Satu menit berjalan dari Werenhuis, kami tiba di kedai kopi yang masih berjaya sejak tahun 1923 bahkan sebelum Indonesia merdeka. Kedai kopi kuno nan sederhana ini hanya menyediakan 7 meja saja. Maka bersiaplah untuk mengantri, karena pelanggan setia selalu memenuhi kedai kuno legendaris ini.
Saya memesan es kopi dingin yang kental dan khas serta roti kukus srikaya yang menjadi favorit pengunjung. Harganya relatif mahal bagi saya, harga kopi sekitar Rp 50.000-an, sementara roti kukus atau bakarnya sekitar Rp 30.000-an. Datanglah pagi-pagi, karena Kedai Kopi Apek hanya buka sampai jam 12 siang. Siapkan uang cash, di sini tidak melayani pembayaran dengan e-money.
Pasar Hindu
Kenyang dengan menu sarapan dengan citarasa autentik yang terus dipertahankan, kami menuju ke seberang jalan. Pasar Hindu, pasar terkecil dan terpendek di Kota Medan. Meskipun panjangnya hanya 50 meter saja, namun pasar ini cukup lengkap dipenuhi penjual ikan, daging, buah dan sayur segar serta jajanan tradisional.Â
Dinamakan Pasar Hindur, karena masyarakat yang bermukim di wilayah ini mayoritas beragama hindu.
Museum Al Washliyah
Selanjutnya, kami berjalan melalui gang-gang sempit hingga tiba di Museum Al Washliyah Tapanuli. Ornamen serta warna yang didominasi kuning dan hijau sangat khas dengan gaya melayu dan Islam. Konon, banyak warga Mandailing (Tapanuli Selatan) yang merantau meninggalkan kampungnya ke Sumatra. Di sampingnya berdiri Maktab Islamiyah Tapanuli yang merupakan sekolah untuk masyarakat muslim. Dulu, Belanda melarang pribumi mengenyam pendidikan di sekolah umum.
Sayang sekali kami tidak bisa masuk ke dalam lantaran tidak ada penjaganya. Kami hanya bisa mengintip museum yang masih asli ini dari jendela. Nampak beberapa foto tokoh-tokoh Islam dan para ulama dipasang pada dinding-dinding kayu bagian dalam.Â