Mungkin kalian pernah merasakan berada di titik hancur, gagal, terpuruk, bahkan jatuh sejatuh-jatuhnya. Kalian seakan enggan untuk berjalan, bahkan untuk sekedar berdiri pun kalian merasa tidak mampu.
Kemudian datang beberapa orang melihat kamu yang terjatuh lalu bertanya. "kenapa?"kamu pun diam. Enggan untuk menjawab karena tidak ingin dikasihani. Bahkan kamu tidak tau apa mereka akan kasihan atau malah tertawa. Yang jelas, kamu enggan menjawab.
Meski orang-orang itu tidak tahu kamu kenapa, tapi mereka pasti mengerti kalau kamu sedang tersungkur, jatuh. Jadi untuk apa kamu jelaskan, mereka bisa melihatnya sendiri.
Kemudian orang-orang makin banyak mengerumunimu, melihat kamu yang sedang tersungkur. Masih pula bertanya kenapa. Kamu merasa semakin muak terus dikerumuni.
Mereka pun pergi, meninggalkanmu setelah puas mencari informasi keadaanmu. Lalu sibuk begitu saja dengan kebahagiaan mereka.
Kamu sendirian. Ah, mungkin ini lebih baik daripada mereka mengerumuni keterpurukanmu. Kamu merasa sangat hampa, kosong, tidak punya teman.
Lalu datang satu persatu orang. Bukan seperti yang tadi, sibuk bertanya kenapa. Orang ini langsung mengulurkan tangannya, mengajakmu berdiri. Tidak ada gunanya terus terpuruk.
Kamu enggan berbicara, enggan juga menerima uluran tangan itu. Kamu tidak ingin dikasihani. Kamu masih merasa hancur dan tidak mampu untuk bangkit.
Orang-orang itu meneriakimu, menasehatimu. Sakit memang. Tapi siapa sangka kalau mereka mampu mengajakmu berdiri. Kamu pun tersenyum, lalu menerima uluran tangan itu. Sekarang kamu mampu berdiri.
Lalu, beberapa dari mereka memilih pergi, karena kesibukan masing-masing. Dan sekarang, orang-orang itu makin berkurang. Mereka menyuruhmu untuk berjalan.
Kamu enggan, merasa tidak akan kuat. Kamu merasa sangat lemah dan tidak berdaya. Tapi lagi-lagi mereka meneriakimu, meyakinkanmu kalau kamu harus mulai berjalan.
Kamu berjalan, masih ketakutan untuk menengok ke belakang, tempat dimana kamu terjatuh. Mereka terus menemani kamu berjalan, perlahan, kemudian mengajakmu berlari.
Kali ini kamu menurut, kamu terus berlari. Meski temanmu rasanya semakin berkurang, tapi kamu sudah mampu berlari, meniggalkan semua kepahitan itu.
Ada beberapa yang mengejar, ingin ikut. Kamu hanya tersenyum dan terus berlari. Dan kamu memutuskan untuk menengok ke belakang.
Kamu tertegun, astaga, jauh sekali titik jatuh itu kamu tinggalkan. Kamu tidak menyangka kalau kamu sudah berlari sangat jauh.
Lalu, di hadapanmu ada bukit yang begitu terjal. Sebagian memilih meninggalkanmu, tidak sanggup menemani, berbahaya.
Temanmu makin sedikit. Hanya dua atau tiga yang masih sanggup menemani. Kalian mulai mendaki, terus. Meski sakit, meski terjatuh, meski putus asa, tapi kalian terus melanjutkan perjalanan.
Hingga akhirnya, kamu hampir tiba di puncak itu. Kamu terkejut, banyak sekali orang-orang yang menunggumu disana. Berteriak, berkata kamu hebat.
Tapi tentu saja kamu tidak mengenali mereka lagi. Mereka mengambil jalan pintas dalam menemanimu. Yang kamu tahu, hanya orang yang menemanimu sampai ke puncak bukit. Itulah orang di balik layar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H