Mohon tunggu...
lailiyati .
lailiyati . Mohon Tunggu... Guru - GURU

Dimana kaki berpijak, disitu langit dijunjung.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah pada Dahan Tertutup Pasir

10 Maret 2022   10:47 Diperbarui: 10 Maret 2022   10:56 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah pada Dahan Tertutup Pasir
**LY**

Bila kau hanya membaca bagaimana proses memasak makanan pada tumbuhan, aku menyaksikannya sehari-hari.

Bila kau hanya mendengar bagaimana proses penyerbukan, aku menyaksikannya, bahkan bisa dikatakan setiap hari.

Dan banyak lagi, hal dimana hanya bisa kau dengar dan baca dari bukumu, sedang aku menyaksikannya dengan mata kepalaku.

Saat itu aku sedang bermalas-malasan diatas dahan tertutup pasir ketika seekor laba-laba mengencangkan jaring-jaring karyanya. Tidurku terganggu, ahh bukan hanya itu, terjadi guncangan yang melemparkan tubuh lemahku tak tentu arah, untunglah aku baik-baik saja. Kagetkah aku? Bukan KLB atau kejadian luar biasa bagiku. Setiap hari peristiwa ini atau semacam ini terjadi.

"Aih, aku sudah bilang padamu untuk hati-hati, jangan disini, tempat ini rawan, belum lagi jika angin bertiup, apalagi jika malam. Lebih baik kau ke rumahku, dibawah tanah lebih nyaman dan aman."

Itu suara sahabatku. Bilapun bukan, setidaknya dialah yang sering berbincang denganku, namun sayang aku takkan pernah menerima sarannya. Tepatnya tak bisa menerima sarannya, karena meski sekilas kami tampak serupa, pun menghirup udara yang sama namun alam kami berbeda. Eee, ahh tak tahu lah.

Sebenarnya aku bisa bertempat yang lebih aman. Masuk ke rimbunan yang lebih dalam, namun  disini aku lebih leluasa menyaksikan banyak hal yang tak bisa disaksikan mereka yang berada jauh di kedalaman perdu yang rimbun. Setiap harinya berganti-ganti, layaknya tayangan bioskop. Rasaku menyenangkan. Meski tak sedikit saat hatiku ketar-ketir layaknya peristiwa yang baru saja terjadi. Tubuh lemah terpelanting, dan nyawa entahlah sampai kapan bertahan.

Pagi ini, kecipak air yang dipermainkan serangga dibawah tempat diriku berjemur menikmati sinar keemasan dari sang surya, terlihat sangat indah. Mungkin kau menebak rasaku yang ingin juga menikmati kesejukannya. Namun kau salah, sebaliknya aku begidik ngeri memembayangkan bagaimana jika diriku jatuh kesitu. Eeih, mampukah aku tetap melanjutkan hidup, hingga bertemu saatnya bisa terbang seperti cerita Ibu kutilang. Terbang! pasti serasa indah bagimu. Namun aku tak menginginkannya. Aku hanya ingin disini saja.

Suatu hari setelah hujan lebat, dahan tak lagi tertutup pasir, hal ini sungguh membahayakan, terpaksa mencari tempat yang lebih terlindung untuk tubuh lemahku yang kini terlihat lebih tambun. Hingga untuk sementara waktu tak dapat kulihat lalu lalang pergerakan mereka para sahabatku. Yang terbang atau berlari. Namun rupanya tempat yang kutuju tidaklah juga dikata aman, konon sampah dan limbah mengotorinya. Eeih bukan hanya mengotorinya, kalau kotor layaknya dahan tertutup pasir, aku senang bermain pun bermalas-malasan disitu. Tapi ini bukan kotor yang seperti itu. Genangan air, udara beracun, aku harus menjauhinya. Bagaimana jika aku terbang saja, tiba-tiba aku berpikir seperti cerita Ibu kutilang, suatu saat jika aku bertahan hidup, aku bisa terbang pada masanya.

Di sinilah tempat lahirku, dahan tertutup pasir sebagai saksinya, memang tidaklah pada dahan yang sama, namun setidaknya sama-sama tertutup pasir. Disinilah aku menghabiskan masa kecilku berjibaku dengan angin, hujan dan teriknya mentari, makan, minumku tersedia disini, menjadikan tubuhku bergelembung disana-sini, kau paham kan disinilah tanah airku, pun aku ingin juga mati disini, atau mungkin biarlah menjadi santapan ular seperti sahabatku yang berumah dibawah tanah si cacing kemarin siang.

Aku tak tertarik terbang seperti kata Ibu kutilang, ataupun berlari jauh seperti bebek yang sering bertandang kesini ditiap pagi dan ketika senja menjelang mereka dijemput pulang oleh bocah pengangonnya. Ataupun berlompatan seperti kakak katak. Namun aku hanyalah seekor ulat yang pada saatnya nanti bermetamorfosa dan terbang sebagai kupu-kupu, setelah melalui fase kepompong selama 7 hingga 20 hari. Aku sedih namun bukankah semua ulat mengalami itu?

Tujuh hari sudah aku berpuasa tidak makan dan minum, pun telah kutemukan dahan tertutup pasir. Maka, selamat tinggal masa bermain, selamat tinggal dinginnya udara malam, selamat tinggal sinar keperakan dari sang surya, selamat tinggal sahabat-sahabatku, karena fase kepompongku telah bermulai.

Bangil, Sabtu 6 Juli 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun