Mohon tunggu...
Laili Nurafriyanti
Laili Nurafriyanti Mohon Tunggu... -

dalam penjara suci aku santri, dalam kampus aku mahasiswi, dalam dunia maya aku peri, dalam ruang kamar aku remaja manja, di dunia adventur aku petualang...maka biarkan diriku hilang...menyambangimu setiap waktu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Energi Kita yang Belum Selesai

4 Mei 2011   03:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:06 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gas alam menjadi salah satu sumber daya alam yang penting bagi Indonesia. Keberadaannya tak hanya sebagai penghasil devisa, tetapi juga sebagai sumber energi dan bahan baku bagi sebagian industri nasional kita. Sebagai komoditas yang menjadi sumber energi dunia disamping minyak bumi dan batu bara, orientasi ekspor dianggap masih menciptakan nilai tambah tertinggi bagi negara. Bila orientasi ini terus berjalan, bagaimana upaya untuk menyeimbangkannya dengan pemenuhan pasokan dalam negeri juga tetap terpenuhi?

Salah satu faktor yang menunculkan tarik ulur orientasi ekspor atau domestik ini juga terkait dengan penggunaan gas alam secara nasional baru marak dilakukan mulai tahun 2000 silam. Sementara, dengan kontrak ekspor jangka panjang yang banyak ditandatangani di era tahun 1990-an, pemenuhan kebutuhan domestik menjadi terhambat.

"Kontrak eskpor itu biasanya jangka panjang. Maka saat ini dimana permintaan gas domestic tinggi, kontrak-kontrak tersebut tidak bisa serta merta diubah untuk orientasi kebutuhan domestik karena dapat berakibat pada pelanggaran kontrak (default)," ujar Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Evita Herawati Legowo, beberapa waktu lalu.

Menurutnya pihaknya tidak akan berhenti untuk mencarikan tambahan alokasi gas untuk industri ini.

"Kami akan kerja bersama untuk bisa memenuhi kebutuhan industri secara tepat. Dari sana kita akan tahu berapa yang bisa dialokasikan sebagai tambahan. Namun tentunya kecukupan pasokan untuk domestik itu hanya bisa dilakukan apabila infrastruktur penyimpan dan pengolah gas alam cair itu sudah terbangun," ujar Evita.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, dari total produksi gas nasional pada 2010, konsumsi domestik mencapai 50,3% dan ekspor 49,7%. Konsumen terbesar gas adalah pembangkit (11%) disusul pupuk (7,8%).

Sementara, untuk 2011, kontrak pasokan gas bumi untuk domestik pada tahun ini mencapai 56,78% dari total kontrak, atau sekitar 4.366 miliar british thermal unit per hari (bbtud). Sisanya, sebesar 3.322 bbtud, atau 43,22%, diperuntukkan untuk ekspor.

"Jumlah ini naik cukup signifikan ketimbang 2010," kata Kepala Dinas Humas dan Hubungan Kelembagaan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Elan Biantoro.

Tahun lalu, realisasi pasokan gas untuk domestik sebanyak 4.342,71 BBTUD atau sekitar 50,18%. Sementara gas untuk ekspor sebanyak 4.311,58 bbtud atau 49,82%.

Untuk listrik, realisasi 2010 sebesar 854,88 bbtud. Tahun 2011, pasokan meningkat menjadi 1.510,6 bbtud. Meningkatnya pasokan, diharapkan berasal dari Lapangan Wortel (Santos), Lapangan Sungai Kenawang (JOB Pertamina Talisman Jambi Merang), Lapangan Kampung Baru (Energy Equity Sengkang), PetroChina Jabung, dan ramping up Lapangan Singa (Medco EP).

Adapun realisasi 2010 kepada industri melalui penjualan kepada PT Perusahaan Gas Negara (PGN) maupun langsung adalah 1.203,18 bbtud. Tahun ini, kontrak untuk industri naik menjadi 1.690,43 bbtud. Peningkatan pasokan untuk industri diharapkan berasal dari Kalila Bentu dan JOB Pertamina PetroChina East Java.

Menurutnya, kebutuhan domestik, khususnya pasokan gas untuk pabrik pupuk, listrik, serta industri, tetap prioritas. Namun, ia mengingatkan, salah satu kendala pemenuhan pasokan karena konsumen domestik masih sulit menerima harga di atas US$5 per milion metric british thermal unit (mmbtu)..

Namun benarkah komposisi alokasi itu nyata terealisasi? Mengapa masih ada keluhan terjadinya defisit pasokan gas untuk keperluan industri dan pembangkit listrik setiap tahun? Apakah masalah harga beli yang rendah dan belum adanya infrastruktur merupakan penghambat utama kecukupan alokasi gas untuk domestic?

Di awal tahun 2011, permintaan kalangan industri untuk memenuhi kebutuhan pasokan gas total 1.520,74 juta standar kaki kubik per hari (million metric standard cubic feet per day/mmscfd) kandas sudah. Pemerintah hingga kini tidak bisa memberi jaminan pasokan gas tersebut bisa dipenuhi tahun ini.

"Tahun ini sepertinya kita tidak bisa berharap kebutuhan total itu bisa terpenuhi. Dirjen Migas Evita H Legowo menyatakan kita tidak mendapat alokasi tambahan. Pemerintah hanya menjanjikan apa yang sudah tertera dalam kontrak pasokan 538 mmscfd itu yang akan dipenuhi," ujar Sekretaris Jenderal Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Achmad Widjaja, akhir Januari lalu.

Dengan demikian imbuhnya, dipastikan permintaan pemenuhan kebutuhan minimum sekalipun dikisaran 801 MMscfd gas tidak akan terpenuhi.

"Jadi yang bisa diharapkan hanya 538 MMscfd itu atau justru turun ketimbang realisasi 2010 yang 584 mmscfd," ujarnya.

Selain untuk industri manufaktur, deficit pasokan kebutuhan gas untuk industri pupuk dan petrokimia 1.246,58 dan belum sepenuhnya dapat dipasok dari dalam negeri dan baru dipenuhi sekitar 650 MMscfd.

Menurutnya, FIPGB akan terus menagih janji pemerintah pada pertengahan 2010 lalu yang akan mengalihkan 100 MMscfd gas untuk keperluan membantu produksi minyak (lifting) PT Chevron Pacifik Indonesia.

"Kita menagih janji pengalihan alokasi itu yang dilontarkan Menteri Koordinator Perekonomian dan menteri ESDM di depan rapat kerja gabungan dengan Komisi IV, VI dan VII DPR tahun lalu yang hingga kini sama sekali tidak pernah disinggung lagi," ujarnya.

Namun pemerintah, imbuh Achmad menyatakan tidak bisa mewujudkan pengalihan tersebut karena untuk mengganti pasokan gas untuk perkuatan pemulihan produksi minyak bumi (enhanced oil recovery/EOR) Chevron tersebut dengan gas dari batu bara tidak ekonomis.

"Artinya tidak akan terealisasi janji tersebut. Ketika kami berupaya meminta pengalihan sedikit pasokan gas ke Singapura dari Conoco Philips melalui pipa South Sumatera West Java (SSWJ), pemerintah menyatakan tidak bisa melanggar kontrak ekspor," tuturnya.

Padahal bila menilik data 2009, dari total produksi gas bumi 3,02 triliun kaki kubik, gas yang diekspor melalui pipa ke Singapura mencapai 219.485 mmscfd dan yang dikapalkan dalam bentuk gas alam cair mencapai 390.450 mmscfd atau mencapai total 609.935 mmscfd.

Pemerintah juga beralasan, sulitnya alokasi untuk industri ini disebabkan harga pembelian gas di hulu sumur (wellhead) dari konsumen industri masih rendah.

"Sekarang kami membeli dengan harga rata-rata US$6,8 per juta metrik british termal unit (million metric british thermal unit/MMBTU). Harga ini sudah sudah cukup wajar karena harga rata-rata dalam negeri saat ini dikisaran US$6-US$6,5 per MMBTU," ujarnya.

Sementara, imbuhnya PLN sanggup membeli gas hingga pada level US$9 per MMBTU dan industri pupuk sanggup membeli gas seharga US$7 per juta Btu

Tanpa kepastian pasokan gas alam dari kontraktor minyak dan gas (migas), PT Perusahaan Gas Negara(PGN) Tbk belum bisa memenuhi kebutuhan gas untuk industri. Dari total kebutuhan 815 pelanggan industri di Jawa Bagian Barat hingga Sumatera Selatan sebesar 2.700 juta metrik kaki kubik per hari (million metric standard cubic feet per day (MMscfd), PGN hanya bisa memenuhi sekitar 500 MMscfd (18,54%).

Hal ini terjadi karena hingga saat ini tidak ada jaminan ketersediaan pasokan gas dari produsen yang sudah memiliki kontrak penyaluran gas dengan PGN. Selain industri, PGN harus memenuhi kebutuhan PLN, sektor rumah tangga dan transportasi.

"Kami tidak bisa menjanjikan pemenuhan pasokan untuk semua pelanggan termasuk industri. Jangankan untuk menutupi kekurangan pasokan 2.200 MMscfd, untuk bisa menyamai target pasokan gas tahun ini minimal menyamai realisasi 2010 saja kami masih sulit,'' ujar General Manager Strategic Business Unit (SBU) 1 Hendi Kusnadi, pada acara Forum Wartawan Industri di Anyer, Banten, pertengahan Februari lalu.

Menurutnya, alasan utama sulit penuhi permintaan dari pelanggan karena pasokan gas dari sejumlah perusahaan hulu makin berkurang. Di wilayah kerja SBU I yang meliputi area Jawa Barat hingga Sumatera Selatan yang menjadi pusat konsentrasi pelanggan PGN, defisit pasokan gas dari kontraktor migas dipastikan terus terjadi.

Misalnya, akibat penurunan produksi, pasokan gas dari lapangan Pertamina Pagardewa Lampung turun dari 185 MMscfd pada 2010 menjadi 150 MMscfd pada tahun ini. Sementara dari lapangan ConocoPhillips di Grissik, Jambi juga berkurang dari 386 MMSCFD menjadi 295 MMSCFD.(23,58%). Meski terikat kontrak pasokan, PGN tidak bisa menuntut kepada kedua produsen tersebut karena kondisi berkurangnya cadangan gas dan pengalihan gas untuk lifting merupakan kebijakan pemerintah.

''Sejak Februari 2010, sekitar 91-100 Mmscfd alokasi gas dari ConocoPhillips melalui pipa PGN dialihkan untuk keperluan produksi (lifting) minyak bumi PT Chevron Pacific Indonesia di Dumai, Riau. Sepertinya sedikit, tapi dampak yang terjadi pada pertumbuhan ekonomi cukup besar," tuturnya.

Suplai gas terpotong sebanyak 91 MMscfd tersebut sebelumnya dimanfaatkan untuk kegiatan operasional industri. Bila rata-rata industri hanya memakai 0,25 MMSCFD berarti bisa menghidupi sekitar 364 industri.

''Bila itu bisa dikembalikan, pasokan itu bisa untuk memenuhi kebutuhan 364 industri. Ini tentu dampaknya nyata terhadap penyerapan tenaga kerja dan perekonomian masyarakat,'' katanya.

Selain itu, bila pasokan gas tersebut dipakai untuk pasokan kebutuhan gas pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU) PLN, akan ada tambahan kontribusi pada negara serta penghematan subsidi listrik sebesar Rp 6,5 triliun. Kebutuhan gas untuk PLN mencapai 2.093 MMscfd, tapi baru terpenuhi sekitar 800 MMscfd atau hanya 38,22%.

Bangun FSRU

Pemerintah menjanjikan pada akhir 2011 akan terbuka kesempatan bagi konsumen industri untuk mendapatkan pasokan gas selain dari pipa yang melalui penyalur (transporter) saat ini yakni PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk.

"Jadi setelah 2011, pemerintah akan membeli keleluasaan pada konsumen industri untuk mencari pasokan di luar kontrak dengan transporter. Bisa melalui impor langsung dan kemudian disalurkan melalui pipa transporter," ujar Achmad Wijaya.

Pemerintah juga mendorong industri untuk meniru langkah PT PLN (persero) untuk memastikan kecukupan pasokan gas pembangkit. BUMN listrik ini memborong 500 mmscfd gas yang akan dihasilkanunit penyimpan dan regasifikasi terapung (floating storage and regasification unit/FSRU) di Teluk Jakarta yang dibangun PT Pertmina (persero) dengan PGN.

"Jadi industri diminta meniru langkah serupa dengan menggandeng mitra untuk membangun FSRU. Ini tidak mudah proses untuk mencari mitra, pendanaan hingga pembangunannya sendiri akan memakan waktu. Yang pasti tidak bisa menjadi andalan untuk menjadi solusi 1-3 tahun mendatang," ujarnya.

Hal ini berkaca dari jangka waktu yang dibutuhkan PGN, PLN dan Pertamina untuk bisa mensepakati pembangunan FSRU itu.

"Dengan hanya 3 BUMN itu saja butuh waktu lebih dari 3 tahun untuk menyetujui pembagian saham dalam konsorsium, siapa yang akan membangun dan siapa yang menjadi pembelinya. Hingga kini kita tidak pernah tahu perkembangan proyek tersebut meski dijanjikan akan beroperasi pada November tahun ini," paparnya.

Kalangan FIBG sendiri mengaku sudah memiliki rencana untuk membangun FSRU di Muara Bekasi dengan kapasitas 3 juta ton per tahun (metric tones per annum/MTPA).Proyek yang akan mengandalkan pasokanLNG impor ini bernilai US$250 jutaini memang meniru proyek serupa yang kini tengah dikembangkan Pertamina dan PGN, melalui konsorsium PT Regas Nusantara. Kedua BUMN ini sepakat membangun FSRU di Teluk Jakarta berkapasitas 3 juta ton dengan investasi sekitar US$250 juta. Proyek ini ditargetkan bisa beroperasi pada akhir tahun ini atau pada awal 2012.Selain itu beberapa

Pertamina juga berniat untuk membangun FSRU berkapasitas 3 MTPA di Semarang, Jawa Tengah atau Tuban, Jawa Timur. Meski belum memastikan sumber pasokan LNG, Pertamina akan menjadikan FSRU Teluk Jakarta sebagai acuan (benchmark) untuk proyek yang diperkirakan menelan investasi sekitar US$250 juta.

FSRU lain yang akan dibangun di Indonesia diataranya di Belawan, Sumatera Utara. PT PGN Tbk bahkan telah bertekad untuk membangun sendiri FSRU berkapasitas 1,5 MTPA dengan investasi sekitar US$200 juta ini dengan mengandalkan pasokan gas dari Kilang LNG Tangguh di Papua.

Di propinsi paling barat, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), pasokan gas alam dari Kilang Tangguh Papua juga akan menjadi andalan Pertamina untuk FSRU berkapasitas 2 MTPA yang akan mereka kembangkan disana. Proyek yang ditargetkan beroperasi akhir 2012 ini diperkirakan membutuhkan investasi sekitar US$80 juta.

Terkait dengan dua rencana fasilitas penerima LNG ini, sempat muncul pemikiran mengenai proyek mana yang lebih efektif dan efisien mengingat keduanya berharap sumber pasokan yang sama, yaitu LNG Tangguh. Sebagian pihak menilai FSRU Belawan tidak diperlukan karena selain tingkat kebutuhannya belum terlalu besar.

Pasokan gas untuk Sumatera Utara bisa dipenuhi dari terminal LNG Arun dengan menambah investasi pipa sepanjang 100 km dari Lhokseumawe menuju wilayah industri di Sumatera Utara. Namun, sebagian lain menilai permintaan yang terjadi saat ini tidak bisa dijadikan patokan karena akan terus meningkat seiring adanya infrastruktur.

Langkah terbaru Pertamina adalah menggandeng PT PLN (Persero) untuk membangun FSRU mini dengan total kapasitas 1,4 MTPA di wilayah timur Indonesia mulai akhir 2012. Proyek dengan potensi penghematan US$186 juta (sekitar Rp1,67 triliun, dengan asumsi harga minyak US$100/barel) per tahun ini diharapkan mampu menghemat biaya pembangkitan listrik dan menurunkan subsidi pemerintah sebagai antisipasi meningkatnya harga bahan bakar minyak (BBM).

"Saya harapkan hal ini juga merupakan jaminan kepastian pasokan gas di wilayah operasi PLN di Indonesia Timur dan sebagai bagian dari sistem bisnis gas yang lebih terintegrasi untuk kepentingan PLN. Untuk tahap pertama proyek ini akan diadakan di Tanjung Batu- Samarinda, Batakan-Balikpapan, Pasanggaran-Bali, dan Pomala-Kendari," ujar Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan di sela-sela penandatanganan nota perjanjian kerjasama dengan PLN di Jakarta, Kamis (24/3).

Menurut Karen, mini LNG merupakan solusi transportasi gas yang cocok dengan wilayah kepulauan yang tersebar di Indonesia Timur ketimbang pipanisasi. Berdasarkan kajian awal, sistem transportasi gas tahap pertama akan menggunakan kapal LNG mini berkapasitas 20 ribu metrik ton untuk memasok gas alam ke Bali dan Kendari. Sementara untuk Kalimantan Timur, akan digunakan kapal kontainer dengan kapasitas 10.500 metrik ton. Dengan kemampuan transportasi tersebut, Karen mengharapkan total kebutuhan gas pada tahap pertama nantinya dapat mencapai sekitar 90 mmscfd atau setara dengan LNG sebanyak 0,7 juta ton per tahun .

"Begitu pula dengan receiving terminal (terminal penerima gas), akan dipertimbangkan penggunaan terminal mini berupa kapal terapung ataupun small onshore plant (pembangkit pesisir pantai)," imbuh dia.

Dirut PLN Dahlan Iskan mengatakan proyek ini berpotensi menghemat biaya bahan bakar sebesar Rp874 miliar per tahun. Secara bertahap, proyek mini LNG ini diharapkan mampu mengurangi ketergantungan PLN terhadap pembangkit listrik tenaga bahan bakar minyak (BBM) jenis solar sehingga dapat mengurangi biaya produksi listrik.

"Bila biaya pokok produksi listrik berhasil ditekan, maka akan memberikan dampak bagi pengurangan subsidi listrik yang harus disediakan Pemerintah," ujar Dahlan.

Proyek mini LNG antara kedua BUMN energi tersebut merupakan realisasi dari perjanjian pengembangan bersama yang ditandatangani Pertamina dan PLN pada 29 November 2010.

Berdasarkan data Pertamina, tahap pertama proyek mini LNG ini ditargetkan beroperasi pada 2012 di Bontang, Kalimantan Timur dengan kapasitas volume 25 mmscfd, Batakan Balikpapan, Kaltim (15 mmscfd), Pasanggaran, Bali (25–30 mmscfd), Pomala, Kendari (25 mmscfd).

Sementara pada tahap kedua pada 2013, pengembangan sistem transportasi gas difokuskan pada Mataram, Nusa Tenggara Barat (15 mmscfd) dan Banjarmasin, Kalimantan Selatan (6 mmscfd). Pada tahap ketiga tahun 2015, wilayah-wilayah pengembangan sistem gas adalah Gorontalo (6 mmscfd) dan Halmahera, Kepulauan Maluku (60 mmscfd).

LNA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun