Al-Ghazali (Ahli Filsafat), Umar Khayyan (Ahli Kimia), Ibnu Malik (Ahli Sastra arab) dan masih banyak lagi.
Sebenarnya dalam dunia tulis menulis, panulis tidak harus mempunyai intelektual yang tinggi. Akan tetapi yang paling inti adalah kemauan dan kontinuitas dalam menulis. Jika kita terbiasa menulis, sedikit demi sedikit kualitas tulisan kita akan meningkat. Jika tulisan kita tidak bisa sebaik para cendekiawan muslim zaman dahulu, minimal kita bisa memproduksi sebuah karya maskipun mutunya tidak sama. Jangan katakan bahwa kita tidak bisa berkarya, karena kegagalan datang bagi mereka yang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan kesuksesan saat mereka akan menyerah. Keahlian menulis bukan tumbuh sejak seorang penulis dilahirkan. Akan tetapi keahlian lahir sebab kerja kerasnya sendiri. Dengan karyanya, seseorang telah ikut menyumbang bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan zaman. Sekarang, Sudah berapa banyak produk dan jasa yang engkau tinggalkan nanti untuk generasi yang akan datang???... Selamat menulis…!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H