Selama lebih sepuluh tahun keberadaannya, KPK telah menjelma menjadi momok menakutkan bagi banyak pihak. Bagi DPR dan partai politik, KPK adalah ‘hantu berwujud’, lembaga ‘superbody’ yang setiap saat mengintai mereka dalam menikmati jabatannya. KPK bagaikan ‘buldozer’ yang menghancurkan karir para anggota DPR dan petinggi partai politik di negeri ini.
KPK telah ‘membuldozer’ karir mentereng sekaligus partainya Anas Urbaningrum (ketum Demokrat), Surya Dharma Ali (PPP), Lufthi Ishag (PKS). KPK juga berwujud sosok ‘hantu menakutkan’ bagi ketum PDIP (Megawati) terkait BLBI, ketum Nasdem (Surya Paloh) terkait kasus Patrice Rio Capella, Setya Novanto (ketua DPR) terkait ‘Papa Minta Saham’ itu.
Kekuatan buldozer KPK terletak pada senjata mematikan yang dia miliki yakni kewenangan penyadapan. Senjata mematikan ini terbukti sangat ampuh meruntuhkan berbagai argumen para tersangka KPK di pengadilan. Keampuhan senjata KPK itu, membuat para anggota DPR bersumpah untuk melucuti senjata maut itu dengan satu cara legal yakni revisi. Hanya dengan revisilah, maka KPK itu bisa dipreteli kewenangannya sehingga bisa berubah dari bulldozer menjadi ‘singa macan ompong tak bergigi’.
Maka koor bersahut-sahutan para anggota DPR terdengar nyaring sekali untuk merevisi UU KPK. Suara nyaring PDIP juga tak kalah nyaringnya memaksa Jokowi untuk menyetujui revisi. Pun Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menkumham Yasonna Laoly, Menko Polhukam, Luhut Pandjaitan bersuara bahwa revisi UU KPK amat dibutuhkan. KPK sendiri tak berkutik atas revisi UU KPK itu. Terjadilah persengkokolan legislatif, petinggi partai, pengusaha, pejabat pemerintah untuk merevisi UU KPK.
Menkumham Yasonna Laoly dipaksa ‘offside’ dan bermanufer ‘tanpa persetujuan’ Jokowi ikut menghadiri rapat dengan Baleg DPR (Jumat, 27/11/2015). Dalam pertemuan itu, diperoleh kesepakatan bahwa pemerintah akan mengusulkan RUU Pengampunan Pajak dan DPR akan mengusulkan RUU KPK. Kedua RUU akan dibahas dalam Prolegnas Prioritas 2015. Dengan demikian ada ‘barter’ DPR dengan pemerintah. Pemerintah akan menggarap RUU Tax Amnesty sebagai RUU inisiatif pemerintah dan DPR akan menggarap RUU KPK sebagai RUU inisiatif DPR 2015. Jadilah kongkalingkong pemerintah dan DPR yang berujung Capim KPK dilanjutkan oleh DPR dengan melakukan fit dan propert test.
Kesepakatan dengan pemerintah itu membuat DPR bersorak. Cita-cita mulia dan impian mereka selama ini untuk ‘menguatkan’ KPK akan mulai terwujud. Apa cita-cita ‘mulia’ DPR yang didukung penuh oleh PDIP itu? Mari kita lihat ke-14 cita-cita mulia DPR itu berdasarkan draft revisi yang telah beredar di media.
Pertama, KPK harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan untuk melakukan penyadapan. Izin penyadapan ini diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a RUU KPK, yang pada intinya mewajibkan KPK untuk memperoleh izin penyadapan dari Ketua Pengadilan Negeri. Permintaan izin penyadapan ini akan membuat para anggota DPR bisa bernafas. Bila ada penyadapan terhadap dirinya, maka besar kemungkinan informasi penyadapan akan bocor terlebih dahulu.
Kedua, KPK dapat menghentikan penyidikan perkara korupsi. Salah satu keistimewaan KPK saat ini adalah tidak adanya mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan juga penuntutan (Pasal 40 UU KPK). Hal ini adalah salah satu parameter yang menjamin kualitas penanganan perkara di KPK yang harus dipastikan sangat matang, dan sudah dibuktikan pula melalui pembuktian bersalah di pengadilan yang mencapai angka sempurna (100 % conviction rate). Kewenangan menerbitkan SP3 ini membuat DPR bisa meminta agar sebuah kasus dihentikan alias di-SP3-kan.
Ketiga, penyitaan harus dengan izin Ketua Pengadilan Negeri. Pasal 49 Ayat 1 RUU KPK mengatur penyitaan oleh KPK harus dengan izin Ketua Pengadilan Negeri. Padahal sebelumnya (dalam UU KPK yang berlaku) penyitaan KPK dapat dilakukan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri.
Keempat, KPK wajib lapor ke Kejaksaan dan Polri ketika menangani perkara korupsi. Pasal 52 Revisi Undang-Undang KPK menyebutkan bahwa KPK wajib memberi notifikasi (pemberitahuan) kepada Kepolisian dan Kejaksaan ketika menangani perkara korupsi. Kewajiban ini menempatkan KPK dalam posisi di bawah Kejaksaan dan Kepolisian, karena dalam Revisi Undang-Undang KPK ini, kewajiban tersebut hanya ada bagi KPK tapi tidak bagi Kejaksaan dan Kepolisian.
Kelima, umur KPK dibatasi hanya 12 tahun. Pasal 5 dan Pasal 73 Revisi UU KPK ini menyebutkan secara spesifik bahwa usia KPK hanya 12 tahun sejak Revisi UU KPK disahkan. Pembubaran KPK secara permanen melalui Revisi UU KPK yang disahkan, akan menjadi berita gembira bagi DPR yang sudah lama memimpikan pembubaran KPK.
Keenam, KPK tidak lagi memiliki tugas dan kewenangan melakukan penuntutan. Tugas KPK dibidang penindakan hanya melakukan penyelidikan dan dan penyidikan. Sedangkan penuntutan dikembalikan kepada Kejaksaan Agung. Dalam Revisi UU KPK ini, disebutkan bahwa yang berhak menuntut adalah Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Agung, atau Penuntut Umum sebagaimana yang diatur dalam KUHAP.
Ketujuh, pembentukan Dewan Kehormatan KPK. Lembaga baru yang muncul dalam RUU KPK adalah "Dewan Kehormatan". Kewenangan dari Dewan Kehormatan sangat besar salah satunya adalah kewenangan melakukan pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap sebagai pegawai KPK. Kewenangan ini justru tumpang tindak kewenangan pengawas internal dan bahkan pimpinan KPK.
Kedelapan, KPK hanya bisa menangani perkara korupsi dengan kerugian negara Rp 50 Miliar ke atas. Sedangkan kasus korupsi dibawah Rp 50 miliar, maka KPK harus menyerahkan penyidikan kepada kepolisian dan kejaksaan. Ini berita gembira bagi para anggota DPR karena mereka akan bermain anggaran di bawah Rp 50 miliar.
Kesembilan, KPK lebih diarahkan kepada tugas pencegahan Korupsi. Jadi ke depan KPK adalah Komisi Pencegahan Korupsi dan bukan lagi Komisi Pemberantasan Korupsi. Upaya mendorong KPK menjadi lembaga pencegahan korupsi dapat dilihat secara jelas dalam sejumlah pasal Revisi UU KPK, yaitu Pasal 1 angka 3 yang berbunyi: “Pemberantasan korupsi adalah serangkaian kegiatan untuk mencegah dan memberantas terjadinya tindak pidana korupsi melalui koordinasi, supervisi, monitoring penyelenggaraan negara yang berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi”.
Kesepuluh, KPK tidak dapat membuat perwakilan di daerah Provinsi. Ketentuan lain yang hilang dalam RUU UU KPK adalah ketentuan mengenai pembentukan perwakilan KPK di provinsi. Padahal dalam UU KPK yang saat ini berlaku (Pasal 16) KPK memiliki kewenangan untuk membentuk kantor perwakilan di daerah Provinsi.
Kesebelas, KPK tidak bisa melakukan rekrutmen pegawai secara mandiri. Pasal 25 ayat (2) Revisi UU KPK pada intinya menyebutkan bahwa KPK tidak bisa melakukan rekrutmen pegawai mandiri. Karena yang dapat menjadi pegawai KPK adalah pegawai negeri yang berasal dari Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangungan, dan Kementerian Komunikasi dan Informasi. Ini menandakan bahwa KPK tidak lagi dapat mengangkat pegawainya secara mandiri.
Keduabelas, KPK tidak dapat mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri. KPK kehilangan kemandiriannya dalam melakukan rekrutmen pegawai dan penyidik. Serupa dengan definisi pegawai KPK yang disebutkan dalam Pasal 25 ayat (2) Revisi UU KPK, mendatang penyelidik dan penyidik KPK pun dibatasi hanya dapat dipilih dari unsur Kepolisian dan Kejaksaan, berdasarkan usulan dari masing-masing lembaga, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 41 ayat (3) Revisi UU KPK.
Ketigabelas, pemberhentian penyelidik dan penyidik harus berdasarkan usulan Kejaksaan dan Polri. Selain pengangkatan penyelidik dan penyidik yang harus didasarkan oleh usulan Kejaksaan dan Polri, Pasal 45 ayat (1) Revisi UU KPK menyebutkan pula bahwa pemberhentian penyelidik dan penyidik juga harus didasarkan oleh usulan dari Kejaksaan dan Kepolisian. Hal ini betul-betul memangkas kemandirian dan otoritas KPK dalam menjalankan kepentingan organisasionalnya, karena harus menggantungkan diri pada usulan dan keputusan dari lembaga lain.
Keempatbelas, menjadikan KPK sebagai Lembaga Panti Jompo. Berdasarkan Pasal 30 Revisi UU KPK, salah satu syarat menjadi pimpinan KPK adalah berumur sekurang-kurangnya 50 tahun dan setinggi-tinginya 65 tahun. Syarat ini hanya akan dipenuhi oleh para manula atau pensiunan pejabat atau orang-orang jompo. Padahal sebelumnya dalam UU KPK, disebutkan bahwa syarat minimal menjadi pimpinan KPK adalah 40 tahun.
Itulah ke-14 cita-cita dan impian para anggota DPR terkait KPK. Jika cita-cita itu terwujud melalui revisi UU KPK, maka para anggota DPR plus PDIP akan bersorak dan menari-nari. Tarian luar biasa mungkin akan dipertontonkan oleh Fahri Hamzah yang selama ini sangat bernafsu membubarkan KPK. Apakah cita-cita DPR plus PDIP akan dengan mudah terwujud?
***
Melihat tekanan bertubi-tubi dari berbagai pihak untuk merevisi UU KPK, maka ketegaran dan ketahanan Jokowi benar-benar diuji. Langkah Menkumham Yasonna Laoly yang sangat ngotot merevisi UU KPK menjadi duri dalam daging Jokowi. Hal yang mengejutkan adalah apakah kesepakatan antara Menkumham Laoly dengan Baleg DPR (27/11/2015) itu seizin Jokowi? Bukankah revisi UU KPK telah diputuskan ditunda? Lalu mengapa tiba-tiba mencuat kembali? Fakta sebelumnya, langkah-langkah Yasonna terkait revisi UU KPK itu terbukti tidak sepengetahuan Jokowi. Jika seizin Jokowi, itu berarti pertanda bahwa revisi UU KPK tak bisa dihindarkan. Lalu apa yang bisa dibuat untuk mencegah revisi UU KPK itu?
Pertama, seluruh masyarakat, lembaga-lembaga dan organisasi kemasyarakatan, harus bersuara lebih keras untuk mencegah pelemahan KPK. Kedua, Jokowi harus berani berkata ‘tidak’ dengan revisi dengan tidak mengeluarkan Surpres. Jika Presiden menginginkan revisi, Presiden akan menerbitkan surat presiden (surpres). Pasal 49 dan Pasal 50 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan pembahasan suatu RUU dapat dilakukan ketika Presiden menerbitkan surpres. Artinya, tanpa adanya surpres, pembahasan terhadap revisi UU KPK tidak akan dapat dilaksanakan.
Namun jika Presiden Jokowi menyerah kepada tekanan, maka revisi UU KPK tak terhindarkan. Sinyalnya sudah mulai terlihat ketika revisi UU KPK itu masuk prolegnas 2015 dan akan dibahas pada tahun 2016. Dan sebagaimana telah diungkapkan dari draft revisi UU KPK di atas, ke-14 cita-cita mulia DPR plus PDIP akan terwujud. Jika demikian, ke depan kita akan melihat KPK yang mengharukan, tak ubahnya seperti sebuah institusi pajangan di etalase, yang sama sekali tidak bergigi dalam memberantas korupsi di negeri ini. KPK pun akan hilang ditelan zaman.
Salam Kompasiana,
Asaaro Lahagu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H