Mohon tunggu...
Nurul Sukmaning Habibie
Nurul Sukmaning Habibie Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Tutorial Teacher

Menyukai bahasan tentang dunia perkuliahan, pendidikan, dan sosial. Penulis fiksi untuk beberapa karya antologi cerita dan puisi. Saat ini tengah belajar menulis opini dan karya ilmiah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Magang Tak Terlaksana, Mahasiswa: Kami Butuh Pengalaman, Pak

16 Agustus 2020   17:07 Diperbarui: 22 Januari 2024   16:31 1446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pengalaman pekerjaan pada CV. (sumber: Thinkstockphotos via kompas.com)

Kondisi pandemi mempengaruhi keseluruhan aktivitas kehidupan. Kantor pekerjaan yang ditutup, toko-toko, aktivitas sosial, hingga dunia pendidikan yang menjadi imbasnya. 

Beberapa bulan lalu hampir seluruh perguruan tinggi menerapkan sistem kuliah daring atau online untuk menunjang keberlangsungan akademik pada semester ini.

Kampus saya menjadi salah satunya yang menerapkan kebijakan kuliah daring dengan jadwal tanpa perubahan. Ujian akhir dan responsi praktikum terpaksa dilakukan secara online yang memaksa mahasiswa untuk bisa memiliki akses koneksi yang lancar selain relasi.

Masalah lain yang kemudian menimpa mahasiswa angkatan tua adalah jadwal Praktik Belajar Lapangan (PBL) atau magang. Jurusan kesehatan mayoritas mengharuskan terjun ke lapangan untuk mempelajari permasalahan dan mengembangkan keterampilan yang dimiliki.

Bagi sebagai seorang tenaga kesehatan, meski tak jarang prakteknya di lapangan mahasiswa bertemu dengan permasalahan yang lebih kompleks dari belajar ilmu teori di kelas.Pelaksanaan magang pada beberapa kampus dapat dilakukan sebelum semester 8. 

Namun, pada jurusan saya tidak sedikit mahasiswa dengan nilai yang mencukupi persyaratan dapat mengambil kesempatan magang di semester sebelumnya. Kondisi menguntungkan ini membuat mayoritas mahasiswa penganut cumlaude untuk memanfaatkan peluang dengan baik.

Pada universitas yang menganut sistem SKS, pelaksanaan magang di semester awal berpengaruh pada SKS yang diambil setara dengan biaya kuliah yang harus dibayarkan. 

Fakta di lapangan tidak sedikit mahasiswa yang sudah terlanjur membayar biaya untuk mengikuti dan mengambil magang di semester ini. Jika saja sudah membayar tapi ternyata magang ditiadakan lantas bagaimana pemenuhan hak kepada mahasiswa ?

Magang sebagai mata kuliah wajib bagi mahasiwa namun karena kondisi pandemi seperti ini menjadi suatu kendala. Mahasiswa semakin gencar menanyakan ke dosen-dosen biaya yang sudah dibayarkan awal perkuliahan dengan nasib magang.

Meskipun hasilnya bisa diduga, banyak mahasiswa (termasuk saya) sangat berharap untuk bisa dilakukan magang pengganti di lain waktu.

Kenyataannya pihak kampus pun buka suara dan menetapkan magang ditiadakan. Pelaksanaan magang sangat tidak bisa dilakukan untuk situasi seperti ini, sehingga harus ditiadakan. Pupus sudah harapan untuk bisa mendapatkan pengalaman pekerjaan.

Guna memenuhi hak mahasiswa, pihak kampus memberikan penawaran penggantian magang. Penggantian magang pada kampus saya bukan berarti mahasiswa akan melakukan sesuatu hal yang dikira sebanding dengan pengalaman untuk magang. Melalui dosen koordinator magang, pihak kampus menawaran metode yang dinilai 'cukup' untuk mengganti mata kuliah magang.

Sayangnya kata cukup di sini bukan berarti sepadan dengan pengalaman dan ilmu yang hilang. Kebijakan ini lebih ke penghapusan kewajiban. Dua metode yang ditawarkan sebagai pengganti 'nilai' magang yaitu sistem poin dan pengabdian masyarakat.

Metode pertama, sistem poin. Mahasiswa dapat mengumpulkan beberapa sertifikat kepesertaan dengan kategori yang dilampirkan beserta poin yang sudah tercantum. Pada pilihan ini disebutkan bahwa untuk mencapai nilai A, mahasiwa harus mengumpulkan poin sebanyak angka yang tercantum.

Metode kedua, dengan sistem pengabdian ke lingkungan sekitar. Teknisnya seperti pengabdian masyarakat namun dilakukan pada lingkungan mahasiswa tersebut berada. Pelaksanaannya bisa dilakukan dengan model daring maupun memanfaatkan media sosial.

Memang betul, pelaksanaan magang sangat tidak mungkin dilakukan, penggantian merupakan cara terbaik yang masih bisa diusahakan. Namun pada kedua penawaran metode tadi terjadi sebuah ketimpangan.

Ketidaksetaraan ini memicu ketimpangan nilai. Pada metode pengabdian, mahasiswa bisa melakukan program/kegiatan tertentu yang dapat diukur keberhasilannya dalam output yang tercantum di laporan akhir. Sama halnya dengan laporan lainnya maupun laporan praktikum, penilaian bisa lebih bersifat objektif.

Pada metode sistem poin, mahasiwa hanya mengumpulakan banyak sertifikat dengan poin minimal untuk nilai tertentu. Dosen hanya bisa memberikan nilai jika mahasiswa berhasil memenuhi score poin yang ditetapkan. 

Meskipun pada akhirnya mahasiswa akan dimintai bukti sertifikat, namun penilaian metode ini tidak bisa mengukur outpun pengetahuan dan keterampilan mahasiswa.

Magang bagi mahasiswa kesehatan merupakan suatu kesempatan emas untuk mengukir pengalaman. Sebagai calon tenaga kesehatan, mahasiswa nantinya dihadapkan dengan permasalahan terkait pelayanan kepada publik sehingga menuntut keterampilan pada profesinya. Keterampilan tidak bisa muncul begitu saja namun perlu upaya pengalaman dan pembelajaran.

Pemilihan metode yang ditawarkan tidak bisa menggantikan fungsi magang sebagai kesempatan mengasah keterampilan. Pada lain sisi mahasiswa berada di posisi menginginkan pengalaman sebagai bekal mencari pekerjaan. 

Dunia pekerjaan jauh sangat berbeda dengan dunia kampus. Karena itu mahasiswa merasa perlu dilakukan magang sebagai bekal untuk bekerja nantinya. 

Memang betul, seusai lulus nanti mahasiswa dihadapkan pada dunia pekerjaan dan bukan berarti kampus hanya bisa menyediakan alat untuk mempermudah nilai dengan minim keterampilan.

Apakah kampus hanya sebagai alat pencetak robot tenaga kerja yang hanya akan memuaskan industri kerja ? tentu bukan. 

Kampus sebagai tempat mengembangkan diri dan memperdalam suatu keilmuan dengan tetap menyisipkan nilai-nilai kemanusiaan di dalamnya. Namun sekali lagi, ini bukan hanya sebatas pada kebutuhan dan kemudahan yang disebut  'nilai'.

Kesempatan magang menjadi momen penting untuk mengaplikasikan ilmu yang sudah dipelajari di bangku perkuliahan dan kesempatan luas membangun relasi.

Nilai bukan satu-satunya tolak ukur keberhasilan belajar seseorang. Pengalaman dan keterampilan yang dimiliki menjadi magnet bagi industri kerja untuk melirik. Kemudahan nilai bagi mahasiswa merupakan kesempatan langka, tapi jika harus mengorbankan kesempatan mendapatkan pengalaman, tentu saja tidak bisa.

Sebagai mahasiswa yang menganut Tri Dharma Perguruan Tinggi baiknya bisa lebih bijak memilih. Memang tidak ada yang benar-benar layak metode sebagai pengganti magang. 

Namun pastinya ada pilihan yang masih rasional dipilih dengan alasan adanya kesempatan melatih keterampilan lain daripada hanya sekedar penimbun sertifikat tanpa ilmu yang melekat.

Pada bulan kedelapan ini handphone saya lebih banyak bunyi dan muncul notifikasi grup kampus karena teman-teman saya rajin post dan share info seminar online yang entah bagaimana rasanya penat sekali jika harus menjadi pemburu sertifikat. Namun semua itu merupakan usaha bagi mahasiswa untuk menggenapi nilai di mata kuliah magang ini.

Sekali lagi, pihak kampus mungkin saja dengan sengaja menawarkan kemudahan sebagai bentuk keperluannya sendiri. Mungkin saja untuk akreditasi jadi kepentingan mahasiswa sedikit terbatasi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun