Mohon tunggu...
Laeli fatmawati
Laeli fatmawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Fakultas Hukum Unissula

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Upaya Perlindungan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

21 Agustus 2022   12:52 Diperbarui: 21 Agustus 2022   12:56 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Laeli Fatmawati & Dr. Ira Alia Maerani, S.H,.M.H. 

  Berbicara mengenai kekerasan yang terjadi di Indonesia, khususnya kekerasan yang terjadi kepada  perempuan dan anak-anak sudah bukan menjadi hal rahasia yang umum. Kasus kekerasan menjadi salah satu dengan angka yang tinggi di Indonesia yang sebagaimana perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah.

Tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa.

Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum karena beberapa alasan, pertama: ketiadaan statistik kriminal yang akurat, kedua: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi dan terjaga privacynya berkaitan dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga (sanctitive of the home), ketiga: tindak kekerasan pada istri dianggap wajar karena hak suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga, keempat: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga legal yaitu perkawinan.

sebuah fenomena yang hampir bisa dijumpai di setiap rumah tangga dengan intensitas dan kadar yang berbeda-beda. Ada rumah tangga yang sangat jarang mengalami KDRT, namun ada pula sebuah rumah tangga yang setiap hari diwarnai KDRT. Ada yang mengalami kekerasan verbal seperti bentakan dan kata-kata yang tidak menyenangkan, namun ada pula yang mengalaminya secara berlapis. Misalnya kekerasan verbal, fisik, psikhis, dan ekonomi, sosial, seksual, bahkan kekerasan spiritual.

Di sisi lain, Islam menegaskan bahwa tujuan berumah tangga adalah terjalinnya rasa kasih sayang dan terpenuhinya ketentraman (sakinah) dalam rumah tangga. Oleh karena itu Islam menolak tegas KDRT, meskipun kadang melakukan kompromi karena beberapa bentuk KDRT tidak bisa dihapuskan seketika. Dengan penelusuran dokumen dan data-data kepustakaan, penelitian ini berusaha memaparkan dan mengungkap fakta kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berakar pada ideologi patriarki, dan menunjukkan bagaimana Islam menolak nilai patriarkhi yang menjadi akar kekerasan terhadap perempuan, baik di masa pewahyuan maupun sekarang, yang bisa terjadi di ruang publik maupun rumah tangga.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) termasuk salah satu kejahatan yang terjadi dalam lingkup keluarga yang tindakannya melalui hubungan personal antara suami dengan istri, orangtua dengan anak, anak dengan anak yang lainnya, atau orang-orang yang berada di dalam ruang lingkup keluarga tersebut. Tindak kekerasan antara suami dan istri juga diatur dalam KUH Perdata atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Kekerasan tersebut penyelesaiannya diarahkan ke dalam hukum privat karena dianggap atau dipandang penyelesaiannya dapat diselesaikan secara internal hubungan keluarga.

Hukum kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang dibuat dengan bebrapa pertimbangan diantaranya :

Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945;

Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus ;

Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan harus mendapatkan perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan :

Bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.

Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ini merupakan jaminan yang diberikan oleh pemerintah atau negara guna mencegah dan menanggulangi terkait adanya kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga. Tidak hanya upaya pencegahan, pemerintah juga melakukan tindakan dan sanksi tegas terhadap pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga. Perlindungan terhadap korban akibat kekerasan juga perlu baik dengan penegakan hukum maupun upaya pemulihan bagi korban Putusan badan peradilan terkait tindak pidana terhadap pelaku kasus kekerasan dalam rumah tangga dapat tercantum sebagimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindak kekerasan dalam rumah tangga umumnya terjadi kepada perempuan dan anak-anak. Banyaknya kasus kekerasan kepada perempuan dan anak sudah bukan menjadi rahasia publik lagi. Sehingga dibuat dan disahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Rumah Tangga. 

  Perlindungan hukum bagi korban kejahatan merupakan bagian dari perlindungan masyarakat yang dapat diwujudkan melalui berbagai upaya seperti pemberian restitusi dan kompensasi dan perlindungan hukum bagi korban tindak kekerasan.Perbedaan antara kompensasi dan restitusi yaitu kompensasi adalah permintaan dari korban dan dibayar oleh masyarakat dalam bentuk atau pertanggungjawaban masyarakat dan negara untuk korban akibat tindak kekerasan. Sedangkan restitusi yaitu bentuk pertanggungjawaban yang sifatnya lebih cenderung mengarah ke pidana yang dipertanggungjawabkan oleh terdakwa sebagai terpidana. Perlindungan korban dapat bersifat langsung (konkret) dan tidak langsung (abstrak) dan pemberian pertanggungjawaban dapat berupa materi maupun non materi. Untuk melindungi hak asasi manusia saksi dan korban diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam Undang-Undang tersebut di nyatakan pada ayat (1) LPSK merupakan lembaga yang mandiri; ayat (2) LPSK berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia; ayat (3) LPSK mempunyai perwakilan di daerah sesuai denan keperluan. Dan pasal 28 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 mengatur perjanjian dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terhadap saksi atau korban tindak pidana. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun