Mohon tunggu...
Laila Tziporah
Laila Tziporah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Keunikan Novel "Bidadari-bidadari Surga" yang Pernah Naik Daun

22 Februari 2018   19:55 Diperbarui: 22 Februari 2018   20:05 1182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Novel Bidadari-bidadari Surga bertemakan kasih sayang dalam keluarga. Kata “keluaga” di sini tidak hanya merujuk pada lingkup saudara yang sedarah, tetapi juga pada saudara yang tidak sedarah yang terhubung oleh rasa kasih sayang yang tinggi. Sungguh banyak pelajaran yang dapat pembaca ambil dari novel ini, khususnya pelajaran kehidupan. 

Misalnya, pembaca belajar betapa indahnya hasil dari kerja keras dan didikan keluarga yang baik. Novel ini juga menunjukkan cinta kasih dan pengorbanan yang begitu tulus dari seorang kakak kepada adik-adiknya. Sebagai tambahan, novel ini juga mengisahkan ketangguhan seorang wanita dalam menghadapi kehidupannya sebagai perawan tua. 

Keperawanan wanita tersebut pun membuat adik-adiknya enggan untuk mendahului kakak mereka dalam perihal menikah walaupun mereka sudah lama memiliki calon pasangan. Namun, karena begitu besar kasih sayang wanita tersebut kepada adik-adiknya, ia terus memaksa adik-adiknya untuk segera menikah. Ia berusaha sekuat tenaga membuat adik-adiknya bahagia.

Cerita dikisahkan dengan alur campuran. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:

“Rasa haru itu menelisik lagi hatinya. Mengiris membusai perih di mata. Yashinta mengusap ujung-ujung matanya,... Dua puluh lima tahun silam. Kenangan-kenangan itu kembali sudah....

….

Pagi yang indah. Benar-benar pagi yang indah di Lembah Lahambay...

Ada apa? Yashinta menyeka matanya yang basah.…”

Pada bagian awal kutipan tersebut, kisah menceritakan keadaan salah satu tokoh novel, Yashinta, yang sudah dewasa. Frasa “dua puluh lima tahun silam” yang saya garis bawahi mengindikasikan kilas balik kehidupan Yashinta saat masih kecil. 

Kemudian, 2 kalimat terakhir yang juga saya garis bawahi menunjukkan bahwa Yashinta sudah menyelasaikan kilas baliknya, dan cerita pun kembali ke masa sebelum kilas balik tersebut, yaitu masa Yashinta dewasa. Bukti ini sudah sangat jelas menunjukkan alur campuran, di mana novel tersebut menceritakan kisah secara progresif terlebih dahulu, kemudian regresif, dan balik lagi secara progresif.

Novel Bidadari-bidadari Surga mengandung 5 tokoh utama, yakni Laisa, Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta. Setiap tokoh memliki keunikan masing-masing yang membuat cerita menarik dan penuh dengan warna. Laisa adalah seorang kakak sulung dari 4 orang adik, namun ia bukanlah kakak kandung mereka. Sedangkan, 4 adiknya saling memiliki hubungan darah.

 Laisa memiki watak penyayang dan rela berkorban. Buktinya bisa dilihat dalam 2 kutipan berikut:

“…Ia tidak tahu kalau sebenarnya Kak Laisa yang memutuskan mengalah untuk tidak sekolah agar adik-adiknya bisa sekolah.”

“…"Lais mohon.... Ya Allah, jangan ambil adik Lais — …"Lais mohon, ya Allah... Jika Engkau menginginkannya, biarkan Lais saja, biarkan Lais saja...."  Kalimat itu begitu ihklas terucap. Oleh rasa sayang yang tak terhingga.”

Laisa juga memiliki watak pekerja keras. Buktinya dapat dilihat dari kutipan berikut:

“…Dia yang melihat Kak Laisa bekerja keras terpanggang matahari di kebun jagung demi mereka….”

Laisa juga merupakan sosok yang tegas, seperti yang dapat dilihat dari kutipan-kutipan berikut:

“…Kak Laisa bertanya tegas…”

“… Laisa menggeleng tegas saat Dokter memaksanya untuk dirawat inap ….”

Selain itu, Kak Laisa juga cukup keras dan galak dalam mendidik adik-adiknya. Berikut adalah buktinya:

“… Di samping tentang teriakan 'kerja-keras', 'kerja-keras', 'kerja-keras' yang selalu diocehkan Kak Laisa saat galak melotot sambil memegang sapu lidi, memarahi mereka.”

“Kak Laisa mendesis galak, melangkah mendekat.…”

“Laisa melotot, menatap galak. Memberikan perintah.”

Tokoh yang kedua adalah Dalimunte. Dalimunte adalah kakak kedua dari 5 bersaudara. Watak yang sangat mencolok darinya adalah kepintarannya dan kegemarannya mengutak-ngatik dan menciptakan barang. Buktinya dapat dilihat dari kutipan berikut:

“Siapapun di lembah itu tahu persis, di sekolah Dalimunte dikenal sebagai anak yang paling pintar, meski sekolah ini benar-benar seadanya. Dan satu bakat besar milik Dalimunte …, dia suka sekali mengutak-atik sesuatu… Menciptakan alat-alat yang aneh….”

Dalimunte juga memiliki hati yang lembut, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut:

“Dalimunte   perlahan   menggeleng,   lembut   mengusap kuncir rambut putrinya. …”

“Dalimunte merubah posisi duduknya, bertanya lembut. …”

“Melepas genggaman mesra, berbisik lembut ke istrinya...”

Selain sifat-sifat di atas, Dalimunte memiliki sifat penurut dan sedikit tertutup.

Tokoh ketiga dan keempat adalah Wibisana dan Ikanuri. Wibisana merupakan urutan tertua ketiga dari 5 bersaudara, sedangkan Ikanuri adalah urutan keempat. Mereka berdua memiliki watak yang sangat mirip, sehingga sering terlihat seperti anak kembar. Mereka juga sangat kompak sejak mereka masih kecil, bahkan sampai dewasa. Umur mereka pun tidak beda jauh, hanya berbeda 11 bulan. Di antara 5 bersaudara, mereka berdua adalah anak-anak yang paling susah diatur. Mereka berdua pun sangat frontal dan memiliki ucapan yang sangat kasar dan sadis, apalagi si Ikanuri. Mereka juga merupakan anak-anak yang berani mengambil risiko. Sifat-sifat mereka tersebut dapat dilihat dari beberapa kutipan berikut:

“Wajah mereka berdua mirip sekali. Rambut. Matanya. Ekspresi wajah. Bahkan bekas luka kecil di dahi... Selain itu, nyaris 99,99% mirip, termasuk tinggi, lebar dan bentuk perawakan tubuh. Jadi seperti sepasang kembar kalau mereka berdiri berjajar. Padahal mereka sedikit pun tidak kembar, apalagi kembar identik. Mereka berdua hanya lahir di tahun yang sama, terpisahkan sebelas bulan. Yang satu beramur 34 tahun (Wibisana), yang satunya (Ikanuri) 33 tahun....”

"Kau bukan Kakak kami! Kenapa pula kami harus nurut"

Ikanuri mengatakannya sekali lagi. Lebih lantang. Lebih kencang. Beranjak berdiri, malah. Melawan semakin berani. "LIHAT! Kulit kau hitam. Tidak seperti kami, yang putih. Rambut kau gimbal, tidak seperti kami, lurus. Kau tidak seperti kami, tidak seperti Dalimunte dan Yashinta. KAU BUKAN KAKAK KAMI. Kau pendek! Pendek! Pendek!"..."

“Soal itu tidak usah ditanya lagi, meski ada Kak Laisa sekalipun Ikanuri dan Wibisana rajin bolos, apalagi jika Kak Laisa tidak ada. Lebih berani melawan. Tadi pagi sih mereka bertiga pamitan ke Mamak, memakai seragam, menuju sekolah di desa atas. Tapi baru tiba di pertigaan jalan bebatuan selebar tiga meter itu, Ikanuri dan Wibisana sudah kabur duluan, naik starwagoon tua yang kebetulan lewat ke kota kecamatan”

Tokoh keempat adalah perempuan yang cantik bernama Yashinta. Ia merupakan anak bungsu dari 5 bersaudara. Watak yang mencolok darinya adalah rasa ingin tahunya yang tinggi, apalagi tentang alam. Dia sangat mencintai alam, khususnya hewan-hewan. Yashinta juga merupakan sosok penyayang, cerdas, ambisius, dan memiliki cita-cita yang tinggi. Namun, di balik sifat baiknya tersebut, Yashinta merupakan wanita yang sangat keras kepala. Sangat sulit untuk mengubah pikiran Yashinta ketika ia sudah membuat keputusan. Contohnya, di antara ketiga saudaranya yang menikah, dia merupakan anak yang paling lama menikah (34 tahun) karena keputusannya yang dari awal tidak mendahului kakaknya untuk menikah. Padahal, sudah sejak lama, seorang lelaki menanti-nantikan Yashinta untuk menjadi pasangan hidupnya. Sebagai tambahan, ada 1 watak yang cukup unik darinya. Ia tidak begitu suka bergaul dengan laki-laki karena ia menganggap bahwa laki-laki hanya suka mencari perhatian kepada wanita yang cantik saja. Apalagi, ia beberapa kali melihat kakaknya tersakiti oleh laki-laki. Berikut merupakan bukti dari watak-watak Yashinta tersebut.

“Bukankah pernah dibilang sebelumnya, Yashinta tidak terlalu suka bergaul dengan teman-teman lelakinya. Gadis cantik itu dalam kasus tertentu malah membenci kolega lelaki. Benci melihat kelakuan mereka yang sibuk mencari perhatian. Apakah mereka akan tetap sibuk mencari perhatian jika wajah dan fisiknya seperti Kak Laisa? Bah! Mereka hipokrit sejati. Nah, ditambah tingkah Goughsky yang suka mentertawakan, menyeringai kepadanya seperti sedang menghadapi anak kecil yang bandel dan keras kepala, kebencian Yashinta bertumpuk-tumpuk sudah.”

“Itulah masalahnya. Yashinta sejak kecil Sudah keras kepala. Dan penyakit orang keras kepala adalah jika sejak awal ia tidak suka, maka seterusnya ia akan memaksa diri untuk tidak suka. Tidak rasional. Seringkali perdebatan (pertengkaran) mereka sebenarnya karena kesalahan Yashinta.”

“"Yang keren tuh lihat Harimau. Kemarin aku dan Ikanuri sempat lihat satu di atas Gunung Kendeng—" "Ah-ya, harimau. Benar. Itu baru lucu. Malah anak-anknya ada enam, Yash. Lebih banyak. Lucu-lucu banget— " "Iya, Kak? Harimau beneran?" 

Gerakan tangan Yashinta yang sedang mengenakan tas kecilnya terhenti. Matanya membulat. Bertanya ingin-tahu.”

“Lembut jemari Yashinta mengusap wajah Kak Laisa....  Yashinta, sejak sekecil itu sudah amat menghargai Kak Laisa... Apapun jawabannya, Kak Laisa tetap menjadi kakaknya”

Kisah dalam novel ini kebanyakan berlatar tempat di Lembah Lahambai. Tempat ini cukup jauh dari perkotaan dan tanahnya masih banyak dijadikan lahan pertanian dan perkebunan. Rumah penduduk juga sangat dekat dengan hutan yang masih menampung binatang-binatang buas, seperti harimau. Oleh karena itu, banyak penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani; pencari kumbang, rotan, dan damar; dan penjual hewan-hewan tertentu, seperti burung, kukang, dan lain-lain. Mitos. Pernyataan tentang latar tempat ini dapat dibuktikan melalui kutipan-kutipan berikut:

“Terselip disana-sini, ada sekitar empat perkampungan radius sepuluh kilo di Lembah Lahambay… Perkampungan mereka... Sungai besar yang ada di bawah kampung terpisah oleh dinding cadas.... disini penduduk menanam sawah tadah hujan, bukan bercocok-tanam dengan sawah irigasi. Mereka hanya berharap pada siklus kebaikan langit. Selebihnya bekerja mencari rotan, damar, kumbang hutan, hingga belakangan menjual burung, kukang, jangkrik, dan apa saja yang laku di kota kecamatan.”

“"Yang keren tuh lihat Harimau. Kemarin aku dan Ikanuri sempat lihat satu di atas Gunung Kendeng—"”

Waktu yang mendominasi dalam kisah novel ini adalah malam dan pagi hari. Malam hari mendominasi karena biasanya, pada malam harilah peristiwa genting dan membahayakan terjadi, mulai dari meninggalnya ayah kandung 4 bersaudara (Dalimunte, Wibisana, Ikanuri, dan Yashinta) karena diterkam harimau, kejadian Yashinta yang mendadak kejang-kejang di tengah kesulitan mencari bantuan medis di malam hari, sampai peristiwa hilangnya Wibisana dan Ikanuri. Selain itu, pada malam harilah para tokoh biasanya merenungi peristiwa-peristiwa besar sebelumnya.  Hal-hal tersebut terbukti melalui kutipan-kutipan berikut:

“Ia menyaksikan sendiri dengan mata-kepalanya. Babak mereka dibawa pulang dari hutan persis saat semburat jingga pagi tiba. Setelah pencarian enam jam tanpa henti. Setelah hutan rimba. Muka yang robek tak berbentuk. Tubuh yang tercabik-cabik itu dibawa pulang. Sudah tak bernafas. Babak diterkam penguasa rimba, sang siluman, itulah nama seram menakutkan harimau Gunung Kendeng….”

“Pukul 19.30. Tegang sekali. Pukul 20.00, Mamak Lainuri akhirnya menyererah. Sejengkel apapun ia dengan Ikanuri dan Wibisana, dawai kecemasannya sudah berdenting terlalu tinggi. Ia menyambar obor di depan pintu. Melangkah cepat ke rumah Wak Burhan.... Dua anaknya belum pulang.”

Pagi hari mendominasi waktu yang diterakan oleh penulis karena penulis mencoba menggambarkan kekhasan dan keindahan Lembah Lahambai dan tempat alam lainnya (seperti gunung tempat Yashinta mengobservasi dan memotret) di saat kabut masih tebal, angin dingin berderu, langit masih biru, dan matahari masih baru menunjukkan diri. Buktinya dapat dilihat dari kutipan-kutipan berikut:

“…Angin pagi bertiup pelan. Terasa begitu menyenangkan… Yashinta mengusap dahinya. Menatap langit pagi yang membiru. Gumpalan halimun. Ya Allah, ini sama persis seperti di lembah itu….”

“Lembah Lahambay selalu terbungkus kabut di pagi hari, ketika kehidupan di rumahrumah mulai menyeruak sejak kumandang adzan shubuh dari surau. Asap putih mengepul dari dapur. Melukis langit-langit lembah….”

Berkaitan dengan latar tempat yang berada jauh dari kota, banyak dari penduduknya memiliki pendidikan yang cukup rendah. Akibatnya, seperti yang sudah dibahas sebelumnya, banyak penduduk yang bekerja sebagai petani dan pencari sumber daya alam dari hutan yang dapat dijual ke kota kecamatan. Penduduk Lembah Lahambai juga memiliki empati dan rasa gotong royong yang sangat tinggi. Mereka sering bekerjama untuk menyelesaikan masalah-masalah, bahkan masalah sekelompok kecil orang-orang tertentu. Selain itu, penduduk juga dikisahkan tidak terlalu memanfaatkan teknologi untuk melakukan hal-hal yang sederhana bagi mereka. Banyak dari mereka juga masih percaya dengan mitos dan familiar dengan legenda. Kutipan-kutipan berikut adalah buktinya.

“Sudah pukul tiga. Laisa dan penduduk kampung terlatih sekali membaca jam dari gerakan matahari dan bayangan pepohonan.”

“Atas kejadian itu, harimau kemudian disebut sang siluman, karena mencuri sembunyisembunyi anak kecil. Sejak hari itu juga, kata-kata puyang (atau kakek) disematkan kepada harimau. Karena legenda itu mewariskan pemahaman bahwa harimau yang ada di puncak gunung sekarang tidak lain adalah kakek-kakek (anak-anak) mereka dulu yang dicuri.”

Dalam mengisahkan ceritanya dalam novel Bidadari-Bidadari Surga, penulis menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai pelaku sampingan. Ini mengartikan bahwa tokoh aku termaktub dalam novel ini, namun bukan sebagai tokoh utama. Tokoh aku hanya termaktub dalam bab terakhir novel ini. Berikut adalah kutipannya:

“Lantas apa peranku dalam cerita ini? Aku hanya saksi hidup.”

Menurut beberapa sumber, Tere Liye sebagai penulis novel ini memiliki kepribadian yang sederhana. Kepribadian ini bisa disangkutkan dengan gaya penulisannya yang sederhana dan tidak terlalu banyak menggunakan kata-kata yang gaul. Kemudian, beberapa bagian dari kisah novelnya menjelaskan beberapa fakta sains. Dapat disimpulkan bahwa hal ini memiliki relasi dengan pendidikan penulis yang cukup tinggi, yakni lulusan mahasiswa tingkat sarjana. Kutipan berikut menggambarkan teknik penyampaian dan gaya Bahasa yang digunakan oleh Tere Liye.

“Meninggalkan berlarik tanya dari lima ratus peserta simposium internasional fisika itu. Bagaimana dengan gelombang elektromagnetik tadi?”

Dari artikel yang berjudul Mengenal Lebih Dekat Sosok Tere Liye-Biografi Penulis Novel Terkenal yang ditulis oleh Rizka Damayanti, Tere Liye beragama Islam. Sebab itu, tidak heran Tere Liye banyak sekali mencantumkan nilai-nilai agama Islam dalam novel tersebut. Yang lebih uniknya lagi, ia menyangkutpautkan fakta-fakta sains dengan kebenaran agama Islam. Dalam novel, tokoh Dalimunte percaya bahwa kebenaran agama Islam adalah mutlak. Oleh karena itu, tokoh Dalimunte melakukan penelitian untuk membuktikan kebenaran yang ia percayai dan menyebarkan hasil-hasil penelitian tersebut kepada khalayak umum, padahal masyarakat pada zaman dalam kisah novel tersebut sudah banyak yang mengabaikan fakta-fakta dalam agama. Contohnya dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“".... Seperti yang telah kalian baca di jurnal tersebut bulan dibelah dua sudah menjadi fakta religius ratusan tahun silam. Salah-satu mukjijat Nabi penutup jaman. Ada banyak perdebatan, ada banyak penelitian yang justru mencoba membuktikan kalau itu semua keliru. Ternyata tidak. Keajaiban itu memang pernah terjadi! — Bagaimana mungkin ada satu potongan translasi religius yang keliru? Kitab suci keliru? Hadist yang salah? Sungguh lelucon yang tidak lucu. Itu tidak mungkin terjadi!"”

Fakta lain mengenai kehidupan penulis yang dapat disangkutpautkan dengan kisah novel ini adalah tempat tinggal dan pekerjaan ayah penulis. Tere Liye terlahir di pedalaman Sumatera, dan ayahnya merupakan seorang petani. Sangat wajarlah Tere Liye dengan sangat jelas menggambarkan kehidupan penduduk kampong yang tinggal jauh dari kota.

Itulah beberapa fakta dan uraian mengenai novel Bidadari-Bidadari Surgadan penulis novel tersebut. Semoga bermanfaat dan menambah ketertarikan Anda dalam membaca novel tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun