Tetapi, acara petik laut ini mengandung simpang siur yang berupa pendapat dari beberapa para tokoh ulama, salah satu nya adalah pendapat dari :Â
Muhammadiyah  yang mengatakan bahwa hukum Petik Laut diperbolehkan asalkan penegakannya tidak menghasilkan pelaksanaan yang mendekati syirik.Â
Perwakilan NU berpendapat bahwa hukum tentang Petik Laut tidak boleh dilaksanakan karena mengandung unsur Tabzir dalam pelaksanaannya dan dikhawatirkan akan menimbulkan perkara yang mendekati syirik.
Tokoh Muhammadiyah dan tokoh NU memiliki kesamaan dalam hal pendapatnya yakni sama-sama mengatakan tidak boleh jika dalam praktiknya menimbulkan keyakinan yang dekat dengan syirik karena menurut mereka Tuhan tidak suka dengan orang-orang yang mendekati perbuatan seperti itu.Â
Ada beberapa pendapat yang berasal dari sudut pandang yang berbeda salah satunya adalah pendapat dari tokoh  Muhammadiyah yang lain dia mengatakan bahwa hukum Petik Laut itu boleh karena dapat dijadikan sebagai momen dakwah yang dikenakan pada Maulid Nabi ketika acara petik lautnya dilakukannya karena ada beberapa petik laut yang harus menggunakan ceramah diacaranya Agat semakin barakah dalam mencari rejeki. Untuk laut menyimpan banyak masalah, sementara pengurus NU yang lain masih menganggap tidak diperbolehkan karena banyak tabzir tentang pelaksanaannya dan takut diyakini mendekati syirik.Â
Jadi dapat disimpulkan dari masing-masing pendapat ini adalah jika Muhammadiyah boleh asalkan dijadikan sebagai momen yang positif sebagai dakwah. Tetapi menurut Pengurus NU tidak diperbolehkan dengan dasae tabzir, karena hal ini akan mendekati syirik boleh dilakukan asal hal yang mengandung tabzir dihilangkan.Â
Pengalaman dari sehari-hari para nelayan di laut ada tiga praktik keagamaan yaitu dimensi Tauhid, kehidupan sosial, dan ibadah atau keagamaan. Dimensi Tauhid berarti dari kehidupan nelayan mengalami perubahan kedalam sesajen. Jika dimensi kehidupan sosial dikonstruksi dari Muhammadiyah ke NU. Jika dimensi ibadah atau keagamaan berarti para nelayan menjalankan ibadah sholat, puasa, dan beberapa ke orang pintar yang bentuknya atas hasil interaksi antara kehidupan sosial dengan sehari-harinya. Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) Ustadz H Mahbub Ma'afi Ramdan menjelaskan logika putusan hasil Muktamar NU Ke-5 di Pekalongan pada 13 Rabiuts Tsani 1349 H/7 September 1930 M perihal perayaan untuk memperingati jin penjaga desa/sedekah bumi. Ustadz Mahbub mengatakan bahwa para kiai NU pada forum itu memutuskan perihal sedekah bumi bahwa upacara adat seperti demikian adalah haram dalam agama.Â
Putusan menurutnya ini dikenal dengan acara upacara sedekah laut atau karungan. Dia juga mengatakan bahwa putusan haram ini didapat dari beberapa forum pertanyaan dari para kiai juga, tapi beliau juga mengatakan bahwa jawabannya ini harus bisa dipahami jangan langsung mengambil keputusan. "Ya karena deskripsi seperti itu. Jawaban atau putusan forum bahtsul masail itu bergantung sekali pada deskripsinya," kata Ustadz Mahbub Ma'afi Ramdan kepada NU Online di Jakarta.Â
Disini juga ada pertanyaan dari forum tersebut salah satunya adalah "Bagaimana hukumnya mengadakan festival dan hajatan untuk mengharapkan keberuntungan dan keselamatan, dan terkadang ada hal-hal buruk. Nama festival itu adalah "Sedekah Bumi", itulah yang dilakukan penduduk desa karena ini sudah ada sejak jaman dahulu?" "Jawab: Kegiatan seperti itu haram." Ad-Diniyyah Al-Maudhu'iyyah LBM PBNU Pengurus Komisi Bahtsul Maasai menambahkan, situasi di lapangan yang dijabarkan dalam rumusan masalah sangat menentukan respon kiai forum Bahtsul Maasai. Ia mengatakan, keputusan dan tanggapan sedekah di forum Muktamar NU akan berbeda jika rumusan masalah yang disampaikan kepada para kiai berbeda.
"Bahkan jika diputuskan haram, apakah keterangan (tahqiqul manath) yang disampaikan dalam forum ini sesuai dengan kondisi dan keadaan setempat. Jika fakta-fakta yang terkandung dalam keputusan tidak terbukti, maka upacara Petik Laut atau sedekah yang disebutkan dalam keputusan Muktamar berbeda dengan upacara adat yang ada di masyarakat. Karena berbeda, maka tentu hukumnya berbeda lagi," ujar Ustadz Mahbub.
Jadi, semua pendapat ini dapat disimpulkan bahwa haram atau tidaknya adat ini tergantung pada kepercayaan masing-masing individu. Karena Pendapat orang itu tergantung dari perspektif masing-masing individu, apalagi sifatnya subjektif. Tulisan ini diharapkan untuk memberikan sebuah informasi kepada masyarakat luas tentang kebudayaan Petik Laut menurut pandangan Islam.