"Kok lampunya begitu?" tanya Lina, entah pada siapa.
"Biar rame," sahutku asal.
"Udah, kita cari kamar kita aja, hiraukan saja lampunya." Sahut Mia.
Hanya ada satu lorong di sana untuk menuju kamar 10E 43 dan kami harus menatap kamar di ujung lorong dengan lampu kedip-kedip. Tangan yang saling bercengkram dengan langkah kaki yang begitu berat, membuatku sulit bergerak bebas. Mungkin ini hanya mimpi, batinku, ku coba menggigit bibir bagian bawah ku dan terasa begitu sakit. Tidak jauh dari jarak kami, terdengar suara orang mengobrol, dan setelah kami mendekati sumber suara tersebut ternyata dua orang bapak-bapak yang sedang memperbaiki lift. Begitu lega melihat manusia lain selain kami di lorong tersebut.
Kamar 10E43, Lina lantas saja membuka pintu tersebut sambil mengucapkan basmallah. Kami semua masuk sambil mengucapkan salam. Sebuah saklar listrik dinyalakan dan seketika kami terkejut melihat isi ruangan. Begitu mewah, ruangan minimalis yang sekelilingnya cermin. Sehingga setiap gerakan kami dapat dilihat dari berbagai sudut. Sebuah sofa yang sudah menanti, tanpa basa-basi, kami pun menghampirinya dan meluruskan otot-otot yang tegang.
000
"Kita mau makan kapan?" sahutku.
"Bentar lagi." saran Lina yang masih mengutak-atik televise karena tidak bias dinyalakan.
"Abis isya aja ya, nanggung bentar lagi juga isya. Gimana Mi?"
"Aku ngikut kalian aja."
Dua puluh menit kami berkeliling disekitar mal untuk mencari makan. Sampai akhirnya kami menemukan kedai ayam geprek. Perut sudah tidak bias menahan rasa lapar lagi, semenjak berangkat kami tidak memakan apapun dan parahnya lagi kami tidak membawa bekal yang bias dimakan.