“Apa yang tengah mengganggu pikiranmu, Fah?” Tanya Etek Rasidah. Afifah hanya menggeleng.
“Kau merindukannya? Kau merindukan ayahmu?” Tanya etek Rasidah lagi. Kini Afifah menjawab dengan anggukan. Dialihkannya lagi pandangan ke laut. Samar-samar, Afifah melihat sebuah perahu dari kejauhan. Lelaki itu? Dia sudah pulang? Tapi, mengapa cepat sekali dia pulang? Padahal jingga belum bersemburat di panggung langit. Dari kejauhan Afifah bisa melihat raut wajah lelaki itu. Raut wajah kasar dan beku, bukan hanya itu. Ada yang berbeda pada wajah lelaki itu hari ini. Api seakan membara di wajahnya. Sepertinya dia sedang kesal dan marah. Biasanya puntung rokok yang sudah mengecil itu selalu terselip di bibirnya ketika dia pulang. Tetapi kali ini, puntung rokok itu tidak terselip di bibir hitamnya. Dia semakin mendekat dan akhirnya lelaki itu sampai ke rumah. Dia lalu masuk ke kamar dan menutup pintung dengan keras. Lalu dia keluar lagi menuju ke dapur. Dada Afifah kala itu berdegup kencang. Dia takut sekali. Perasaannya mengatakan kalau lelaki itu pasti sedang ada masalah dan sepertinya akan memarahinya. Badrun duduk di bangku dekat tungku yang sebelumnya di duduki Afifah.
“Kenapa cepat kau pulang, Badrun? Biasanya ketika senja kau baru pulang. Tapi kenapa kali ini, senja belum tiba, tapi kau sudah pulang.” Tanya etek Rasidah pada lelaki itu.
“Jangan sok perduli kau, Rasidah! Urus saja urusanmu sendiri!” Jawabnya setengah membentak, sambil kemudian menyalakan rokoknya dan membuang asapnya ke udara. Sesaat kemudian, lelaki itu terdiam. Wajahnya tetap dingin dan penuh amarah. Dia lalu berdiri menuju meja makan. Tiba-tiba…
“Brakkkk!!!” Lelaki itu membanting meja sekuat-kuatnya sampai kaki meja itu patah. Afifah dan etek Rasidah tersentak kaget dibuatnya.
“Dasar anak pembawa sial! Ini semua gara-gara kau!” Bentaknya pada Afifah. Dia lalu bangkit menuju tempat Afifah berdiri. Kemudian, dia menjambak rambut Afifah, menamparnya, menendangnya, meninju, lalu dia campakkan Afifah sampai terpental ke lantai. Darah mengalir dari bibir Afifah karena tamparan lelaki itu begitu keras. Afifah menangis terisak menahan sakit. Sekujur tubuhnya memar membiru.
“Ada apa kau ini. Badrun?! Ala gilo kau!******** Si Afifah tidak ada salah apa-apa, tiba-tiba kau hantam dia seperti ini! Kenapa kau, Badrun?!” Bentak etek Rasidah pada lelaki itu sambil memeluk Afifah yang tengah menangis menahan sakit.
“Sudah dua hari aku melaut, aku tidak mendapatkan ikan seekorpun! Ini semua karena dia! Dia ini pembawa sial! Dia yang membuatku tidak mendapatkan ikan! Kau…, kau sama saja seperti ibumu! Dasar pembawa sial!”
“Badrun! Kalau kau tidak mendapatkan ikan, itu bukan salah Afifah! Itu karena tadi malam terang bulan, makanya tangkapanmu tak ada seekorpun!”
“Alah! Dia memang anak pembawa sial! Sekali sial, tetap sial!”
“Badrun! Jaga bicaramu!”