Mohon tunggu...
Muhammad Haris
Muhammad Haris Mohon Tunggu... Freelancer - Sebuah Usaha Mengabadikan Pikiran

Menulis untuk mengenali diri

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Kisahku KKN di Miangas, Pulau Paling Utara Negeri Ini

24 Agustus 2020   19:42 Diperbarui: 26 Agustus 2020   03:17 2388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2015 lalu melalui sebuah program KKN (Kuliah Kerja Nyata), dari Kota Makassar saya pergi ke Pulau Miangas, Sulawesi Utara bersama puluhan kawan-kawan dan seorang dosen sebagai supervisor. Miangas adalah pulau paling utara negeri ini, berbatasan langsung dengan Filipina.

Sejak pertama kali menginjakan kaki di sana, saya sudah dibuat kagum oleh antusias dan keramahan warga Miangas yang menyambut kami datang.

Kapal yang kami tumpangi bersandar di Pelabuhan Miangas pada tengah malam, tetapi tetap saja warga datang berbondong-bondong untuk menyambut kami.

Sebelum beristirahat, kami dihidangkan makanan dan teh hangat oleh ibu-ibu di sana untuk melepas lelah setelah perjalanan jauh menggunakan kapal laut yang memakan waktu hampir 8 hari dari Kota Makassar sampai Pulau Miangas.

Sementara para pemuda membantu kami mengangkat barang-barang bawaan. Tentu saja saya tidak menduga kami akan di sambut seperti ini.

Kami menjalani masa-masa pengabdian di sana dengan sangat menyenangkan. Bagaimana tidak, sejak hari pertama memulai kegiatan KKN, warga Miangas menunjukkan sebuah keramahan dan penerimaan yang luar biasa. 

Saat itu, Pulau Miangas memiliki jumlah Penduduk sekitar 800 jiwa. Miangas pulau sekaligus kecamatan dan juga desa. Mudahnya seperti ini: Pulau Miangas, Kecamatan Khusus Miangas, Desa Miangas. 

Yah Miangas adalah kecamatan khusus dalam wilayah administratif di Sulawesi Utara. Miangas menjadi khusus karena pulaunya yang kecil dan sangat jauh dari pulau-pulau lainnya. 

Jadi di Pulau Miangas ada camat dan kepala desa. Selain kedua pejabat pemerintahan itu, ada yang namanya 'Mangkubumi'. Semacami ketua adat atau sejenisnya.

Dalam keseharian di sana, hal penting tapi sederhana yang mesti kami lakukan adalah saling menyapa. Misalnya seperti ini, "selamat pagi bapak, selamat siang mama, atau selamat malam kakak". 

Sapaan kami tentu akan dibalas dengan senyum dan ucapan yang sama dari warga. Biasa lebih dari itu, kami akan dipanggil ke rumah mereka untuk singgah makan atau minum teh. Sungguh sebuah fenomena sosial yang sulit ditemukan dalam kehidupan kota.

Miangas adalah pulau yang menawarkan keindahan alam yang benar-benar memanjakan mata. Pantai dengan pasir putih, pohon kelapa yang berjejeran di pinggir pantai yang bisa kami ambil buahnya kapanpun kami mau. 

Selain itu, tentu juga ada keindahan laut biru yang selalu menggoda untuk berenang atau menyelam untuk sekadar melihat keindahan bawah lautnya. Selain keindahan alamnya, Miangas juga memberikan sebuah pelajaran berharga bagi kami. 

Pelajaran berharga itu adalah toleransi. Warga Miangas adalah mayoritas beragama Kristen. Seingat saya hanya ada dua keluarga yang beragama Islam saat itu. 

Sejak awal, mereka menerima kami tanpa melihat latar belakang agama. Mereka menyiapkan mushola untuk bisa sholat, walaupun mushola itu pun kami pakai hanya untuk shalat jumat.

Makanan kami dengan mereka pun dipisah karena biasanya tentu ada makanan yang haram hukumnya dimakan oleh yang beragama islam.

Saya mengamati keseharian warga tidak jauh berbeda dengan kehidupan masyarakat di desa lain yang berada di pinggir laut. Masyarakat Miangas umumnya hidup dengan menjadi nelayan dan berkebun. 

Pada pagi hari, anak-anak dari SD sampai SMK (di Miangas hanya ada SMK jurusan pengolahan hasil perikanan) akan ke sekolah. Bapak-bapak di sana akan ke laut untuk mencari ikan atau apapun dari laut yang bisa dimakan. Kadang-kadang para bapak itu akan membawa pulang kepiting, gurita, atau lobster untuk dikonsumsi sehari-hari. 

Di Miangas tak ada pasar untuk menjajakan hasil laut sebagaimana di daerah lain, hanya ada warung-warung kecil yang menjual kebutuhan pokok seperti beras, minuman-minuman, snack, dan lain-lain.

Mereka membeli kebutuhan pokok itu dari pulau lainnya, biasanya dari Kota Bitung. Sementara Ibu-ibu di sana bekerja sebagaimana biasa seorang ibu rumah tangga. 

Hal yang cukup berbeda terjadi pada sore hari. Pemuda-pemuda di sana akan mengisi waktu untuk berolahraga; sepak bola, voli, sepak takraw. Hampir setiap hari. Jadi jangan heran kalau ke Miangas kemudian melihat pemuda-pemuda di sana sangat berbakat pada bidang-bidang olahraga itu. 

Postur tubuh mereka di sana juga bagus. Wajar saja jika setelah menamatkan sekolah di SMK banyak laki-laki yang mendaftarkan diri menjadi tentara atau polisi.

Bagi anak-anak kecil, biasanya mereka akan ke dermaga dan mandi di laut, memancing, atau sekadar bermain dan berlari-lari. 

Bagi orangtua, bapak-bapak akan bermain catur, duduk bercerita, atau sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ibu-ibu lansia biasanya juga saling bercerita atau bermain permainan yang menggunakan papan catur tapi tidak sebagaimana permainan catur. Kami biasa menyebutnya permainan "Dam".

Pada malam hari, biasanya sejak pukul 8 sudah tidak ada lagi aktivitas di luar rumah. Jalan-jalan terlihat sunyi. Warga di rumahnya masing-masing. Hanya sesekali melihat warga yang bekerja sebagai nelayan yang baru pulang dari melaut atau beberapa anggota TNI yang keliling untuk patroli. Tapi bukan berarti kami tidak menikmati bagaimana malam di sana. 

Saya dan beberapa kawan lainnya beberapa kali keluar malam bersama para pemuda lokal untuk mencari ikan atau kepiting di pantai dan menikmati malam sambil berbincang, menyanyi-nyanyi dan membuat api unggun.

Mereka sangat ahli menangkap ikan dengan cara yang tradisional. Masyarakat setempat menyebutnya "bajubi". 

Sebelum berangkat kami membawa perlengkapan untuk bajubi---sebuah alat seperti senapan yang terbuat dari kayu dan menggunakan besi untuk ditembakkan pada ikan. Malam yang menyenangkan apalagi ditambah kelapa muda yang diambil langsung oleh para pemuda itu.

Selain bajubi, satu waktu kami juga mencari ketam kenari atau biasa disebut kepiting kelapa pada malam hari. 

Sebelumnya kami sudah menyiapkan ampas kelapa yang sudah dibiarkan 3 hari sampai membusuk. Ampas kelapa itu digunakan sebagai umpan ketam kenari. Di sana juga lah saya mendapatkan pengalaman untuk pertama kalinya menangkap ketam kenari. Pengalaman yang sulit dilupakan.

Miangas juga memiliki makanan khas. Nama makanan itu adalah laluga. Merupakan tanaman sejenis umbi talas yang hidup di rawa atau di lahan gambut. Tumbuhan ini menjadi makanan sehari-sehari disana selain beras.

Saya sudah mencobanya. Rasanya sedikit manis dan enak. Laluga bisa direbus atau digoreng. Saya lebih menyukai makanan ini ketika dibuat menjadi keripik.

Oh iya, sebagaimana Mahasiswa KKN pada umumnya, kami membagi menjadi beberapa divisi dan membuat program kerja. Menyusun apa yang mesti dilakukan selama berada di sana. 

Bagi divisi kesehatan, mereka akan membuat program kesehatan---mengadakan cek kesehatan gratis kepada warga dan memberikan obat atau vitamin untuk warga yang membutuhkan. 

Divisi pendidikan membuat program pendidikan, mengajar di sekolah SD sampai SMK. Saat itu saya berada dalam divisi ini.

Saya mengaktifkan kembali Rumah Pintar. Rumah yang berisi banyak buku-buku untuk menjadi tempat anak-anak belajar. Selain itu saya juga melakukan sebuah program Latihan Dasar Organisasi untuk siswa SMK.

Selain dua divisi sebelumnya, ada divisi lain seperti divisi lingkungan hidup, divisi pemuda dan olahraga, divisi wirausaha, dan ada beberapa divisi lagi yang saya tidak ingat lagi namanya. Semua menjalankan program sebagaimana mestinya dan tidak jauh dari jurusan atau bidang keahliannya masing-masing saat di kampus.

Selain mempunyai keindahan alam, masyarakat yang ramah, Miangas juga memiliki kisah-kisah yang mengharukan dan menuntut kepedulian lebih dari Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat.

Miangas adalah pulau yang sangat jauh terpisah dari pulau-pulau lainnya. Miangas sendiri berarti "menangis". Konon nama itu diberikan oleh leluhur mereka. 

Kata kawan saya, "Miangas seperti sebuah kelapa yang terapung di tengah laut luas." Sebab letaknya yang jauh dari pulau-pulau lainnya, apalagi dengan Kota Manado yangg butuh perjalanan berhari-hari untuk bisa sampai ke sana.

Bayangkan saja jika ada warga Pulau Miangas sakit yang butuh penanganan khusus. Kapal dalam seminggu hanya ada satu, jika laut sedang tidak bersahabat biasanya juga tak ada kapal yang datang ke Miangas dalam beberapa minggu. 

Di Miangas saat itu hanya ada satu puskesmas tanpa dokter. Hanya ada seorang bidan. Tentu saja itu tidak cukup. Belum lagi jika ada kerusakan pada mesin untuk menghidupkan listrik, butuh waktu yang tidak cepat untuk masyarakat bersabar hidup tanpa listrik.

Tetapi belakangan ini saya mendapat informasi kalau di sana bandara sudah aktif, dan listrik sudah bagus. Informasi yang sangat membahagiakan.

Setelah melakukan kegiatan KKN kurang lebih sebulan, akhirnya sampai juga pada waktu yang menyedihkan dari sebuah perjumpaan yaitu perpisahan. Kami harus kembali ke kampus. Kami akan kembali ke Makassar.

Warga Miangas menyiapkan acara perpisahan dengan antusias dan hampir semua warga ikut serta 

Malam sebelum kami pulang, dibuat acara di mana warga dan kami dikumpulkan dalam satu gedung, mendengarkan sambutan-sambutan dan ucapan terima kasih dari camat, kepala desa, dan danramil. 

Lalu, dilanjutkan dengan kegiatan makan bersama. Ada begitu banyak makanan, ada lobster, kepiting, gurita, ikan, dan kue-kue yang dihidangkan malam itu. Sementara itu acara hiburan diisi oleh kami dan pemuda-pemuda miangas. Ada yang bernyanyi, ada yang menari.

Keesokan harinya kami semua bersiap pulang. Warga telah menyiapkan berbagai macam bekal untuk kami makan dalam perjalan. Saat itu, kapal yang akan kami tumpangi tidak bisa sandar di dermaga karena gelombang laut yang tinggi. 

Kapal itu akhirnya berpindah mencari tempat yang agak teduh. Kami harus menggunakan sekoci untuk menuju kapal, diantar oleh anggota TNI dan pemuda Miangas.

Ibu-ibu dan adik-adik di sana melepas kami pergi dari pinggir pantai sambil menangis. Sungguh pemandangan yang menyedihkan.

Di sekoci yang saya tumpangi, sebelum sampai kapal yang kami tuju, seorang Babinsa yang mengantar kami berkata, "jangan lupakan kami. Sampaikan pada orang di luar sana, beginilah di Miangas, apalagi saat ombak besar. Semoga kalian juga semua sukses."

Mendengar itu, teman-teman saya merespons dengan ucapan "iya pak, aamiin pak." Saya hanya terdiam dan membantin dalam hati: "siap pak."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun