Mohon tunggu...
Komunitas Lagi Nulis
Komunitas Lagi Nulis Mohon Tunggu... Penulis - Komunitas menulis

Komunitas Penulis Muda Tanah Air dari Seluruh Dunia. Memiliki Visi Untuk Menyebarkan Virus Semangat Menulis Kepada Seluruh Pemuda Indonesia. Semua Tulisan Ini Ditulis Oleh Anggota Komunitas LagiNulis.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jawaban dari London

27 Juni 2022   11:21 Diperbarui: 27 Juni 2022   14:57 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
web.500px.com via Pinterest

https://pin.it/1J9n8c6 

Oleh : Nur Septiani

           Sebuah bingkai segi empat berukuran 12 x 18 cm itu terlihat cantik menghiasi foto keluarga kecil bahagia. Aku, ayah, ibu dan Kahill, kakak laki-lakiku. Foto berlatar rumah bernuansa Eropa, terlihat asri dan nyaman. Ibu bilang, itu adalah rumah kami yang dulu saat keluarga ini masih lengkap. Di pojok kanannya terlihat goresan bertinta hitam dengan tulisan London, 2 Januari 2009. Namun, kebahagiaan itu tidak bisa lagi kurasakan sekarang. Kehidupanku tidak lagi lengkap tanpa ayah dan kakak. Di usiaku yang menginjak 17 tahun, aku harus kehilangan mereka. Ayah meninggal saat aku berusia sepuluh tahun. Tak lama setelah kejadian itu, Kak Kahlil bertolak ke London tanpa meninggalkan alasan apapun. Kepergian keduanya belum kuketahui dengan jelas hingga saat ini. Ibu pun tak pernah membahasnya denganku.

            "Bu, aku izin kuliah di London, yah?" Ini adalah kalimat yang tepat untuk meminta izin ke Ibu. Aku perlu mencari tahu tentang Kak Kahill. Selain itu, Aku memang berencana akan berkuliah di London dengan mengambil jurusan hukum. Sesuai hasil risetku, London lah salah satu kampus terbaik untuk jurusan hukum. Aku bercita-cita menjadi seorang hakim yang transparan dan adil pada semua kasus, karena apa yang terjadi pada ayahku tak akan kubiarkan terjadi lagi.

            "Bagaimana bisa orang itu menabrak Ayahku hingga meninggal lalu lari begitu saja tanpa mempertanggunjawabkan semuanya? Sadis sekali. Ingin rasanya Aku mengoyak-ngoyak orang itu hingga habis." batinku.

            Ibu yang saat itu bersamaku di depan televisi terdiam

 Tidak seperti biasanya, ibu menatapku dengan tajam dan wajahnya seketika memerah.

            "Boleh, Bu?" Sekali lagi Aku bertanya kepada ibu. Sama saja, Ia tak merespon. Ibu langsung beranjak dari duduknya lalu berjalan membelakangiku.

            "Ibu tidak ingin sendirian. Ibu telah kehilangan Ayah, lalu ditinggal oleh Kahill si brengsek itu. Ibu tidak mau kamu seperti dia."  ujar Ibu samar-samar. Tubuhnya telah lenyap di balik pintu toilet. Kerut di keningku tak bisa lagi disembunyikan. Mengapa Ibu mengatakan Kak Kahlil adalah si brengsek?

            Pakaian ibu sedikit basah saat keluar dari toilet. Tangannya terus meremas-remas bajunya sambil berjalan menuju dapur lalu kulihat Ia meneguk dua pil kuning. Dari jauh kupandangi ibu yang sekarang sedang melamun. Aku selalu kasihan melihatnya saat harus mengkonsumsi obat-obatan sebanyak itu. Jika perasaannya tak bisa lagi terkendali, dua bahkan lebih banyak pil yang Ia masukkan dalam tubuhnya.

            Sejak remaja, ibu terkena agitasi, yaitu perasaan gelisah, jengkel, dan marah yang umumnya bisa membuat orang mondar-mandir atau meremas-remas tangan tanpa henti. Dokter bilang itu adalah hal yang normal, tetapi semakin lama hal itu bisa menjadi gangguan mental dan berbahaya buat diri sendiri, juga orang lain. Apalagi sejak kepergian ayah dan Kak Kahlil,  ibu selalu terlihat tidak karuan. Emosinya selalu berubah-ubah. Itulah mengapa Aku selalu berhati-hati saat berbicara dengannya.

            "Mungkin sudah waktunya Ibu ceritakan. Ibu tahu, sudah lama Kamu memikirkan dan bertanya-tanya tentang ini semua," Aku kaget saat Ibu muncul tiba-tiba di dalam kamarku ketika aku selesai membereskan meja belajarku.

            "Kakakmu telah jahat kepada keluarga kita. Dialah yang menyebabkan Ayah meninggal. Jika Kahill tidak melakukannya, mungkin Ayah tidak akan tertabrak," lanjutnya dengan nada marah. Tangannya menggenggam erat bingkai foto yang kulihat tadi.

            "Sewaktu Kahill duduk di kelas 3 SMP, ia meminta Ayah untuk menjemputnya saat pulang sekolah. Bertemulah mereka di depan gerbang sekolah lalu meninggalkan sekolah. Hujan turun sangat deras, tetapi mereka memutuskan untuk terus berjalan menerobos hujan. Jalanan lengang saat mereka hendak menyeberang jalan. Betapa terkejutnya Ayah ketika Kahill tiba-tiba mendorongnya di tengah jalan yang penuh kabut itu. Tak ada yang terlihat jelas, pun dengan suara selain rintik hujan. Ayah mencoba berdiri sendiri saat Kahill berlari lebih dulu menuju tepi jalan. Sialnya, mobil dengan kecepatan tinggi lebih dulu menghantam tubuh Ayah. Saat itulah ..." Air mata ibu berderai keras sebelum cerita itu benar-benar selesai.

            Aku mengusap bahu ibu dan mencoba memeluknya. Tangisnya semakin menjadi. Aku mengurungkan untuk menanyakan mengapa Kahill melakukan hal tersebut, apalagi di usianya yang masih muda.

            "Apakah itu sebab dia melarikan diri ke London?"

            "Lalu, mengapa orang yang menabrak Ayah tak dimintai pertanggungjwabannya?" semua pertanyaan itu berkelabat di kepalaku. Semuanya kurasa menjadi lebih rumit.

            Ibu tak berhenti memukul-mukul dirinya. Gusar di wajahnya tak bisa lagi dibendungnya. Hal yang kembali Aku takutkan adalah saat wajahnya kembali merah padam lalu meremas-remas tangannya. Ia segera mengusap air matanya secara kasar dan terburu-buru. Dengan napas yang belum teratur, Ia begitu saja berjalan lalu berlari keluar dari kamarku. Aku segera mengejarnya, takut jika terjadi apa-apa.

            "Jangan ikuti Ibu, Ibu baik-baik saja." Aku kembali ke kamar dengan perasaan kacau. Aku terduduk di lantai kamar. Kusandarkan kepalaku di tepi kasur, lalu menangis sejadi-jadinya.

            Matahari telah redup dari tilam peraduannya. Waktu terasa begitu cepat berlalu. Aku telah menangis berjam-jam dan sekarang mataku sangat sembab. Aku juga merasakan pusing, hingga otot leher sedikit ngilu.

            "Ting." Suara notif tanda email masuk. Setelah mencuci muka, Aku membuka laptop. Sambil memijat-mijat kening, Aku mulai membaca email tersebut.

   

xxxk404@gmail.com to me

Hai, Agalia Gilvi. Apa kabarmu?

            Aku tahu sekarang umurmu sudah menginjak 17 tahun. Sebentar lagi akan mengenal dunia perkuliahan. Selamat, yah. 

            Selain umurmu, Aku juga tahu bahwa selama ini Kamu mendapatkan informasi yang ambigu tentang keluarga kecilmu. Tentang penyebab Ayahmu meninggal, Kakakmu yang pergi begitu saja. Aku merasa sekarang kamu sudah cukup dewasa untuk mengerti semuanya. Kamu akan menemukan jawabannya di email ini. Tapi tolong, lihat dan bacalah dengan cermat. Lihat dan bacalah hingga tuntas. 

*satu file video*

*beberapa file foto*

 

            Rasa penasaranku sangat menggebu-gebu. Aku mengklik file-file tersebut dan sepanjang video, Aku hanya menutup mulut menyaksikan pertengkaran hebat antara dua orang. Jantungku berdegup dengan kencang. Apa ini?

            Potongan video terakhir aku melihat sebilah pisau ditancapkan ke tubuh ayah berkali-kali tanpa jeda. Tanganku seketika gemetar hebat seiring dengan keringatku yang terus mengalir. Otakku membeku lalu keluh menguasai lidahku saat Aku melihat bahwa pelakunya adalah ibuku sendiri. Hampir saja Aku berteriak kencang.

            Satu video itu telah membuatku hampir gila. Butuh waktu untuk mencernanya. Aku merasa tidak bisa melanjutkan melihat foto-foto yang lainnya.

"Tidak mungkin, ini tidak mungkin." Aku menggeleng keras. Aliran darahku memanas dan sebentar lagi kurasa akan berhenti.

            Dengan tangan bergetar, aku menggeser pesan email itu ke bawah dan membaca kalimat akhirnya.

            Saat pertama kali melihatnya kamu mungkin tidak menyangka. Tapi aku punya semua bukti kuat, pun dengan alasanku diusir oleh Ibu ke London. Jika kamu benar-benar ingin tahu datanglah ke London. 

Hati-hati di sana

From: Kahill Sabastian, Kakakmu yang mungkin saat ini kau benci.

            "Aaa ..." Leherku seperti tercekik. Jantungku pilu teriris. Napas ini serasa akan benar-benar berhenti. Benar, darah telah mengalir keluar dari tubuhku. Aku menoleh ke kanan dan hanya wajah ibu yang kulihat.

"Ka..kauu...ber..boo, berbohong, Ibuu!" Aku melihat ke bawah. Sebuah pisau telah tertanam dari arah belakang menembus perutku.

***

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun