Ketidaktelitian dalam jual beli.
Dari sudut pandang bisnis, baik gharar maupun judi, tidak dapat memperlihatkan secara transparan mengenai proses dan keuntungan (laba) yang akan diperoleh. Proses dan hasil dari bisnis yang dilakukan tidak bergantung pada keahlian, kepiawaian dan kesadaran melainkan digantungkan pada sesuatu atau pihak luar yang tidak terukur. Pada konteks ini yang terjadi bukan upaya rasional pelaku bisnis, melainkan sekedar untung-untungan. Gharar bisa tampil sebagai cermin ketidakadilan.Â
Gharar dikaitkan dengan perjudian sebab adanya unsur ketidakpastian yang berarti mirip dengan taruhan dalam perjudian, tentang akibat yang bakal terjadi yang cenderung sepihak; salah satu pihak tidak tahu apa yang tersimpan atau akan diperolehnya pada akhir suatu transaksi. Jadi meskipun dari segi konsep dan praktinya berbeda, keduanya, gharar dan judi memiliki akibat yang sama, yaitu sa;ah satu pihak mendapatkan keuntungan yag tidak adil (menjadikan salah satu pihak menarik pihak lain keposisi yang dirugikan), yang berarti ada unsur memakan harta sesama dengan cara bathil. Disamping itu akibatnya ada kekecewaan dan kebencian, karena di samping prinsip keadilan yag harus ditegakkan dalam bisnis yag harus memerhatikan prinsip kerelaan 'antaradzin antara pelaku bisnis.
Bentuk-bentuk Gharar
Ditinjau dari isi kandungannya, bentuk-bentuk transaksi ghara menurut Abdullah Muslih terbagi menjadi 3 bagian, yaitu :
Jual beli barang yang belum ada (ma'dum)
Tidak adanya kemampuan penjual untuk menyerahkan obyek akad pada waktu terjadi akad, baik obyek akad tersebut sudah ada ataupun belum ada (bai' al-ma'dum). Misalnya menjual janin yang masih dalam perut binatang ternak tanpa bermksud lahir dari induknya, atau menjual janin dari janin binatang yang belum lahir dari induknya (habal al-habalah).
Jual beli barang yang tidak jelas ( majhul ) antara lain :
Menjual sesuatu yang belum berada di bawah penguasaan.
Tidak adanya kepastian tentang sifat tertentu dari benda yang dijual. Rasulullah bersabda " janganlah kamu melakukan jual beli terhadap buah-buahan, sampai buah-buahan tersebut terlihat baik ( layak konsumsi ). (HR. Ahmad bin Hanbal, Muslim, an-Nasa'i dan ibnu Majah).
Tidak adanya kepastian tentang waktu penyerahan obyek akad. Jual beli yang dilakukan dengan tidak menyerahkan langsung barang sebagai obyek akad.