Putusan sebagian besar para hakim Mahkamah Kehormatan Dewan di DPR (1/12/2015) yang melanjutkan sidang etik kasus catut Setya Novanto, dimaknai sebagai ‘kemenangan sementara’ Jokowi. Oleh karena Jokowi berada di pihak yang benar, di pihak rakyat, maka lanjutnya sidang etik itu juga dimaknai sebagai kemenangan sementara rakyat.
Sebelumnya, sidang kasus catut Novanto itu terancam ditutup di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) akibat manufer hakim MKD pro-Novanto. Hakim anggota MKD yang baru diganti dari Golkar melakukan berbagai manufer dan bertindak layaknya preman Pulogadung. Namun melalui mekanisme voting, sidang kode etik tetap dilanjutkan setelah para hakim yang memilih option melanjutkan sidang etik, menang.
Logika para anggota MKD terutama dari Golkar, sudah setara dengan logika anak TK. Seperti anak TK yang meminta mainan dengan merengek-rengek, Kahar Muzakir dari Golkar juga meminta dengan menggebrak meja agar kasus catut Novanto ditutup. Caranya, ia dan kawan-kawan terus-menerus mempersoalkan kembali legal standing Sudirman Said sebagai pihak pelapor dan keabsahan bukti rekaman. Padahal dua hal yang dipersoalkan itu telah dibahas dan diselesaikan sebelumnya.
Aksi preman para hakim MKD dari Golkar yang membela secara membabi buta Novanto, mencerminkan keinginan Golkar untuk menutup kasus itu. Bagi Golkar, kelanjutan sidang etik merupakan pertaruhan karir Setya Novanto sebagai ketua DPR. Dan karena Novanto dari Golkar, maka sidang etik itu juga merupakan pertaruhan Aburizal Bakri sebagai Ketua Umum Golkar. Konsekuensinya, Golkar harus dengan kasat mata mengintervensi MKD.
Manufer Golkar yang akan mengintervensi MKD itu jauh-jauh hari telah diprediksi banyak pihak. Maka sebagai responsnya, Jokowi berkali-kali mengatakan bahwa kasus catut itu dia percayakan sepenuhnya kepada MKD. Jokowi juga menambah kata ‘jangan diintervensi’ sebagai bentuk peringatan bagi Golkar dan Gerinda. Peringatan itu pun membuat Golkar dan KMP serba salah.
Tindakan Presiden Jokowi yang menyerahkan kasus catut itu di MKD dianggap sebagian besar rakyat sangat tepat. Tindakan itu dianggap sebagai sebuah respons yang pas, tepat dan cerdas. Dukungan rakyat kepada Presiden Jokowi pun mengalir deras untuk mengusut kasus catut itu lewat MKD. Akibatnya, sebagian besar hakim MKD dipaksa merubah haluan seperti yang diperlihatkan ketua Hakim MKD, Surahman Hidayat, dari PKS dan Demokrat. Namun bagi Golkar yang sudah terlanjur ‘basah’, tidak lagi menggubris peringatan itu.
Sinyal berbaliknya PKS dan tidak lagi membela Setya Novanto, mulai terlihat ketika Presiden PKS, Sohibul Iman, memerintahkan Fahri Hamzah untuk menghentikan koar-koarnya membela Novanto. Setelah perintah itu muncul, Fahri yang sebelumnya berbusa-busa mulutnya membela Novanto, tiba-tiba berubah bagai ‘singa’ jinak dan tidak mau lagi mengomentari kasus Novanto. Bagi PKS, tindakan membela Novanto adalah sebuah tindakan ‘bunuh diri bodoh’. Membela Novanto berarti membela kezaliman, kecurangan, pengkhianatan dan persengkokolan jahat.
Tindakan itu jelas akan semakin membuat PKS di mata rakyat semakin rusak pasca korupsi daging sapi mantan Presiden PKS sebelumnya. Kalkulasi PKS yang berkesimpulan bahwa membela Novanto lebih banyak ruginya daripada untungnya menimbulkan kesadaran politis para elit PKS. Lewat kesadaran politis itu, maka PKS akhirnya mengambil kesimpulan untuk tidak membela Novanto. Pada voting lanjutan sidang etik, ketua MKD dari PKS, terbukti ikut angkat tangan dan memilih untuk melanjutkan sidang kode etik kasus catut Novanto.
Manufer PKS yang berbalik badan dengan tidak lagi membela Novanto, jelas dimaknai sebagai sebuah ‘pengkhianatan’ oleh Golkar. Aburizal Bakri pun mulai berpikir ulang soal kebersamaan dengan PKS yang sering bertindak licik di saat-saat genting. Golkar yang sebelumnya mengharapkan dukungan penuh dari PKS untuk tidak meneruskan kasus catut itu, ternyata hanya pepesan kosong. PKS jelas telah bermain di dua kaki. Ketika rakyat, dan sebagian besar hakim MKD, terutama dari Demokrat, yang ingin melanjutkan siding kasus itu, maka PKS bermanufer, berkelit, mengambil keuntungan, mengambil kesempatan di antara kesempitan.
Golkar pun semakin sadar, bahwa eksisnya PKS di DPR karena kecerdasanya bermanufer, dan kelihaiannya membaca situasi. Ketika situasi genting, PKS selalu mengambil keuntungan yang memihak dirinya. Trik licik PKS itu sudah berulangkali diterapkan saat pemerintahan SBY, saat pemilihan pimpinan DPR dan sekarang dalam kasus Novanto. PKS percaya benar pada dogma bahwa dalam politik, tidak ada kawan sejati, yang ada adalah kepentingan sejati. Ketika PKS melihat bahwa sama sekali tidak lagi menguntungkan membela Novanto karena rakyat sudah muak kepada Novanto, maka PKS pun meninggalkan Novanto di tengah jalan sendirian. Jadilah PKS mengkhianati Golkar secara sadis. Golkar pun semakin sadar akan politik pragmatis PKS.
Pengkhianatan PKS itu jelas dimaknai sebagai tusukan dari belakang oleh Golkar. Kemarin (1/12/2015) yang seharusnya ada sidang Bamus di DPR dan dipimpin oleh Setya Novanto, tiba-tiba batal. Pembatalan sidang Bamus itu disebabkan karena Setya Novanto sedang stress setelah mendengar hasil sidang MKD yang tetap memproses kasusnya. Stresnya Novanto bisa dimaklumi karena gambaran hasil akhir dari sidang itu akan memutuskan untuk memecat dirinya. Jika dirinya akhirnya dipecat dari jabatan prestisius Ketua DPR, maka Novanto dalam hidupnya terus menyesal. Novanto akan selalu mengenang nasibnya yang berakhir dengan tragis.
Ketakutan Setya Novanto itu juga semakin beralasan ketika rekaman lengkap kasus catut itu beredar di tengah masyarakat. Hal yang mengejutkan adalah suara di dalam rekaman yang mengatakan bahwa: “Jika Jokowi nekat stop Freeport, jatuh dia”, akan semakin membuat rakyat marah dan juga Presiden Jokowi. Di dalam rekaman juga disebut nama Luhut 66 kali, lebih banyak disebut empat kali lipat dari rekaman sebelumnya yang hanya 16 kali. Namun demikian kendatipun namanya paling banyak disebut, Luhut tetap pelit berkomentar.
Diamnya Presiden Jokowi dan pernyataannya yang percaya penuh kepada MKD, sebetulnya hanya meminimalisir kegaduhan di tengah masyarakat. Pasalnya ada sinyal kuat bahwa Jokowi secara diam-diam telah memerintahkan Kejaksaan Agung, KPK dan Kepolisian untuk mengumpulkan bukti-bukti permufakatan jahat Novanto yang bisa melanggar hukum pidana. Hal itu semakin terlihat ketika Kapolri, Badrodin Haiti, menyatakan bahwa kasus catut Setya Novanto itu bisa dijerat dengan tiga pelanggaran pidana, yakni pencemaran nama baik yang melanggar Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 378 tentang Penipuan, dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Melihat hasil sidang MKD kemarin (1/12) yang memutuskan untuk melanjutkan sidang pelanggaran Novanto, maka peluang Novanto untuk lolos kali ini semakin menipis. Manufer-manufer Golkar untuk menyelamatkan Novanto juga semakin tidak karuan dan bahkan terlihat sebagai aksi ‘bunuh diri’. Maka dapat disimpulkan untuk sementara bahwa lanjutnya sidang kode MKD itu dimaknai sebagai bentuk kemenangan sementara Jokowi, memaksa PKS berkhianat dan membuat Setya Novanto stress yang berimbas pada kinerja DPR yang ikut stres, jalan di tempat dan hanya makan gaji buta dari pajak rakyat.
Salam Kompasiana,
Asaaro Lahagu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H