Mohon tunggu...
Lailanurfat
Lailanurfat Mohon Tunggu... Petani - Bertani

Memperkaya pengalaman dengan berinteraksi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Transfer AgriTech Industri 4.0 melalui Pertanian Kolaborasi

18 Mei 2019   14:45 Diperbarui: 18 Mei 2019   14:45 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena pemuda usia produktif tidak tertarik menjadi petani, merupakan salah satu permasalahan yang sedang hectic dicarikan solusi. Sebenarnya hal ini merupakan sesuatu yang lumrah, mengingat prestige sebagai petani itu masih dianggap rendah. Hampir semua orang termasuk petani kita masih menjunjung tinggi gengsi, kan? Tentu saja itu mendorong para petani kita bekerja keras menyekolahkan anaknya, supaya memiliki kehidupan lebih baik, yang berarti tidak menjadi petani lagi.

Selain itu alasan yang sering dijadikan tameng adalah ketidakpastian hasil yang didapatkan. Istilahnya lak untung yo nglambeni, nak lagi buntung yo ngudani. Artinya, ketika hasil panenya menguntungkan dapat menjadi 'baju yang baik' dan ketika sedang merugi ya benar-benar menghabiskan biaya, sampai diistilahkan dapat menelanjangi.

Pertanian masa kini juga semakin dihantui dengan musim yang sulit diprediksi. Jika dulu bisa memastikan kapan masuk apitan, tigo, atau rendeng (dalam kalender Jawa), sekarang mana bisa? Dikiranya tigo, eh ternyata hujan melulu setiap hari, banjir dimana-mana, tidak maksimal lagi hasilnya atau malah dalam kondisi parah menyebabkan gagal panen. Belum lagi, masalah saprodi yang mahal dan pasokan pupuk yang sering telat pada saat musim memupuk, juga menjadi kesulitan tersendiri bagi petani-petani di lapangan.

Banyaknya permasalahan yang mesti dipanggul ini tentu saja semakin menurunkan minat para pemuda untuk bekerja di sawah. Jangankan pemuda desa yang merasa bekerja di pabrik lebih mendapat banyak gaji, para sarjana pertanian yang seharusnya menjadi leader untuk mengembangkan pertanian Indonesia saja, sebagian besar memilih untuk keluar dari zona tersebut. Mereka lebih suka mencari kerja di industri dan mengucapkan selamat tinggal pada teori ndakik ndakik yang diajarkan selama perkuliahan.

Lalu bagaimana?

Hal pertama yang perlu dilakukan sebenarnya adalah menaikkan gengsi bekerja di pertanian. Cangkul dan sabit bukan hal yang membanggakan untuk dijadikan alat tempur. Karena sekarang menenteng laptop jauh lebih keren daripada itu. Artinya apa? Pertanian masa kini perlu melek teknologi. Lebih lagi sekarang sudah memasuki era industri 4.0. Disampaikan oleh Fadjry Djufry, Kepala Balitbangtan bahwa badan litbang pertanian siap berkontribusi dalam memformulasikan strategi beradaptasi dan bertransformasi menuju industri 4.0 (dilansir oleh mediaindonesia.com).

Nah, ketika pemerintah sudah siap untuk mengawal strategi menuju industri 4.0 dengan menggelontorkan anggaran besar perihal bantuan mekanisasi pertanian, mari kita bahas implementasinya di lapangan. Pasalnya, petani kita terutama yang sudah sepuh-sepuh ini sedikit agak tertutup terhadap perubahan. Kebanyakan dari mereka bertani dengan prinsip "cara baik dari masa lalu". Sehingga sedikit menjadi pekerjaan rumah dalam hal mengubah pradigma ini. Disinilah diperlukan sentuhan pihak luar petani yang mampu mempengaruhi petani.

Alat transfer teknologi yang sebenarnya cukup bagus diterapkan di kalangan petani adalah contract farming atau bekerja sama dengan badan usaha (biasanya berskala besar) secara kontrak. Model ini sudah banyak dikembangkan dalam perkebunan seperti tebu, atau juga dalam industri produksi benih. Sebenarnya kalau lebih jeli, sistem ini bisa menjadi salah satu akses kepada petani kecil untuk melakukan modernisasi. Kenapa? Karena dalam contract farming badan usaha menyediakan fasilitas kepada petani seperti input produksi, supervisi oleh teknisi, kredit, dan adanya peminjaman atau penyewaan mesin pertanian modern, selain output produk yang dibeli.

Pihak-pihak yang bisa menjadi badan usaha tersebut bisa milik pemerintah, swasta, atau sekarang yang sedang banyak dikembangkan adalah binaan start up -- start up pertanian. Kolaborasi dengan pihak luar ini sangat memungkinkan untuk meningkatkan minat petani karena resiko kerugiannya lebih kecil bagi petani. Model ini memberikan jaminan harga meskipun sedang panen raya, sehingga petani tidak harus menerima harga terendah seperti sebelum-sebelumnya. Dengan kata lain, contract farming dapat dijadikan salah satu langkah untuk memberdayakan petani sekaligus transfer teknologi, yang memiliki multiplier effect meningkatkan pendapatan petani.

Nah, untuk memulai pada petani yang sebagian close minded, model apapun tentu saja tidak bisa serta merta diterapkan begitu saja. Mereka butuh bukti terlebih dahulu baru mungkin mau mencoba. Strategi yang bisa diterapkan adalah memanfaatkan bengkok (bagian sawah sebagai bentuk lain tunjangan) milik perangkat desa. Lahan-lahan tersebut bisa dijadikan demplot untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat sekaligus bukti bahwa penggunaan mesin produksi yang lebih modern dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas output.

Dengan begini, para petani akan mendapat pandangan hasil dan perlahan menghadapi kompetisi dengan petani lain yang sudah sudah mengadopsi teknologi tersebut. Petani di desa sebagian besar akan keki jika tetangganya mendapat hasil lebih banyak, sehingga dia akan mencari tau apa rahasianya. Demikian gephok tular transfer teknologi akan terjadi. Jika hal ini sudah terjadi, pemerintah dapat merealisasikan bantuan mekanisasi pertanian yang diisukan sudah ditingkatkan hingga 2000 persen itu (www.foodstation.co.id), sehingga petani dapat memiliki alsintan (alat mesin pertanian) secara mandiri.

Disinilah para pemuda akan ditantang kembali ke dunia pertanian. Pemuda sebagai kaum yang melek teknologi akan dipersenjatai smartphone, laptop dan alsintan yang modern. Dengan begitu pertanian tidak harus melulu identik dengan kotor dan panas. Inilah yang digagas di era industri 4.0, era dimana mencangkul pun bisa dilakukan dengan ngopi santai di depan komputer. Betapa canggihnya, bukan?

Untuk saat ini, perubahan yang paling realistis untuk memulai adalah dengan menjajal memanfaatkan aplikasi dari start up pertanian. Banyak sekali pilihan aplikasi yang bermanfaat untuk petani berbasis AgriTech (Agricultural Technology). Mulai dari yang menyediakan prakiraan cuaca, penentuan masa tanam, konsultasi ahli, sarana pertanian, pinjaman modal, dan tentu saja pasar untuk menjual hasil pertanian. Bahkan, salah satu start up bernama Habibi Garden sudah mampu memberikan data real time bagaimana kondisi tanah di lahan dengan memanfaatkan Internet of things (IoT).

Jadi,mari bersama-sama membangun pertanian yang lebih maju dan sejahtera di era industri 4.0 ini. Karena membangun pertanian sam dengan membangun kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun