Oleh : Anjar Novi
Demi masa sesungguhnya manusia kerugian.
Melainkan yang beriman dan yang beramal saleh.
Gunakan kesempatan yang masih diberi moga kita takkan menyesal.
Masa usia kita jangan disiakan karena ia takkan kembali.
Â
Sebuah nasihat yang dikemas indah melalui sebuah lagu. Bait yang kita baca sebelumnya merupakan potongan syair dari lagu religi sekitar tahun 2000-an.Â
Lagu dengan judul "Demi Masa" ini dipopulerkan oleh grup nasyid asal Malaysia, Raihan. Liriknya dapat membuat siapa saja yang mendengar untuk bermuhasabah diri. Bagaimana lirik lagu tersebut menasihati kita untuk menghargai waktu yang kita miliki.Â
Nasihat dalam lagu ini sangat jelas didasarkan pada firman Allah Ta'ala dalam Surah Al-Ashr, yang menyebutkan bahwa manusia sesungguhnya ada dalam sebuah kerugian.
Kita menyadari bahwa waktu yang kita miliki di dunia ini sangatlah terbatas. Kehidupan kita sesungguhnya berpacu dengan perputaran waktu yang terus melaju.Â
Kita tak akan pernah bisa kembali ke masa lalu. Hari-hari yang kita lalui terus saja maju, bahkan tanpa kita mau. Usia kita kian bertambah. Â Lalu sudah sampai mana pencapaian kita? Seperti sambungan syair di atas, jangan sampai kita menyesal sebab kehilangan perkara-perkara yang harusnya sudah kita capai dalam kehidupan.
Bukankah masing-masing dari kita memiliki waktu yang sama? 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu, 30 hari dalam sebulan, dan 365 hari dalam setahun.Â
Tapi mengapa pencapaian setiap dari kita berbeda? Iya, karena setiap dari kita menyikapi waktu secara tak sama. Lalu apabila nanti saat masanya tiba, jangan sampai ada rasa sesal yang tiada guna. Naudzubillah.
Kehidupan kita sebenarnya selalu dikelilingi oleh waktu. Saling kejar-mengejar untuk mewujudkan target-target yang baru. Waktu berlalu begitu cepat tanpa kita sadari. Bahkan seringkali mengungguli diri dalam mencapai misi. Ia juga tak mau menunggu saat kita sedang berhenti.Â
Iya, sebagian dari kita pasti menyadari bahwa waktu begitu berharga karena tak akan pernah ada pengulangan olehnya. Membuat orang berlomba-lomba untuk mendapatkan kesuksesan dan kesenangan sebelum waktu terampas dari dirinya.Â
Lalu, apakah kita termasuk di dalamnya? Apakah kita adalah salah satu manusia yang bijak saat membagi waktu dalam keseharian yang entah sampai kapan adanya?
Sebab memikirkan tentang kehidupan tak akan pernah ada habisnya. Jasad yang sehat membuat kita terlena. Menikmati ilusi waktu yang sesungguhnya fana.Â
Mengejar mimpi-mimpi indah hingga peluh membasahi tubuh. Meski seringkali bertemu dengan keinginan-keinginan indah yang tak sesuai harapnya. Membuat diri menangisi nasib yang tak tentu arah, atau merutuki waktu yang tak bersabahat dengan kita.
Suatu waktu ada kalanya kita merenung. Memikirkan hakikat kehidupan yang sedang kita jalani detik ini. Ketika impian-impian datang silih berganti disertai usaha yang tak henti-henti. Ah, mimpi memang selalu indah. Ia dapat menyebarkan energi positif pada tiap-tiap bagian langkah.Â
Namun penahkah kita berpikir sejenak, mengapa kita hidup? Sebenarnya apa tujuan kita diciptakan? Bukankah kehadiran kita di dunia hanyalah sementara?
Lalu kita bertanya-tanya, mengapa dunia diciptakan dengan begitu banyak pesona? Dunia begitu gemerlap, kerlap-kerlip laksana permata. Sebagian dari kita mungkin pernah berpikir bahwa dunia diciptakan untuk dinikmati manusia.Â
Manusia sengaja diciptakan sebagai penguasa alam semesta. Banyak dari kita yang akhirnya terperosok jauh mengikuti arusnya, mengejar gemerlap dunia yang sesungguhnya hanya permainan belaka.
Banyak dari kita yang tak sadar betapa dunia menjadikan kita laksana budak. Sadar atau tidak kita selalu mengutamakannya, mencarinya kemana-mana, hingga lupa bahwa kita hanyalah bagian kecil dari makhluk ciptaan-Nya. Kehidupan dunia memang dibuat indah.Â
Namun tetap saja ia memiliki batas, ia terbatas dalam ruang dan waktu. Kehidupan yang kita jalani sekarang bukan layaknya lingkaran yang tiada ujung dan pangkal, ia selayaknya garis lurus yang pada batasnya akan menemukan titik akhir yaitu kematian.
Kehidupan dan kematian sesungguhnya adalah sebuah pola yang saling terhubung. Kehidupan bagi kita seorang muslim adalah media untuk mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya.Â
Bekal inilah yang nantinya akan kita bawa sebagai pemberat timbangan tiket masuk ke surga-Nya. Kita sendiri meyakini bahwa setiap amalan yang kita lakukan pasti memiliki kadar pahala.
Kita mengetahui secara pasti bahwa lamanya usia kita adalah hak mutlak dari Sang Pencipta. Lamanya usia kita tak dapat diperpanjang maupun diperpendek. Oleh sebab itulah orang-orang beriman saling berlomba-lomba untuk mengumpulkan bekal pulang.Â
Menjadikan mereka siap kapan pun waktunya datang. Mereka menyadari bahwa dunia hanyalah tempat singgah dengan sifatnya yang fana. Lalu, bagaimana dengan kita? Sudahkah kita berlari mengejar serta mengumpulkan bekal untuk dibawa nanti?
Membicarakan kematian pasti tak lepas dari bayang-bayang kengerian. Kematian merupakan hal yang masih banyak ditakuti oleh sebagian dari kita. Baik kematian yang akan datang kepada kita maupun kematian yang datang kepada orang-orang terkasih. Banyak yang memiliki pemahaman dalam dirinya bahwa kematian adalah pemutus segala kesenangan dan kenikmatan di dunia.
Khomaruddin Hidayat menyebutkan bahwa secara psikologis, sesungguhnya setiap manusia itu menolak kematian. Setiap orang sebenarnya dibayangi oleh rasa takut pada situasi yang tidak nyaman seperti sakit dan celaka. Oleh sebab itu, semua orang akan berusaha sebisa mungkin menghindari jalan kearah gerbang kematian.[1]
 Allah berfirman dalam Alquran, "Dan mereka berkata: Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja." (QS. Al-Jatsiyah: 24)
 Secara sederhana, Alquran turut mengemukakan pengertian yang hampir sama tanpa terdapat perubahan maksud. Alquran menunjukkan bahwa setiap makhluk yang bernyawa (ruh) pasti mati, bahkan alam dunia pun akan diakhiri dengan mati (kiamat).Â
Oleh karena itu, kematian adalah suatu kepastian, dan tiada satu pun yang dapat melarikan diri daripadanya; dan bahkan mati yang akan mendatanginya. Di sini Alquran justru mensifatkan mati sebagai sunah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang umum bagi segala kejadian.Â
Di samping itu, mati merupakan perkara gaib yang tidak diketahui oleh manusia, bahkan peristiwa kejadiannya berlaku pada setiap detik (lahzah), masa (waqt) dan pada setiap jiwa (nafs) menuju untuk menerima ajal.[2]
[1] Mega Herdina. Oktober 2013. "Konsep Komaruddin Hidayat Tentang Terapi Ketakutan Terhadap Kematian". Studia Insania Vol. 1 No. 2.
[2] Umar Latif. Juli - Desember 2016. "Konsep Mati Dan Hidup Dalam Islam (Pemahaman Berdasarkan Konsep Eskatologis)" Jurnal Al-Bayan Vol 22 No.34.
Kita harus memahami sebenarnya umur yang kita miliki mempunyai makna positif yang bertalian dengan tingkat produktivitas. Kita menyadari bahwa orang yang berumur panjang artinya yang berhasil meraih kemakmuran hidup.Â
Idealnya adalah kemakmuran dalam hal harta, ilmu dan amal. Jadi, sekalipun orang dikatakan memiliki umur panjang tetapi kalau hidupnya tidak produktif sama halnya dengan umur pendek atau bahkan mengalami kebangkrutan dalam umurnya karena fasilitas usia yang dimiliki tidak digunakan secara efisien dan produktif.[3]Â
Karena konsep panjang umur berkaitan dengan produktivitas maka seorang manusia tidak saja dituntut untuk melakukan kerja keras, namun juga bekerja secara efektif dan cerdas. Untuk meraih itu mutlak diperlukan badan sehat, ilmu pengetahuan dan keterampilan.[4]
[3] Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme, (Jakarta: Penerbit Noura Books, 2015) Â hal. 51.
[4] Ibid, hal. Â 53.
Selain itu, keberkahan umur dapat kita peroleh dengan selalu mengingat dan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mengisi waktu dengan memfokuskan perhatian kepada akhirat, bukan hanya kesenangan dunia semata.Â
Sebab kadar waktu hidup kita amatlah singkat. Lebih singkat dari kedipan mata jika dibandingkan dengan alam akhirat yang kekal. Jadi, sudah sejauh mana persiapan kita? Sudah siapkah kita jika ajal datang secara tiba-tiba?
***
Saat kuletakkan harapku kepada dunia, maka Engkau membuatku jatuh ke berbagai arah. Menahanku yang sudah tak berdaya, menyadarkanku dari kesia-siaan belaka. Namun aku tetaplah aku, tak sedikitpun hati ini tergerak dan membunuh bisu.Â
Aku masih saja merendam diriku dalam kubangan kesia-siaan. Membiarkan seluruh tubuhku tenggelam asal aku dapat menyicip kembali keindahan dunia yang tak tertahankan.Â
Kerlap-kerlip dunia begitu memabukkan. Hingga membuatku susah tersadar meskipun tubuh ini sudah mulai terkapar. Iya, harta dunia memang menyilaukan. Begitupun dengan kedudukan yang mengundang pertikaian.Â
Bukankah sebenarnya aku merasa rendah? Sebab perasaan iri terhadap sesama yang muncul tanpa bisa dicegah. Menggerogoti kalbu yang sejak awal sudah lemah. Iya, dunia berhasil menipuku. Berhasil membuatku mengejarnya hingga membenci aku yang tak seperti mereka.Â
Ighfirli Ya Rabb, bimbing aku keluar dalam  jurang kesedihan. Kuatkan aku dari lemahnya iman. Jauhkan aku dari sifat dengki yang tak berkesudahan. Lalu angkatlah aku dari kubangan angan yang pada akhirnya akan jadi serpihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H