Saat permulaan tahun ajaran baru ini, Menteri Anies Baswedan, sibuk mengunjungi sekolah dan memastikan bahwa praktek kekerasan atau perpeloncoan pada masa orientasi siswa (MOS). Sebelumnya Menteri Anies telah mengedarkan surat panduan pelaksanaan MOS di seluruh sekolah di Indonesia. Namun himbauan dan panduan dari Menteri Anies itu tak digubris. Malah Menteri Anis sendiri saat meninjau sebuah sekolah, menemukan sendiri praktek kekerasan atau perpeloncoan di kalangan siswa.
Surat edaran dengan nomor 59389/MPK/PD/2015 yang dikeluarkan pada 24 Juli 2015 tersebut ditujukan kepada Gubernur, Bupati, dan Wali Kota seluruh Indonesia. Ada dua poin penting yang disebutkan dalam surat edaran ini.
Pertama, para Gubernur, Bupati, dan Wali Kota diminta untuk menginstruksikan kepada Kepala Dinas Pendidikan untuk mengantisipasi dan memastikan bahwa dalam pelaksanaan orientasi peserta didik baru tidak ada praktik dan atau menjurus pada praktik perpeloncoan, pelecehan, kekerasan terhadap peserta didik baru baik secara fisik, maupun psikologis yang dilakukan di dalam dan luar sekolah.
Dalam melakukan masa orientasi peserta didik baru (MOPD), tugas penting sekolah adalah mengenalkan program sekolah, lingkungan sekolah, cara belajar, dan penanaman konsep pengenalan diri, kegiatan kepramukaan dan kegiatan lainnya. Kakak kelas atau alumni, dilarang untuk mempermainkan atau melakukan tindak perpeloncoan, pelecehan, dan atau kekerasan terhadap adik kelas.
Selama MOPD, sekolah juga tidak boleh memungut biaya dan membebani orang tua/wali dalam bentuk apapun. Kepala sekolah juga harus mengetahui isi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 55 tahun 2014 tentang Masa Orientasi Peserta Didik Baru di Sekolah, dan wajib menginformasikannya kepada para pelaksana di sekolah masing-masing.
Dalam surat edaran itu pula tertulis bahwa dinas pendidikan harus memastikan bahwa kepala sekolah, wakil kepala sekolah, wali kelas, dan guru adalah pihak yang bertanggung jawab sepenuhnya atas penyiapan dan pelaksanaan kegiatan orinetasi peserta didik baru. Jika tindak kekerasan, perpeloncoan maupun pelecehan tetap terjadi, maka dinas pendidikan dapat melakukan tindakan dan atau hukuman disiplin sesuai kewenangannya.
Kedua, Mendikbud mengimbau kepada masyarakat khususnya orang tua/wali peserta didik untuk memantau dan mengawasi pelaksanaan orientasi peserta didik baru. Orang tua/wali diminta melaporkan jika ada penyimpangan melalui laman: http://mopd.kemdikbud.go.id, atau melalui dinas pendidikan setempat.
Lalu apa yang salah dalam surat edaran Menteri Anies itu?
Pertama, Menteri Anies memberikan surat edaran yang isinya setengah-setengah melarang MOS di setiap sekolah. Saya lebih setuju dengan kebijakan Menteri Yuddy Chrisnandi, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Indonesia yang dengan tegas melarang pejabat negara menggunakan hotel untuk melakukan apapun kegiatannya. Jadi seharusnya Menteri Anies harus melarang tegas pelaksanaan MOS di setiap sekolah mulai tahun pelajaran 2015-2016. MOS harus dilarang. Setiap sekolah tidak boleh mengadakan MOS. Begitu sekolah masuk, langsung mulai belajar. Soal penjelasan mata pelajaran, buku, lingkungan dan sebagainnya bisa dilakukan di kelas oleh wali kelasnya langsung. Pengenalan lingkungan, dapat dilakukan oleh siswa itu sendiri secara pelan-pelan seiring dengan perjalanan waktu.
Kedua, Menteri Anies tidak langsung menginstruksikan setiap sekolah di Indonesia untuk melarang MOS. Malah Menteri Anies memakai agen yakni para kepala daerah. Para kepala daerah diminta menginstruksikan kepada kepala dinas agar memerintahkan sekolah mematuhi rambu-rambu MOS yang telah diedarkannya. Nah, di sini persoalannya. Semakin panjang perantara, maka instruksi semakin lemah. Menteri-Kepala Daerah-Kepala Dinas-Ketua Yayasan-Kepala Sekolah-Panitia MOS.
Ketiga, Menteri Anies masih belum belajar karakter bangsa Indonesia. Karakter bangsa Indonesia adalah ibarat pahat, kalau tidak dipukul, maka pahat itu tidak menancap dan melubangi kayu. Menteri Anies seharusnya mencontoh Ahok yang lebih galak, lebih agresif dalam membenahi Jakarta. Pendidikan di Indonesia juga sudah lama carut-marut, perlu ketegasan, agresif, garang, keras dan revolusioner dalam membenahi pendidikan di Indonesia. Mental Indonesia itu masih mental jajahan, kalau tidak dipaksa maka akan dimain-mainkan.