Mohon tunggu...
Lailatul Q
Lailatul Q Mohon Tunggu... Freelancer - blogger

Guru, Blogger, Traveller

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibu, Aku, dan Lelaki Tambun

21 Agustus 2021   17:24 Diperbarui: 21 Agustus 2021   17:24 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka menjadi akrab. Nyamuk yang menggigit betisku, kubiarkan saja karena aku melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah kayu itu. 

Si perempuan berdiri dan ibu hanya menoleh sebentar; seorang laki-laki bercelana dengan perut buncit menyembul turun dari mobil. 

Sekilas ia mirip bapak, atau mungkin umurnya saja yang mirip, atau mukanya yang lebar, atau rambutnya yang mulai uban, tapi tidak mirip karena bapak tidak tertawa keras seperti itu. 

Laki-laki menggandeng ibu masuk ke rumah kayu, si perempuan duduk di bangku dengan sebatang rokok di kedua jarinya, asapnya melayang naik lurus lalu meliuk di depan mulutnya. 

Aku diam saja meskipun nyamuk-nyamuk di betis mulai ramai berdatangan, bunyinya terdengar melengking-lengking di telinga yang kosong karena pikiranku kosong, aku tidak bisa berpikir sesuatu apa tentang ibu. 

Selang beberapa waktu, laki-laki itu keluar tidak bersama ibu, ia memberikan beberapa lembar uang kepada si perempuan yang sudah menyulut rokoknya entah berapa kali. 

Si perempuan tersenyum dan si laki-laki tertawa mengguncang perutnya, lalu kudengar "Terimakasih, Om Hartono. Kapan lagi?" kata si perempuan yang dijawab dengan lambaian saja. Mobil pergi dan ibu sudah di luar lagi, aku pulang hati-hati karena perutku sudah kuruyuk sejak tadi.

Suhartono datang menemuiku di  rumahku yang tak berkunci itu, ia menenteng satu plastik hitam dan bertanya di mana ibu? Kujawab, "Di sumur samping rumah," lalu ia berjalan menuju sumur, plastiknya ia tinggalkan begitu saja di lantai sebelah kakiku, aku tidak berani menyentuhnya. Aku mengambil kembali mainan ranting kayuku yang---kuanggap boneka---sempat terjatuh, aku memungutnya dengan pikiran yang kosong seperti tempo hari. Aku mendengar suara ibu tertawa dan laki-laki itu bersuara juga entah apa, mereka lalu masuk ke tempat tidurku dan ibu dengan pakaian ibu yang setengah basah karena sedang mencuci. Lalu kudengar suara yang aku tak tahu harus memaknainya apa, aku masih saja berdiri di tempat plastik itu berada, tangaku masih memegang ranting boneka mainan yang kubuat sendiri yang dulu diajari ibu yang katanya nanti akan tumbuh rambut sendiri kalau aku rajin merawatnya lalu aku bisa mengikat rambutnya. Aku tahu rambut yang diceritakan ibu tidak akan pernah tumbuh, aku juga tahu ranting itu bukan boneka, tapi kuanggap saja ia boneka agar ibu senang. Suhartono keluar dari kamarku dan menghampiriku, katanya, "Mainan itu untukmu dan ibumu adalah mainanku," ia tertawa mengguncang perutnya sampai cairan muncrat dari mulutnya yang lebar, ia memberikan plastik itu kepadaku, lalu pergi dengan bajunya yang tersampir di Pundak. Ibu kemudian menghamipiriku, membuka plastik hitam itu, lalu memberikan boneka berambut kepadaku; boneka yang dapat kuikat rambutnya. Aku merasa bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun