Mohon tunggu...
Komunitas Lagi Nulis
Komunitas Lagi Nulis Mohon Tunggu... Penulis - Komunitas menulis

Komunitas Penulis Muda Tanah Air dari Seluruh Dunia. Memiliki Visi Untuk Menyebarkan Virus Semangat Menulis Kepada Seluruh Pemuda Indonesia. Semua Tulisan Ini Ditulis Oleh Anggota Komunitas LagiNulis.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jawaban dari London

27 Juni 2022   11:21 Diperbarui: 27 Juni 2022   14:57 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            "Mungkin sudah waktunya Ibu ceritakan. Ibu tahu, sudah lama Kamu memikirkan dan bertanya-tanya tentang ini semua," Aku kaget saat Ibu muncul tiba-tiba di dalam kamarku ketika aku selesai membereskan meja belajarku.

            "Kakakmu telah jahat kepada keluarga kita. Dialah yang menyebabkan Ayah meninggal. Jika Kahill tidak melakukannya, mungkin Ayah tidak akan tertabrak," lanjutnya dengan nada marah. Tangannya menggenggam erat bingkai foto yang kulihat tadi.

            "Sewaktu Kahill duduk di kelas 3 SMP, ia meminta Ayah untuk menjemputnya saat pulang sekolah. Bertemulah mereka di depan gerbang sekolah lalu meninggalkan sekolah. Hujan turun sangat deras, tetapi mereka memutuskan untuk terus berjalan menerobos hujan. Jalanan lengang saat mereka hendak menyeberang jalan. Betapa terkejutnya Ayah ketika Kahill tiba-tiba mendorongnya di tengah jalan yang penuh kabut itu. Tak ada yang terlihat jelas, pun dengan suara selain rintik hujan. Ayah mencoba berdiri sendiri saat Kahill berlari lebih dulu menuju tepi jalan. Sialnya, mobil dengan kecepatan tinggi lebih dulu menghantam tubuh Ayah. Saat itulah ..." Air mata ibu berderai keras sebelum cerita itu benar-benar selesai.

            Aku mengusap bahu ibu dan mencoba memeluknya. Tangisnya semakin menjadi. Aku mengurungkan untuk menanyakan mengapa Kahill melakukan hal tersebut, apalagi di usianya yang masih muda.

            "Apakah itu sebab dia melarikan diri ke London?"

            "Lalu, mengapa orang yang menabrak Ayah tak dimintai pertanggungjwabannya?" semua pertanyaan itu berkelabat di kepalaku. Semuanya kurasa menjadi lebih rumit.

            Ibu tak berhenti memukul-mukul dirinya. Gusar di wajahnya tak bisa lagi dibendungnya. Hal yang kembali Aku takutkan adalah saat wajahnya kembali merah padam lalu meremas-remas tangannya. Ia segera mengusap air matanya secara kasar dan terburu-buru. Dengan napas yang belum teratur, Ia begitu saja berjalan lalu berlari keluar dari kamarku. Aku segera mengejarnya, takut jika terjadi apa-apa.

            "Jangan ikuti Ibu, Ibu baik-baik saja." Aku kembali ke kamar dengan perasaan kacau. Aku terduduk di lantai kamar. Kusandarkan kepalaku di tepi kasur, lalu menangis sejadi-jadinya.

            Matahari telah redup dari tilam peraduannya. Waktu terasa begitu cepat berlalu. Aku telah menangis berjam-jam dan sekarang mataku sangat sembab. Aku juga merasakan pusing, hingga otot leher sedikit ngilu.

            "Ting." Suara notif tanda email masuk. Setelah mencuci muka, Aku membuka laptop. Sambil memijat-mijat kening, Aku mulai membaca email tersebut.

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun