Mafia Minyak Goreng
Pertama, ketika HET dipatok pemerintah maka otomatis produsen menahan minyak goreng di gudangnya. Sudah pasti jauh lebih untung jika diekspor ke luar negeri. Sebagai perbandingan, rata-rata harga minyak goreng per liter di luar negeri berada pada kisaran Rp 50.000 -Rp 80.000 per liter.
Kalaupun produsen mendistribusikan minyak goreng tersebut kepada distributor dengan harga di bawah HET agar distributor bisa untung sedikit, sudah pasti dilakukan dalam jumlah terbatas. Pilihan lainnya adalah  melepas minyak goreng kepada distrubutor dengan harga tertentu dan sudah pasti di atas HET. Kalau distributor tidak mau, maka minyak goreng ditahan di gudang untuk kemudian diekspor keluar negeri. Jika demikian, sudah pasti minyak goreng di pasaran raib.
Nah pertanyaannya adalah apakah di tahap ini, produsen minyak goreng yang menahan stok di gudang atau memilih menjualnya ke luar negeri  agar dapat untung besar disebut mafia? Apakah para produsen merk Bimoli, Sania, Sanco, Kunci Mas, Filma, Fortuner, Forvita dan seterusnya mafia? Bisa jadi ya, bisa juga tidak.Â
Kedua, para distributor besar di minimarket dan supermarket yang mendapat minyak goreng dari produsen, sudah pasti ikut bermain. Ketika tiba-tiba HET ditetapkan, otomatis mereka menahan minyak goreng di gudangnya. Alasannya dengan HET yang ditetapkan oleh pemerintah, mereka tidak untung jika dijual di toko mereka atau malahan rugi. Mereka pun menahan stok di gudang atau memilih mendistribusikan minyak goreng langsung kepada konsumen di restoran, perusahaan atau di pasar tradisional dengan harga di atas HET secara diam-diam. Kalaupun dijual di toko mereka, jumlahnya sedikit agar tidak kena semprot pemerintah.
Pada tahap ini minyak goreng di minimarket, hypermarket, supermarket dan di toko-toko serba ada raib alias kosong. Pada akhir bulan Januari harga minyak goreng di tingkat eceran di pasar tradisional menyentuh harga Rp 21.000 per liter, jauh di atas HET. Pada tahap ini apakah distributor minyak goreng yang menahan stok bisa disebut mafia? Bisa ya, bisa tidak.
Ketiga, perusahan yang membutuhkan minyak goreng seperti restoran, pabrik mie, roti, kue, kacang goreng dan sebagainya memborong minyak goreng di pasaran atau memesan langsung secara kong kang ling kong  dari distributor untuk distok dan disimpan di gudangnya. Akibatnya minyak goreng kering di pasaran. Minyak goreng tidak lagi dijual di pasar tetapi sudah langsung ke konsumen besar dalam skala besar juga. Pada tahap ini apakah perusahaan atau konsumen disebut mafia juga? Bisa ya, bisa tidak.
Keempat, Ketika ada minyak goreng di minimarket dan supermarket dengan jumlah terbatas, para pembeli langsung  menyerbu untuk memborong. Dan otomatis, minyak goreng langsung raib. Kenapa diborong? Selain lebih murah dari pasar tradisional karena  terikat HET, juga bisa dijadikan stok hingga berbulan-bulan ke depan.  Jadi ada panic buying. Atau bisa juga dijual ulang di pasar tradisional dengan harga Rp 19.000 - Rp 21.000 per liter dan dapat untung.
Tak heran dalam kurun waktu tiga bulan ini, para pedagang minyak goreng dadakan bermunculan di pasar-pasar. Pada tahap ini siapa mafia minyak goreng? Para pedagang eceran inikah? Bisa ya, bisa tidak.
Kelima, Ketika minyak goreng raib dan harganya tinggi, para pengusaha haus untung melirik bisnis minyak goreng yang gurih. Mereka memborong minyak goreng curah dari produsen dan langsung dikemas dengan merk baru. Tak heran munculah berbagai merk minyak goreng dengan kemasan merk baru. Ada merk Jujur, Ratu, Raja dan sebagainya. Harganya di atas HET. Pada tahap ini siapa mafia minyak goreng? Apakah para pengemas minyak goreng dadakan ini? Bisa ya, bisa tidak.
Keenam, Ketika masyarakat susah dan emak-emak panik dalam mendapatkan minyak goreng, partai politik juga ikut nimbrung. Tiba-tiba saja sejumlah partai politik seperti Demokrat, PSI, PKS membagikan minyak goreng. Dari mana partai ini mendapat minyak goreng? Apakah mereka menimbunnya juga demi keuntungan politik? Apakah mereka juga dapat disebut mafia minyak goreng? Bisa ya, bisa tidak.