Mohon tunggu...
Nisa R
Nisa R Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sedih dengan Palestina, tapi Saya Belajar dari Israel

30 Juli 2017   21:31 Diperbarui: 31 Juli 2017   17:53 45929
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tangkapan layar youtube.com/Gandhy3d

Ini ada materi stand up comedynya Daliso Chaponda, finalis Britain's Got Talent:

Daliso sebel sama temen kulit putihnya, sebut saja Jack, karena saat Jack maen ke desanya di Afrika, Jack tak memberikan kesan apa-apa sebagai seorag kulit putih ke keluarganya. Daliso akhirnya minta ke Jack untuk melakukan suatu aksi kulit putih yang bisa membuat keluarganya terkesan.

Jackpun melakukan aksi kulit putih. Setelah selesai, Jack lapor ke Dalisa:

"Aku sudah melakukan aksi kulit putih. Aku sudah meniduri istri pamanmu, dan esoknya, aku ambil alih rumahnya."

Itu Daliso bercanda. Tapi satir.

Amerika diambil alih, suku Indian dibersihkan. Australi diambilalih, Aborigin dibantai. New Zealand, walaupuan pada akhirnya terselesaikan dengan perjanjian damai Waitangi, sekarang sudah diklaim sebagai ladang kebunya ratu Elisabeth.

Perampasan wilayah Palestina oleh Israel lebih kurang seperti itu pula. Bedanya, penjajahan yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina dilakukan di saat dunia sudah mengenal konsep bangsa-negara. Sedangkan alasan Israel untuk mengambil alih tanah Palestina juga didasari atas klaim agama dan cerita sejarah sebelum masehi. Benar memang perkataan ulama Al-Ghazali, orang membela agama dengan cara yang salah itu jauh lebih membahayakan dari ketidaksimpatikan orang terhadap agama tapi dengan cara yang benar. Iya banget!

Oke lanjut, kalau Israel mengklaim bahwa mereka adalah ahli waris yang paling berhak terhadap tanah Palestina berdasarkan janji Tuhan, alasan itu terlalu sukar diterima. Baik dari filosofi pembenaranya, juga terhadap teknis cara mereka memperlakukan suatu kaum dengan bengis.

Biar tetep kendor...boleh banget bikin kopi anget dulu sebelum dilanjut...

Tahun 1945 adalah tahun dimana imigran Yahudi mulai berdatangan ke Palestina. Saat itu, Palestina masih di bawah kekuasaan Inggris. Pengimporan warga Yahudi ke Palestina juga bagian dari janji Inggris untuk membantu Yahudi untuk mendirikan negara yahudi di Palestina. (Ini bisa dibaca di Deklarasi Balfour).

Nah.......

Fakta bahwa pada saat mereka datang ke Palestina dan Palestina belum merdeka dari Inggris, dan Israel menganggap Palestina sebagai tanah yang tak bertuan, dijadikan pengesahan bagi Israel untuk mendirikan negara di Palestina.

Konflik pun mulai berkecamuk.....

Perlu saya sebutkan disini dulu, bahwa dalih yang Israel gunakan itu bertentangan dengan data demografis PBB tentang jumlah penduduk asli Palestina yang saat itu sangat multi kultur dan multi reliji (kristen, islam, yahudi) yang mencapai 2 juta lebih penduduk. Dan PBB telah menyebut daerah itu sebagai Palestina. Artinya bahwa nama wilayah tersebut sebagai Palestina sudah diakui dulu di PBB.

Tapi apalah daya.........

Tahun 1947, PBB mengesahkan resolusi 181. Intinya, Palestina terbagi menjadi tiga bagian. 55% milik Israel, 45% milik Palestina, dan Yerussalem sebagai wilayah internasional. Memang hasil resolusi itu menyakitkan bagi penduduk Palestina.

Nah (lagi).....

Seketika resolusi itu disetujui, Israel langsung melakukan aksi pembersihan di wilayah-wilayah yang menurut Israel bagian dari milik mereka disusul dengan perangsekan ke wilayah-wilayah di luar yang disepakati di resolusi 181. Rakyat Palestina, jangankan mbah-mbahnya, emak-emak tukang ngerumpinya aja pasti kaget tiba-tiba diusiri, sedangkan nenek moyang mereka sudah tinggal di sana berabad-abad pula. Cara ngusrinya sadis oleh milisi jihad Yahudi yang bernama Irgun dan Haganah. Desa-desa dibakar, dipasangi ranjau, dikirim bom roket, pembunuhan massal bagi para orang yang "dianggap" pemberontak, dan kesadisan ini dicatat oleh penulis Yahudi Ilan Pappe "Pembersihan etnis Palestina". Konflik ini juga dicatat oleh PBB.

Sayangnya.......

Beberapa negara Arab sepertinya sudah kadung berada di kubu barat dan telah membuat perjanjinan dengan barat untuk tidak menghalangi Israel. Coba deh perhatikan, Arab Saudi contohnya tidak bisa berbuat banyak terhadap Palestina karena rajanya sendiri banyak berhutang budi terhadap Inggris atas bantuanya mensuskeskan keluarga Saud bertahta di Arab. Jordanpun telah berjanji kepada Inggris untuk tidak menghalangi Israel. Mesir, Turki, tak banyak berkutik.

Negara yang sampai sekarang konsisten untuk tidak berkubu dengan barat dan membantu memperjuangkan kemerdekaan Palestina adalah Siria dan Iran setelah runtuhnya Pahlevi. Itupun mereka sedang berusaha dihancurkan karena diklaim sebagai Syiah. (Jadi paham ya kalau kita gak boleh mudah kemakan isu dengan balutan agama?)

Negara-negara Arab selain kedua negara itu cenderung membuat corak yang sama. Di kalangan elite, mereka sangat pragmatis dan negosiabel, di grassrootnya atau di kalangan bawahnya dibikin sangat fanatik, tekstual dan fikih oriented, kaku, sehingga sangat mudah dikontrol dengan dalih-dalih agama.

Mereka dibudidayakan sebagai pasukan ekstrimis "pembela agama" tapi hakikatnya pasukan boneka untuk diarahkan "berjihad" di wilayah-wilayah yang ingin dikuasai barat dan menjadi musuh barat, alih-alih membantu isu-isu kemanusiaan yang lebih universal.

Mungkin nanti ada kalanya mereka dikirim ke Korea utara dan Cina dengan dalih membasmi PKI. Dan mau mau saja. Demi agama.

Dan........

Konflik Israel-Palestina masih berlangsung....

Saat ini Israel sedang memblokir Masjid Al-Aqsa.

Iya... sedih dan tentu harus membantu.

Sebagaimana saya menulis ini, adalah bagian dari hal yang sangat kecil yang bisa saya lakukan untuk bersuara untuk Palestina.

Sekaligus membantu memberikan penjelasan bahwa kita tak harus menjadi muslim untuk peduli dengan Palestina, dan sebaliknya, tak harus mereka muslim untuk mendapat simpati kita.

Karena... di balik kata kesedihan itu, banyak juga orang Islam yang terperangkap dengan bentuk diskriminasi emosi yang lain. Maksud saya, kalau memang kesedihan kita terhadap Palestina adalah kesedihan yang sejati, maka kesedihan itupun harus bisa terefleksikan bagi diri kita sendiri untuk peduli dengan pemeluk agama lain, mebiarkan mereka berkumpul dan beribadah sesuai dengan keyakinannya, tanpa merasa terancam dan sentimen. Melindungi siapapun dan apapun pemeluk agamanya menjalankan ibadah mereka, ikut berempati dengan kesusahan kesusahan mereka, membangun hubungan yang baik dengan siapapun tanpa diskriminasi agama dan keyakinan.

Israel menunjukkan kepada kita, memaksakan keyakinan agama yang sepihak bisa sangat menyakiti orang lain tanpa kita sendiri merasa menyakiti, bahkan bangga atas perbuatan kita menyakiti orang lain. Dan, membela sesuatu hanya karena apa yang kita bela seagama sama saja dengan menyebar kebencian yang lain.

Jadi...

Doa saya panjatkan demi keselamatan rakyat Palestina sebagai saudara seiman dan sebagai manusia yang berhak atas kemerdekaan di bumi manapun.



Nisa.

sumber diantaranya tulisan-tulisan Dina Sulaeman dan website UN

Sumber gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun