Sejak saya diajarkan nama-nama benda oleh ibu saya sebagaimana Adam diajar oleh Tuhan tentang benda-benda di sekitarnya dan mulai mengetahui banyak hal di sekitar saya, sandal swallow sudah berada dekat dengan saya. Tidak pernah jauh dari kehidupan saya.
Saya tidak tahu pasti sejak kapan sandal yang murah meriah ini diproduksi. Tetapi di salah satu artikel yang saya baca, sandal ini pertama di produksi tahun 1982 .
Saat masih kecil, saya sudah melihat nenek saya kemana-mana menggunakan swallow. Melihat nelayan di kampung pergi melaut juga menggunakan sandal ini.
Sejak saat itu, jika mendengar kata sandal, yang pertama terbayang dalam pikiran saya adalah sandal swallow, entah yang berwarna biru, hijau, kuning ataupun merah. Swallow adalah epistemologi pertama saya tentang sandal.
Saya masih ingat betul, ketika sandal swallow saya yang lama telah putus, saya membeli sandal yang baru. Saat di warung, saya kebingungan memilih warna apa yang hendak saya ambil. Kebingungan saya seperti sedang berhadapan dengan hal yang begitu rumit.
Ada empat warna seperti saya sebut tadi. Ada beberapa pertimbangan kesulitan memilih warna. Jika saya memilih warna biru, itu warna yang sangat banyak dipakai oleh teman-teman saya, begitu pula dengan warna hijau.
Karena banyak yang memakai kedua warnaitu, bisa berefek banyak hal, salah satunya adalah perkelahian dengan kawan saat kami berebut pasangan sandal masing-masing. Kami akan kebingungan memilih pasangan sandal masing-masing.
Walau pada akhirnya seiring perkembangan zaman dan proses belajar dari masa lalu, hal sederhana itu bisa dicegah dengan cara di sandal akan ditulis nama pemiliknya atau sekadar menancapkan paku tindis sebagai penanda.
Saya juga tidak akan memilih warna kuning, karena itu warna yang biasa digunakan nenek saya. Dipikiran saya, kuning adalah warna sandal untuk perempuan. Setelah berpikir banyak, saya akhirnya memilih warna merah.
Swallow menjadi seperti Aqua dalam bangsa air mineral atau seperti Toa dalam bangsa megafon. Walau banyak merek sandal jepit, orang-orang tetap akan menyebutnya swallow walau sandal yang dibelinya ternyata sky way atau yang lain.
Karena kepopulerannya itu, saya menduga kalau swallow akan tetap hidup dalam pikiran masyarakat Indonesia. Selain itu, ada beberapa hal yang menyebkan swallow akan tetap eksis bersama masa depan masyarakat Indonesia:
Pertama, Swallow adalah sandal paling religius. Ada banyak merek sandal yang terlahir dari tangan-tangan terampil anak-anak Indonesia, tetapi swallow ada di garda terdepan soal religiusitas. Bagaimana tidak, satu-satunya sandal yang tetap konsisten berada di rumah Tuhan adalah swallow.
Di masjid, ketika imam dan para jamaah shalat telah pulang, swallow tetap bersemayam. Walau badai datang menerjang, hujan deras, angin kencang, swallow tetap istiqamah berdiam di masjid.
Selain itu, swallow begitu setia menemani imam-imam di kampung saat ke masjid untuk memimpin shalat. Juga menemani para jamaah untuk pergi shalat. Karena alasan itu, masa depan swallow sepertinya masih cukup cerah di tengah masyarakat yang "sangat" religius ini.
Kedua, swallow adalah sandalnya rakyat-rakyat kecil di negeri ini. Karena harganya yang terjangkau, kita bisa lihat sendiri, berapa banyak buruh pelabuhan, pedagang kaki lima, tukang becak, tukang gerobak, supir angkot, pemulung, pengemis, yang menggunakan sandal ini. Orang-orang kecil yang menghidupkan roda perekonomian negeri ini.
Dengan begitu, sandal ini ikut membantu denyut nadi perekonomian negeri ini tetap hidup. Kurang apalagi swallow ini, sudah menjadi sandal yang religius, membantu perekonomian negeri pula. Maka sudah semestinya swallow menjadi teladan bagi sandal-sandal yang lain. Eh.
Ketiga, swallow juga adalah sandalnya masyarakat ekonomi menengah ke atas. Swallow ternyata bukan hanya digunakan oleh masyarakat kecil dengan ekonomi kecil. Swallow juga hidup bersama orang-orang kaya negeri ini. Berapa banyak pejabat yang menanggalkan sepatu mewahnya dan memakai swallow saat ke masjid atau ke pasar.
Di kantor-kantor, sering saya melihat PNS menggunakan swallow saat beraktifitas. Berapa banyak pula calon anggota DPR atau DPRD yang menggunakan swallow untuk berjumpa dengan rakyat, seolah menampilkan tampilan yang identik dengan rakyat kecil.
Bahkan pada satu waktu, saya membaca artikel dengan gambar seorang Presiden Jokowi juga menggunakan sandal ini saat memancing di perairan Raja Ampat hingga saat berada di Bali. Swallow dapat memikat siapa saja. Di hadapan swallow, masyarakat seolah tanpa kelas. Dia diterima oleh siapa saja.
Sejarawan Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus, menyebutkan ada tiga hal yang berpengaruh dalam perkembangan populasi manusia yaitu kelaparan, perang dan wabah penyakit. Dari ketiga hal itu, untuk konteks Indonesia, swallow selalu ada.
Soal kelaparan, begitu banyak masyarakat miskin yang hidup di kolong jembatan, di gubuk-gubuk yang sangat memerlukan bantuan pemerintah yang bertahan hidup ditemani sandal swallow.
Soal perang, tentu tidak sebagaimana perang yang dimaksud Harari (perang besar yang memakan banyak nyawa), tetapi berapa banyak anak-anak muda yang terlibat dalam tawuran atau bentrokan antar warga yang menggunakan sandal swallow.
Tentu tidak sedikit. Dan terakhir, soal penyakit, di rumah sakit saya sering melihat dokter atau perawat menggunakan sandal swallow untuk memudahkan mereka dalam bekerja menangani orang-orang sakit. Memakai sandal itu, membuat mereka menjadi lebih gesit dalam menangani pasien.
Tidak percaya? Cobalah ke rumah sakit dan lihat. Mungkin terdengar seperti "cocoklogi", tapi itu benar. Hehehe
Dari beberapa hal itu, menurut saya, swallow akan tetap memiliki peluang besar untuk bertahan dan menemani masyarakat Indonesia menuju Masyarakat Madani. Eaaaa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H