Mohon tunggu...
Muhammad Haris
Muhammad Haris Mohon Tunggu... Freelancer - Sebuah Usaha Mengabadikan Pikiran

Menulis untuk mengenali diri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Seorang Lelaki Tua dan Kapalnya

25 Agustus 2020   23:00 Diperbarui: 26 Agustus 2020   06:52 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[Ilustrasi: Muhammad Haris]

Pagi itu, seperti biasa lelaki tua itu membersihkan kapalnya yang bersandar di tembok yang membatasi sungai dengan jalan di kota. Kapal itu tak begitu besar, hanya memiliki panjang 6-7 meter dan lebar 1,5 meter, kapal sebagaimana yang di gunakan nelayan-nelayan di kampungnya untuk melaut. 

Dia menyapu kotoran yang ada di lantai kapal. Membersihkan dinding kapal dengan sebuah kain basah sebelum dia memulai aktifitasnya yang lain. Sambil membersihkan dia berjuang melawan batuknya yang tak kunjung hilang selama berbulan-bulan. 

Nama lelaki tua itu adalah Rambe. Puluhan tahun yang lalu saat berumur 30-an, Rambe memutuskan meninggalkan kampung halamannya Sula. Dia memutuskan untuk merantau ke Mogi---pulau dimana dia tinggal saat ini---dengan kapal kesayangannya itu. 

Baginya hidup di kampung sudah cukup, tak banyak bisa dilakukan untuk hidup sehari-hari. Dia pernah beternak ayam dan berhasil, tetapi seiring berjalannya waktu, usaha itu tak bisa diharapkan. 

Ayamnya banyak yang sakit lalu mati dan banyak diambil pencuri di kampungnya. Selain itu, dia merasa terpengaruh oleh sebuah fenomena pemuda-pemuda di kampungnya yang berbondong-bondong pergi merantau ke daerah lain.

Kapal itu diperolehnya dengan membeli sebuah kapal bekas milik teman bapaknya yang nelayan. Menginvestasikan uang untuk membeli kapal lebih masuk akal daripada menambah bibit ayam yang menurutnya sudah tak bisa diharapkan lagi. Dia akhirnya ke Mogi, berbekal kemampuannya melaut mengikuti nelayan-nelayan di kampungnya yang sudah di lakukannya sejak kanak-kanak sebelum memulai bisnis ayam.

Dengan beberapa kawannya yang lain dia pergi meninggalkan kampung halaman, mengadu nasib yang penuh dengan tanda tanya. Tapi baginya tak perlu takut, banyak pemuda-pemuda di kampungnya yang pulang dengan keberhasilan di negeri orang. Bagi orang di kampung itu, meninggalkan kampung halaman untuk merantau, seperti menjadi sebuah keharusan terutama bagi anak laki-laki.

Dia sampai pada satu kota di daratan pulau Mogi. Kota yang mempunyai sungai yang besar dan juga panjang. Setelah mencari rumah untuk tinggal, dia memulai hidupnya lagi untuk melaut sebagaimana pernah dilakukannya dulu. Dia dan kawan-kawannya memilih merantau ke Mogi karena di sana belum seramai tempat lain dan nelayan di sana belum banyak.

Memulai kembali sebagai nelayan baginya adalah keputusan yang tepat. Beberapa bulan setelah tiba di tanah rantau, dia memperoleh hasil laut yang banyak. Dijualnya pada penjual-penjual ikan di kota. Tak butuh waktu yang lama, dia sudah bisa menikmati kerja kerasnya sebagai nelayan. Hidup berkecukupan.

Seiring berjalannya waktu, nelayan-nelayan lain yang juga dari Sula datang ke Mogi. Di Sula ada kabar, merantau ke Mogi cukup menjanjikan. Karena kabar itu, semakin bertambah nelayan atau perantau dari Sula.

Dengan fenomena itu, Rambe tentu senang. Ada banyak saudara-saudara dari Sula yang datang walau sebenarnya dia cukup khawatir karena akan menimbulkan persaingan, terutama untuk menemukan pembeli yang akan menjual lagi hasil laut mereka. Tapi kekhawatirannya cepat-cepat dibuangnya. Merantau adalah hal biasa bagi orang Sula. Perantau sepertinya akan datang kapan saja, di tempat mana saja yang mereka inginkan.

Rambe menjalani hidupnya selama berpuluh-puluh tahun sebagai nelayan. Dia bisa membeli sebuah rumah di Mogi dari hasil kerjanya itu. Pada satu waktu, dia juga membeli sebuah kapal baru yang lebih besar untuk melaut. 

Kapal itu dipinjamkan kepada kawannya untuk mencari ikan dengan sistem bagi hasil. Karena itu Rambe memiliki penghasilan semakin bertambah. Dia semakin menjauh dari hal yang paling di takuti oleh umat manusia: kelaparan dan kemiskinan. Dia bisa membeli apapun yang dia butuhkan.

Rambe mengalami perubahan hidup yang drastis. Dia memutuskan untuk tidak melaut lagi. Kapalnya yang lain yang dulunya digunakan saat meninggalkan kampung halamannya, juga dipinjamkan kepada kawannya. Dia hanya duduk di rumah menikmati beberapa botol anggur. 

Sejak hidupnya berubah dia jadi lebih sering meminum anggur, hampir setiap hari. Dia sering mengajak kawan-kawannya untuk minum bersama, bersenang-senang, membunuh waktu dengan berbotol-botol anggur, seolah jalan hidup tak akan pernah berubah.

Menjadi kaya adalah sesuatu yang di dambakannya sejak lama. Karena kekayaannya pula, Rambe menjadi tempat bagi orang-orang lain untuk meminta bantuan baik meminjam uang atau dipekerjakan di kapal miliknya. Rambe juga adalah orang yang dermawan, melihat orang-orang lain yang kesusahan selagi bisa membantu, dia akan membantu.

Rambe memiliki waktu luang yang banyak. Sementara kapal-kapalnya dibawa melaut, dia asyik menikmati hidup di rumah dengan botol-botol minumannya. Dia juga tak pernah mencari seorang pasangan, entah kenapa, mungkin saja hidupnya sudah begitu nyaman sampai lupa mencari pasangan hidup.

Pada satu malam terjadi suatu peristiwa yang kelak akan mengubah jalan hidupnya lagi. Saat sedang menikmati makan malam di rumahnya, seorang kawannya datang mengajaknya ke suatu tempat yang bisa membuatnya berpesta sampai pagi dengan berapapun banyak botol minuman yang hendak di minumnya. Tentu saja Rambe mengiyakan. 

Saat sampai di tempat itu, mereka berpesta minuman sepuasnya. Selain pesta anggur, ada satu meja yang biasa di pakai untuk berjudi. Beberapa orang yang baru dikenalnya malam itu mengajaknya bergabung untuk berjudi, mencoba peruntungan hanya dengan beberapa lembar kartu remi. Dia tertantang dan mencobanya.

Di meja judi malam itu, dia kehilangan beberapa juta uang dalam hitungan jam. Kekalahan itu tidak dianggapnya sebagai sesuatu yang memalukan, dia justru menjadi lebih tertantang. Lagi pula, dia masih memiliki banyak uang. Keesokan harinya dia kembali dengan modal berjudi yang lebih besar lagi. Hal itu terus di lakukannya hampir setiap malam. 

Beberapa kali dia menang, tapi dia lebih sering mengalami kekalahan dan kehilangan banyak uang. Dia tak pernah menyerah, keinginannya untuk kembali tiap malam ke meja judi seolah mengalahkan besarnya keinginannya dahulu saat hendak meninggalkan kampung halamannya untuk pergi merantau ke Mogi.

Rambe tidak mampu lagi mengontrol keinginannya yang menggebu-gebu untuk berjudi. Dia kecanduan duduk di depan meja judi. Karena itu pula, setelah mengalami banyak kekalahan dia tidak ragu untuk menjual rumah yang dibelinya dengan perjuangan panjang di lautan. Dia memilih untuk mengontrak rumah, seperti kali pertama dia menginjakkan kaki di Mogi. Uang hasil jual rumah dipakai untuk berjudi lagi. Sebuah keputusan yang harusnya tidak dilakukannya.

Kawan-kawannya yang memakai kapalnya untuk melaut telah menyarankannya untuk berhenti berjudi, tapi seolah peribahasa "anjing mengonggong kafilah berlalu," Rambe tak memedulikannya. Judi seolah darah dalam tubuhnya---tidak bisa hidup tanpa judi. Dia terus bertarung di meja judi sampai akhirnya uang hasil jual rumahnya pun habis. Untuk membayar kontrakan rumah dan biaya hidup dia masih mendapatkan dari bagi hasil melaut yang menggunakan kapal miliknya.

Perubahan hidupnya yang sangat mencolok, mendapatkan komentar dari banyak orang, tidak juga membuatnya berhenti berjudi. Dia berniat menjual kapalnya yang cukup besar tadi, kapal yang dibelinya di Mogi. Dia menjual kepada kawannya yang selama ini menggunakan kapal itu. 

Tentu saja, kawannya dengan cepat mengiyakan, walau harus meminjam di Bank untuk mendapatkan kapal itu. Sebagaimana Rambe, membeli kapal itu bagi kawannya adalah sebuh investasi yang penting untuk masa depan. Akhirnya Rambe kehilangan kapal itu, juga seperti kehilangan seorang kawan karena kawannya lebih sibuk mencari nafkah dengan kapal yang baru saja dijualnya itu.

Nyaris hidup Rambe hanya bergantung pada hasil kapalnya yang dulu di pakainya merantau. Hasilnya di meja judi beberapa kali bisa membantunya membayar kontrakan rumah, tetapi lebih banyak dia mengalami kekalahan sebagaimana biasa dan kehabisan uang. Di tengah kondisi itu, kesialan lain justru datang menghampirinya. 

Kapalnya yang dipakai melaut jarang mendapatkan hasil. Kawan-kawannya yang mengoperasikan kapal itu berpikir beribu kali untuk mau melaut lagi melihat hasil tangkapan yang tidak seberapa. Beberapa di antara mereka memutuskan mencari pekerjaan di darat, bekerja sebagai buruh pelabuhan atau karyawan toko.   

Karena hasil melaut yang sedikit, tentu bagi hasilnya pun sedikit, hingga pada akhirnya semua kawan-kawan Rambe berhenti memakai kapal itu. Kapal itu di sandarkan dan berlabu disamping tembok di tepi sungai yang berbatasan langsung dengan jalan di kota. Karena peristiwa itu pula, Rambe seolah berada di ujung tanduk perjalanan hidupnya.

Bagaimanapun juga bagi Rambe, dengan kapal itu, dia mulai banyak hal di tanah rantau. Berat rasanya untuk menjual kapal itu yang juga menjadi satu-satu hartanya yang tersisa. Dia masih memendam harapan suatu saat nanti dia kembali melaut menggunakan kapal itu. 

Di sisi lain, tak ada lagi penghasilan yang bisa digunakannya untuk membayar kontrakan. Masih ada sisa uang hasil melaut tetapi digunakannya untuk membeli kompresor untuk membuka usaha tempat pompa ban dan membeli alat-alat lain untuk usaha tambal ban.

Pada akhirnya Rambe tak mampu lagi membayar kontrakan. Dia memutuskan untuk pindah dan tinggal di tempat yang tak pernah dibayangkan sebelumnya akan menjadi rumah untuknya yaitu kapal kesayangannya. Orang-orang banyak bersimpati kepadanya tapi tak bisa berbuat banyak. Seorang kawan lamanya yang tinggal dekat dengan kapal sekaligus rumah Rambe di labuhkan, memberikan  izin untuk rambe membuka usaha tambal ban di depan rumahnya. Itu sudah sangat membantu bagi Rambe.

Rambe menjalani hari-harinya dengan bekerja sebagai penambal ban. Kadang kala juga dia membantu warga bersih-bersih lingkungan dan diberi bayaran seadanya. Orang-orang tak menduga Rambe akan mengalami nasib seperti ini, tetapi semua seolah mewajarkan apa yang terjadi pada Rambe saat mereka tahu kalau Rambe menghabis-habiskan hartanya, hanya untuk mengikuti hasrat berjudinya.

Pada satu waktu, Rambe berpikir untuk mencoba pulang kampung. Tapi rasa malunya lebih besar di banding kerinduannya pada kampung halaman. Hidupnya pun dijalani di sebuah kapal yang semakin lama semakin rusak, kayu-kayunya semakin lapuk. Beberapa kali juga tidur malamnya di kapal itu terganggu karena ular yang naik dari sungai. Sungguh kehidupan yang tak terbayangkan olehnya di meja judi.

Rambe hidup seadanya di kapal tuanya dari hasil tambal ban, sampai satu waktu penyakit TBC menyerangnya dan tak kunjung hilang sampai beberapa bulan. Dia tetap berusaha bertahan hidup sambil melawan penyakitnya. Mengisi hari-harinya dengan membersihkan kapalnya, menambal ban, begitu seterusnya sampai menjadi lelaki yang sangat tua. 

Hingga pada suatu sore, seorang tak melihat Rambe membuka usaha tambal ban-nya. Lalu mencari Rambe di rumahnya karena pagi di hari itu, dia melihat Rambe. Ternyata Rambe sudah tak mampu melawan penyakitnya. Dia sudah terbaring tak bernyawa di atas kapal kesayangannya. Kapal yang menjadi teman perjuangan hidupnya di tanah rantau dan menjadi saksi kepergiannya untuk selamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun