Mohon tunggu...
Lalu Abdul Fatah
Lalu Abdul Fatah Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Editor Lepas, dan Pengajar Penulisan Kreatif

Berkecimpung di dunia pendidikan, khususnya literasi sejak 2014 sampai sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Nurdin Razak Bersuara dari Baluran

25 Mei 2014   02:12 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:08 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Keahlian fotografi alam liarnya pun kian terasah dan terwujud dalam karya. Pada 2012 ia pernah mengadakan pameran tunggal bertajuk Surabaya Wild Life, yang mendokumentasikan satwa-satwa liar di pesisir timur Surabaya, tepatnya di Hutan Mangrove Wonorejo. Tahun lalu, foto-foto satwa langka di Taman Nasional Baluran ia bukukan. Semuanya biaya sendiri. Sebab, ketika ia mengajukan konsep buku foto pada pihak kementerian, khususnya Kementerian Kehutanan, jawaban yang ia terima sangat birokratis. “Tidak ada dana.”

Sementara Kementerian Kehutanan menerbitkan buku katalog taman nasional se-Indonesia yang tebal namun penjelasannya minim dan terlalu umum, Nurdin Razak menerbitkan buku foto khusus TN Baluran. Bahkan, ia menulisnya dalam tiga edisi, yakni bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa Indonesia. Buku foto itu pun ia promosi dan pasarkan melalui internet.

Itulah yang membuatnya kian miris dengan para pejabat di negeri ini. Mereka lebih suka menghamburkan uang negara lewat proyek-proyek yang tidak bervisi jauh ke depan. Sementara, ada salah satu warga mereka yang mau menyisihkan waktu, tenaga, pikiran, dan biaya sendiri demi mengenalkan kekayaan TN Baluran lewat visual. Upaya yang visioner biar masyarakat paham, bersyukur, tumbuh rasa cinta, serta kepedulian untuk menjaga kekayaan alam yang dititipkan Tuhan pada bangsa ini.

Ia menyebutkan upaya pendokumentasian satwa langka TN Baluran sebagai ekspedisi pribadi. Gajinya sebagai PNS kerap minus. Ia sampai rela berhutang untuk membeli kamera dengan lensa tele, untuk memaksimalkan aktivitasnya itu. Ia menegaskan, “Saya tidak memotret, tetapi mendokumentasikan.” Dua hal yang menurutnya berbeda. Dalam dokumentasi - yang tidak disponsori pihak mana pun itu - ia melakukannya dengan sepenuh hati. Didorong oleh lentera hati alias renjana (passion).

Dalam ekspedisi pribadinya itu, ia bahkan berhasil mengabadikan macan tutul jawa muda pada Jumat malam (17/2/2012). Ia mengabadikan foto satwa langka itu sebanyak 20 frame dari jarak sekitar 7 meter. Menariknya, itu foto pertama macan tutul di Baluran setelah 30 tahun.

Foto macan tutul bersama belasan foto satwa langka khas Baluran lainnya, akan ia pamerkan di Grand City Mall, Surabaya, pada 27 Mei 2014. Bertajuk “Amazing Baluran”, ia mengatakan akan mengundang rektor dan petinggi kampus lainnya untuk hadir. Ini juga sebagai bentuk sindiran pada mereka yang telah menyia-nyiakan kompetensi seorang pengajar. Ketika kompetensinya di bidang ekoturisme diapresiasi oleh pihak Jepang dengan mengundangnya sebagai pemateri di sana, di negerinya sendiri, ia malah diabaikan.

Tidak berhenti di situ. Nurdin Razak yang telah lama berada di lapangan, pun menyadari pentingnya memberdayakan masyarakat di sekitar TN Baluran. Sebab, hal yang lumrah ketika kekayaan taman nasional ‘dimanfaatkan’ oleh masyarakat sekitar dengan merambah kayu dan menangkap hewan-hewan, baik untuk dijual maupun dikonsumsi. Kebutuhan ekonomi adalah suatu hal yang mendesak. Namun, ketika motif itu tidak dibarengi kesadaran memadai akan pentingnya hutan dan masa depan anak cucu, maka tindakan-tindakan brutal jangka pendek pun ditempuh. Rotan diambil. Rusa atau kerbau liar ditangkap dan disembelih.

Langkah edukasi pun ia lakukan. Ia dekati warga Desa Wonorejo, desa paling timur di Situbondo, yang berbatasan langsung dengan TN Baluran. Ia memahamkan tentang pentingnya menjaga lingkungan dan hal-hal praktis yang bisa dilakukan warga untuk terlibat di dalamnya. Konsep ekoturisme ia jelaskan. Dari satu pintu ke pintu lainnya ia gerilya, beberapa warga pun ia ajak berkumpul di ecolodge-nya. Ia beri pelatihan ekowisata yang ia jadwalkan berlangsung tiap sebulan sekali, yakni tiap tanggal 30.

Sukadi, seorang warga Desa Wonorejo yang sehari-hari kerja serabutan sebagai tukang bangunan, bercerita kalau ia sudah bisa memandu wisatawan, berkat bimbingan Nurdin Razak. Ia pun diajari berbahasa Inggris dan diberi buku untuk belajar. Mentalnya kian terasah ketika dipercaya Nurdin untuk membawa turis-turis mancanegara tur keliling desa, melihat aktivitas warga dari dekat.

Nurdin pun bekerja sama dengan para tukang ojek. Tiap kali ada tukang ojek yang membawa tamu dari perempatan Batangan, dekat pintu masuk TN Baluran, menuju ecolodge yang dikelola Nurdin, tukang ojek itu mendapat persenan sebesar Rp25 ribu. Namun, turis pemakai jasanya tidak membayar langsung ke tukang ojek. Jadi, para turis itu merasakan pelayanan ‘gratis’ ojek, padahal pelayanan itu sudah ia masukkan dalam paket ekowisata.

"Kuncinya adalah pelayanan. Saya sendiri suka melayani tamu langsung meskipun ada staf."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun