Anjing Mengeong, Kucing menggonggong bercerita tentang seorang anak bernama Sato Reang yang mengalami kegundahan dalam pencarian jati diri. Sedari kecil, Sato Reang dituntut untuk menjadi anak yang saleh oleh Ayahnya, Umar. Saleh dalam artian harus sembahyang paling tidak lima kali sehari dan mengaji atau membaca ayat Al-Quran setiap malam.Â
Setelah Sato Reang disunat, ayahnya berpesan dan bertitah kepada Sato Reang:
"Sudah saatnya kau menjadi anak saleh."
Sato Reang merasa kebebasan dan kebahagiannya sebagai anak-anak direnggut oleh kewajiban dan perintah yang harus ditaati.Â
Ia tidak bisa pergi bermain sesuka hati seperti teman-temannya, tidak bisa pergi ke pasar malam dengan leluasa, dan tidak bisa pergi ke bioskop karena dianggap sebagai tindakan tercela oleh ayahnya. Salah satu hiburan yang bisa ia lakukan adalah dengan mengisi teka teki silang.
Di saat teman-teman sebayanya bermain, nongkrong, pacaran, Sato Reang justru harus mengikuti ayah dan keluarganya menghadiri pengajian di salah satu masjid besar.Â
Ketika teman-teman sekelasnya seru dan asyik membahas tontonan televisi terbaru, Sato Reang hanya diam lantaran ia tidak menonton televisi.Â
Penulis: Eka Kurniawan
Tahun terbit: 2024
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Ukuran: 13 x 19 cm
Tebal: 135 halaman
Harga buku: Rp 125.000
Nomor ISBN: 978-602-06-7385-1
Nomor ISBN Digital: 978-602-06-7384-4
Kebiasaan Sato Reang yang seperti itu menyebabkan dirinya dilabeli sebagai anak saleh oleh teman-teman, tetangga, dan gurunya. Sato Reang risih, jengah, jengkel, tidak menyukai cap anak saleh yang menempel pada dirinya. Ia menganggap itu semua disebabkan oleh ayahnya. Ia benci Umar. Ia menginginkan ayahnya tiada.
Hingga suatu hari ayahnya meninggal dunia. Sato Reang pikir, ia akan terbebas dari belenggu perintah ayahnya. Nyatanya, bayang-bayang sosok sang ayah justru semakin mengikuti kemanapun ia pergi. Tindak-tanduknya, lakunya, gelagatnya, dan kebiasaannya yang diwariskan ayahnya justru lekat dengan dirinya. Orang-orang selalu mengatakan Sato Reang serupa dengan ayahnya. Ia benci hal itu.
Bahkan, pascakematian Umar, Sato Reang masih juga dihantui kebiasaan ayahnya setiap pagi menjelang,
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!