Tidak hanya bentuk atapnya yang beragam, hiasan ukirannya pun ternyata berupa-rupa dan sangat cantik. Ukiran pertama merupakan Singa-singa (Gaja Dompak) dan Simataniari. Ornamen ini memiliki fungsi untuk penolak bala. Kedua, Bunga Gundur dan Pantil Manggis khas Karo berfungsi sebagai penambah keindahan.Â
Ketiga, Bintang, biasa dipahatkan di Rumah Adat Mandailing. Keempat, Hambing Mardugu, ornamen dari Simalungun yang menggambarkan dua kepala kambing dalam posisi seolah-olah hendak berlaga. Kelima, Niosolofiga, ornamen dari Nias sebagai lambang persatuan dan gotong royong. Keenam, pucuk Rebung, hiasan khas Melayu yang melambangkan persatuan. Banyak dijumpai di istana dan masjid.Â
Sementara di Bagian kiri yang menyerupai cicak merupakan Boraspati. Dalam kepercayaan Batak dianggap kekuatan pelindung manusia dari marabahaya. Dan terakhir yang paling bawah adalah Pengret-ret, jalinan tali ijuk berbentuk cicak sebagai lambang kekuatan, penangkal setan, dan persatuan masyarakat.Â
Masih di lantai 2, di sini juga ditampilkan jenis tarian, alat musik, dan kain khas dari setiap suku yang tidak hanya mempercantik tetapi memiliki makna simbolis.Â
Masyarakat Batak Toba menyebut kain tenun khasnya dengan Ulos, Orang Karo menamainya Uis, Orang Simalungun menyebutnya  Hiou. Oles untuk orang Pakpak, Abit untuk Mandailing, dan Songket untuk Melayu. Sementara Nias diduga tidak mengenal kain tenun kapas, mereka membuat pakaian dari kulit kayu
Ruang persÂ
Kembali ke lantai 1, di ujung terdapat Ruang Pers yang menampilkan tokoh-tokoh pers dan ratusan surat kabar yang terbit dari tahun 1885 hingga 1945. Bahasa yang digunakan dalam surat kabar beragam, ada Bahasa Belanda, Batak, Melayu, Jawa, dan lainnya.Â