Tujuh puluh tahun lebih sudah bangsa ini merdeka. Sebagaimana yang kita cita-citakan bersama, rentetan kata yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, kita semua menginginkan untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.
Dari masa ke masa, berbagai cara ditempuh untuk mewujud nyatakan keinginan itu. Sejak masa pemerintahan presiden pertama kita Sukarno hingga hari ini, banyak usulan -- usulan guna  NKRI yang lebih baik, yang menuai respon positif maupun negative. Salah satu yang kita gagas bersama adalah yang menyoal pendidikan.
Ada suatu ketidakpuasan ketika kita membicarakan tentang pendidikan Indonesia hari ini. Mungkin hal ini hampir sama dengan kondisi yang menyoal perempuan di masa Kartini, ketika feodalisme dan patriarki yang mencengkram sedemikian kuatnya, lalu banyak pula yang merasa janggal dengan keadaan tersebut, namun sedikit yang memiliki keberanian dan tekad yang bulat untuk melakukan suatu perubahan.
Serupa menunggu hadirnya Satrio Piningit yang akan menyelamatkan kita semua dari keresahan atas kejanggalan tersebut, pun demikian dengan hari ini, tidak hanya satu atau dua orang yang merasa janggal dengan pendidikan kita, namun tidak kunjung kita temui titik kulminasi yang menjadi titik balik dari rasa ketidakpuasan ini.
Pendidikan hari ini, seolah hanya mencetak tenaga kerja buruh penghasil uang. Disampaikan oleh Eko Prasetyo dalam diskusi Manajemen Administrasi Publik yang diadakan di UGM, Rabu 25 April 2018 bahwa pendidikan hari ini kehilangan ruhnya sebagai pendidikan itu sendiri. Pendidikan telah diperjualbelikan. Eksistensi pendidikan itu sendiri tak ubahnya hanyalah hiasan bagi keberlangsungan NKRI.
Namun, warga pendidikan pun seolah acuh dan ikut tenggelam dalam hegemoni pendidikan ini. Seperti tidak sadar bahwa ada sesuatu yang menjerat tujuan pendidikan.
Menilik pernyataan yang disampaikan oleh Ane Permatasari dalam jurnalnya yang berjudul Membangun Kualitas Bangsa dengan Budaya Literasi, bahwa ada dua hal yang perlu kita perjuangkan ketika kita ingin menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang maju, yang pertama adalah pendidikan dan yang kedua adalah ekonomi.
Namun betapa mengenaskannya bangsa kita ini, isu yang sedemikian strategisnya memperoleh perhatian yang pura-pura dari sekian juta sarjana pendidikan yang lulus setiap tahunnya.
Dalam bangku perkuliahan jurusan -- jurusan pendidikan, dapat dikatakan bahwa tidak kurang dari 85% materi di kelas adalah menjadikan pendidikan sebagai suatu ritual dan guru sebagai suatu profesi, tidak lebih. Hal yang demikian ini menjadikan para calon pendidik ini akhirnya kurang menginternalisasikan falsafah pendidikan ke dalam dirinya.
Mari sejenak menilik tujuan pendidikan nasional kita yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah "mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".
Namun bagaimana cita -- cita yang sedemikian mulia ini dapat tercapai jika calon guru langsung dihadapkan pada ranah metodologi praksis tanpa benar -- benar paham apa yang sebenarnya sedang diperjuangkan dalam pendidikan kita ini.
Fakultas pendidikan negeri ini tak ubahnya mencetak para pekerja dunia pendidikan yang siap menambah pernak -- pernik dinamika peradaban bangsa. Menjadikan dunia pendidikan menjadi komoditi bagi para kapitalis.
Seorang sarjana yang lulus lalu menjadi guru, mengajar dengan metode yang baik dan benar sebagaimana yang pernah ia pelajari agar siswa mampu mengerjakan soal ujian dengan nilai sempurna kemudian pihak penyelenggara mendapat apresiasi. Demikian sederhananya definisi "berhasil" seorang sarjana pendidikan --yang diamini oleh mereka yang tidak merasa janggal.
Hal ini diperparah dengan siswa yang juga mempertanyakan materi yang mereka pelajari yang bahkan sama sekali tidak memberikan kontribusi nyata dalam kehidupannya. Tapi atas dasar "adat" atau kebiasaan yang ada bahwa anak yang pintar adalah mereka yang nilainya bagus di kelas, akhirnya pun siswa tetap mempelajari materi -- materi yang bahkan mereka sendiri tidak mampu menginternalisasikan ke dalam dirinya.
Dan ritual ini terus berlangsung hingga siswa -- siswa ini dewasa. Lalu menjadi oknum penyelenggara pendidikan, dan mengulangi ritual yang sama lagi.
Perlu adanya kesadaran bersama, pendidikan Indonesia ini terus merangkak ke arah yang lebih baik. Yang perlu kita optimalkan adalah kerjasama dari seluruh lapisan masyarakat, segenap bangsa Indonesia untuk mewujudnyatakan cita-cita yang mulia, untuk menjadi bangsa yang maju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H