Tokoh yang kedua adalah Dalimunte. Dalimunte adalah kakak kedua dari 5 bersaudara. Watak yang sangat mencolok darinya adalah kepintarannya dan kegemarannya mengutak-ngatik dan menciptakan barang. Buktinya dapat dilihat dari kutipan berikut:
“Siapapun di lembah itu tahu persis, di sekolah Dalimunte dikenal sebagai anak yang paling pintar, meski sekolah ini benar-benar seadanya. Dan satu bakat besar milik Dalimunte …, dia suka sekali mengutak-atik sesuatu… Menciptakan alat-alat yang aneh….”
Dalimunte juga memiliki hati yang lembut, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut:
“Dalimunte perlahan menggeleng, lembut mengusap kuncir rambut putrinya. …”
“Dalimunte merubah posisi duduknya, bertanya lembut. …”
“Melepas genggaman mesra, berbisik lembut ke istrinya...”
Selain sifat-sifat di atas, Dalimunte memiliki sifat penurut dan sedikit tertutup.
Tokoh ketiga dan keempat adalah Wibisana dan Ikanuri. Wibisana merupakan urutan tertua ketiga dari 5 bersaudara, sedangkan Ikanuri adalah urutan keempat. Mereka berdua memiliki watak yang sangat mirip, sehingga sering terlihat seperti anak kembar. Mereka juga sangat kompak sejak mereka masih kecil, bahkan sampai dewasa. Umur mereka pun tidak beda jauh, hanya berbeda 11 bulan. Di antara 5 bersaudara, mereka berdua adalah anak-anak yang paling susah diatur. Mereka berdua pun sangat frontal dan memiliki ucapan yang sangat kasar dan sadis, apalagi si Ikanuri. Mereka juga merupakan anak-anak yang berani mengambil risiko. Sifat-sifat mereka tersebut dapat dilihat dari beberapa kutipan berikut:
“Wajah mereka berdua mirip sekali. Rambut. Matanya. Ekspresi wajah. Bahkan bekas luka kecil di dahi... Selain itu, nyaris 99,99% mirip, termasuk tinggi, lebar dan bentuk perawakan tubuh. Jadi seperti sepasang kembar kalau mereka berdiri berjajar. Padahal mereka sedikit pun tidak kembar, apalagi kembar identik. Mereka berdua hanya lahir di tahun yang sama, terpisahkan sebelas bulan. Yang satu beramur 34 tahun (Wibisana), yang satunya (Ikanuri) 33 tahun....”
"Kau bukan Kakak kami! Kenapa pula kami harus nurut"
Ikanuri mengatakannya sekali lagi. Lebih lantang. Lebih kencang. Beranjak berdiri, malah. Melawan semakin berani. "LIHAT! Kulit kau hitam. Tidak seperti kami, yang putih. Rambut kau gimbal, tidak seperti kami, lurus. Kau tidak seperti kami, tidak seperti Dalimunte dan Yashinta. KAU BUKAN KAKAK KAMI. Kau pendek! Pendek! Pendek!"..."
“Soal itu tidak usah ditanya lagi, meski ada Kak Laisa sekalipun Ikanuri dan Wibisana rajin bolos, apalagi jika Kak Laisa tidak ada. Lebih berani melawan. Tadi pagi sih mereka bertiga pamitan ke Mamak, memakai seragam, menuju sekolah di desa atas. Tapi baru tiba di pertigaan jalan bebatuan selebar tiga meter itu, Ikanuri dan Wibisana sudah kabur duluan, naik starwagoon tua yang kebetulan lewat ke kota kecamatan”
Tokoh keempat adalah perempuan yang cantik bernama Yashinta. Ia merupakan anak bungsu dari 5 bersaudara. Watak yang mencolok darinya adalah rasa ingin tahunya yang tinggi, apalagi tentang alam. Dia sangat mencintai alam, khususnya hewan-hewan. Yashinta juga merupakan sosok penyayang, cerdas, ambisius, dan memiliki cita-cita yang tinggi. Namun, di balik sifat baiknya tersebut, Yashinta merupakan wanita yang sangat keras kepala. Sangat sulit untuk mengubah pikiran Yashinta ketika ia sudah membuat keputusan. Contohnya, di antara ketiga saudaranya yang menikah, dia merupakan anak yang paling lama menikah (34 tahun) karena keputusannya yang dari awal tidak mendahului kakaknya untuk menikah. Padahal, sudah sejak lama, seorang lelaki menanti-nantikan Yashinta untuk menjadi pasangan hidupnya. Sebagai tambahan, ada 1 watak yang cukup unik darinya. Ia tidak begitu suka bergaul dengan laki-laki karena ia menganggap bahwa laki-laki hanya suka mencari perhatian kepada wanita yang cantik saja. Apalagi, ia beberapa kali melihat kakaknya tersakiti oleh laki-laki. Berikut merupakan bukti dari watak-watak Yashinta tersebut.
“Bukankah pernah dibilang sebelumnya, Yashinta tidak terlalu suka bergaul dengan teman-teman lelakinya. Gadis cantik itu dalam kasus tertentu malah membenci kolega lelaki. Benci melihat kelakuan mereka yang sibuk mencari perhatian. Apakah mereka akan tetap sibuk mencari perhatian jika wajah dan fisiknya seperti Kak Laisa? Bah! Mereka hipokrit sejati. Nah, ditambah tingkah Goughsky yang suka mentertawakan, menyeringai kepadanya seperti sedang menghadapi anak kecil yang bandel dan keras kepala, kebencian Yashinta bertumpuk-tumpuk sudah.”
“Itulah masalahnya. Yashinta sejak kecil Sudah keras kepala. Dan penyakit orang keras kepala adalah jika sejak awal ia tidak suka, maka seterusnya ia akan memaksa diri untuk tidak suka. Tidak rasional. Seringkali perdebatan (pertengkaran) mereka sebenarnya karena kesalahan Yashinta.”
“"Yang keren tuh lihat Harimau. Kemarin aku dan Ikanuri sempat lihat satu di atas Gunung Kendeng—" "Ah-ya, harimau. Benar. Itu baru lucu. Malah anak-anknya ada enam, Yash. Lebih banyak. Lucu-lucu banget— " "Iya, Kak? Harimau beneran?"
Gerakan tangan Yashinta yang sedang mengenakan tas kecilnya terhenti. Matanya membulat. Bertanya ingin-tahu.”
“Lembut jemari Yashinta mengusap wajah Kak Laisa.... Yashinta, sejak sekecil itu sudah amat menghargai Kak Laisa... Apapun jawabannya, Kak Laisa tetap menjadi kakaknya”
Kisah dalam novel ini kebanyakan berlatar tempat di Lembah Lahambai. Tempat ini cukup jauh dari perkotaan dan tanahnya masih banyak dijadikan lahan pertanian dan perkebunan. Rumah penduduk juga sangat dekat dengan hutan yang masih menampung binatang-binatang buas, seperti harimau. Oleh karena itu, banyak penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani; pencari kumbang, rotan, dan damar; dan penjual hewan-hewan tertentu, seperti burung, kukang, dan lain-lain. Mitos. Pernyataan tentang latar tempat ini dapat dibuktikan melalui kutipan-kutipan berikut:
“Terselip disana-sini, ada sekitar empat perkampungan radius sepuluh kilo di Lembah Lahambay… Perkampungan mereka... Sungai besar yang ada di bawah kampung terpisah oleh dinding cadas.... disini penduduk menanam sawah tadah hujan, bukan bercocok-tanam dengan sawah irigasi. Mereka hanya berharap pada siklus kebaikan langit. Selebihnya bekerja mencari rotan, damar, kumbang hutan, hingga belakangan menjual burung, kukang, jangkrik, dan apa saja yang laku di kota kecamatan.”
“"Yang keren tuh lihat Harimau. Kemarin aku dan Ikanuri sempat lihat satu di atas Gunung Kendeng—"”
Waktu yang mendominasi dalam kisah novel ini adalah malam dan pagi hari. Malam hari mendominasi karena biasanya, pada malam harilah peristiwa genting dan membahayakan terjadi, mulai dari meninggalnya ayah kandung 4 bersaudara (Dalimunte, Wibisana, Ikanuri, dan Yashinta) karena diterkam harimau, kejadian Yashinta yang mendadak kejang-kejang di tengah kesulitan mencari bantuan medis di malam hari, sampai peristiwa hilangnya Wibisana dan Ikanuri. Selain itu, pada malam harilah para tokoh biasanya merenungi peristiwa-peristiwa besar sebelumnya. Hal-hal tersebut terbukti melalui kutipan-kutipan berikut:
“Ia menyaksikan sendiri dengan mata-kepalanya. Babak mereka dibawa pulang dari hutan persis saat semburat jingga pagi tiba. Setelah pencarian enam jam tanpa henti. Setelah hutan rimba. Muka yang robek tak berbentuk. Tubuh yang tercabik-cabik itu dibawa pulang. Sudah tak bernafas. Babak diterkam penguasa rimba, sang siluman, itulah nama seram menakutkan harimau Gunung Kendeng….”
“Pukul 19.30. Tegang sekali. Pukul 20.00, Mamak Lainuri akhirnya menyererah. Sejengkel apapun ia dengan Ikanuri dan Wibisana, dawai kecemasannya sudah berdenting terlalu tinggi. Ia menyambar obor di depan pintu. Melangkah cepat ke rumah Wak Burhan.... Dua anaknya belum pulang.”
Pagi hari mendominasi waktu yang diterakan oleh penulis karena penulis mencoba menggambarkan kekhasan dan keindahan Lembah Lahambai dan tempat alam lainnya (seperti gunung tempat Yashinta mengobservasi dan memotret) di saat kabut masih tebal, angin dingin berderu, langit masih biru, dan matahari masih baru menunjukkan diri. Buktinya dapat dilihat dari kutipan-kutipan berikut:
“…Angin pagi bertiup pelan. Terasa begitu menyenangkan… Yashinta mengusap dahinya. Menatap langit pagi yang membiru. Gumpalan halimun. Ya Allah, ini sama persis seperti di lembah itu….”
“Lembah Lahambay selalu terbungkus kabut di pagi hari, ketika kehidupan di rumahrumah mulai menyeruak sejak kumandang adzan shubuh dari surau. Asap putih mengepul dari dapur. Melukis langit-langit lembah….”
Berkaitan dengan latar tempat yang berada jauh dari kota, banyak dari penduduknya memiliki pendidikan yang cukup rendah. Akibatnya, seperti yang sudah dibahas sebelumnya, banyak penduduk yang bekerja sebagai petani dan pencari sumber daya alam dari hutan yang dapat dijual ke kota kecamatan. Penduduk Lembah Lahambai juga memiliki empati dan rasa gotong royong yang sangat tinggi. Mereka sering bekerjama untuk menyelesaikan masalah-masalah, bahkan masalah sekelompok kecil orang-orang tertentu. Selain itu, penduduk juga dikisahkan tidak terlalu memanfaatkan teknologi untuk melakukan hal-hal yang sederhana bagi mereka. Banyak dari mereka juga masih percaya dengan mitos dan familiar dengan legenda. Kutipan-kutipan berikut adalah buktinya.
“Sudah pukul tiga. Laisa dan penduduk kampung terlatih sekali membaca jam dari gerakan matahari dan bayangan pepohonan.”
“Atas kejadian itu, harimau kemudian disebut sang siluman, karena mencuri sembunyisembunyi anak kecil. Sejak hari itu juga, kata-kata puyang (atau kakek) disematkan kepada harimau. Karena legenda itu mewariskan pemahaman bahwa harimau yang ada di puncak gunung sekarang tidak lain adalah kakek-kakek (anak-anak) mereka dulu yang dicuri.”
Dalam mengisahkan ceritanya dalam novel Bidadari-Bidadari Surga, penulis menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai pelaku sampingan. Ini mengartikan bahwa tokoh aku termaktub dalam novel ini, namun bukan sebagai tokoh utama. Tokoh aku hanya termaktub dalam bab terakhir novel ini. Berikut adalah kutipannya:
“Lantas apa peranku dalam cerita ini? Aku hanya saksi hidup.”
Menurut beberapa sumber, Tere Liye sebagai penulis novel ini memiliki kepribadian yang sederhana. Kepribadian ini bisa disangkutkan dengan gaya penulisannya yang sederhana dan tidak terlalu banyak menggunakan kata-kata yang gaul. Kemudian, beberapa bagian dari kisah novelnya menjelaskan beberapa fakta sains. Dapat disimpulkan bahwa hal ini memiliki relasi dengan pendidikan penulis yang cukup tinggi, yakni lulusan mahasiswa tingkat sarjana. Kutipan berikut menggambarkan teknik penyampaian dan gaya Bahasa yang digunakan oleh Tere Liye.
“Meninggalkan berlarik tanya dari lima ratus peserta simposium internasional fisika itu. Bagaimana dengan gelombang elektromagnetik tadi?”