Naik melalui tangga semi melingkar menuju ke lantai atas. Di setiap lantai, tersedia balkon yang luas dan galeri terbuka. Konsep designi ini bertujuan untuk menjaga ruangan agar tetap sejuk karena tidak adanya pendingin ruangan. Dari sini pengunjung bisa menikmati pesona Kota Tua Kesawan dan ramainya pengguna jalan yang melintas di sepanjang jalan di kanan dan kiri gedung.Â
Lantai 4, mulanya digunakan sebagai gudang untuk menyimpan kumpulan data sidik jari para pekerja yang jumlahnya sangat banyak di dalam buku arsip. Sekarang, lantai 4 juga digunakan sebagai galeri dengan mempertahankan desain interior yang penuh kisi-kisi kokoh dan kuat. Foto-foto yang menampilkan gambar bangunan zaman dulu dan sekarang terpasang di dinding-dinding kayu. Pada beberapa foto menampilan kontrasnya tempat tinggal antara para buruh perkebunan dengan rumah tinggal untuk staf Eropa.Â
Pengunjung juga dapat mengenali dan mencium aroma rempah-rempah yang tersimpan di dalam botol-botol kecil. Ada kapulaga, andaliman, daun kari, asam cekala, daun kunyit, jahe merah, dan lainnya. Ini adalah pengalaman pertama saya melihat secara langsung rempah-rempah tersebut.
Di bagian depan lantai 4, tepat di bawah kubah hijau, terdapat ruang menara jam lonceng yang akan berbunyi setiap jamnya. Hingga kini, jam lonceng yang dipasang sejak tahun 1920 masih berfungsi dengan baik. Beruntung sekali saya bisa mendengar dan merekam momen saat lonceng berdentang sebanyak 4 kali. Pertanda waktu menunjukkan pukul 4 sore, satu jam lagi museum akan ditutup.Â
Menyenangkan sekali bisa menilik sejarah dan mengetahui jejak perkembangan perkebunan serta dampaknya pada pembangunan di Sumatera Utara. Hanya dengan membayar Rp 25.000 rupiah, pengunjung bisa berkeliling museum ditemani pemandu, mendapat air mineral dan souvenir berupa teh kantong celup.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H